Pembangunan Hukum Pelanggaran Adat
OLEH:
LA ODE SUDARMIN
KATA PENGANTAR
Pujisyukur
penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T, karena atas rahmat dan hidayahnya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini walaupun terdapat
beberapa kendala sebelumnya. Penulis pun sangat menyadari bahwa dalam penulisan
tugasan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun demikian penulis tetap
berusaha mencurahkan segala kemampuan untuk menghasilkan tulisan yang maksimal.
Maka dengan itu punilis mengharapkan kritik serta saran yang membangun agar
dapat menjadi acuan bagi penulis dalam pembuatan tugas makalah berikutnya.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk kelengkapan tugas kuliah
serta menambah nilai.
Semoga
penulisan makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi
pembaca, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai,
Amiin
Jakarta, 05
Januari 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Contents
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Manusia
mempunyai hasrat yang kuat dan bertahan hidup secara teratur. Ia pun mempunyai
pendirian dan penafsiran sendiri mengenai apa yang dimaksud teratur sehingga
perlu suatu pedoman. salah satu mekanisme itu adalah apa yang dinamakan
pengendalian sosial.
Pengendalian
sosial di dalam suatu masyarakat dapat
dilakukan dengan berbagai cara,
misalnya:
1. Mempertebal keyakinan warga masyarakat akan fungsi
kaidah-kaidah sosial tertentu dalam kehidupan sosial masyarakat.
2.
Memberi penghargaan kepada warga masyarakat yang menaati kaidah-kaidah
sosial tertentu berupa pemberian sanksi yang bersifat positif.
3.
Mengenmangakan rasa malu dalam diri warga masyarakat apabila mereka
menyimpang atau menyeleweng dari kaidah-kaidah atau nilai-nilai sosial yang
telah disepakati bersama.
4.
Menimbulkan rasa takut melalui pencantuman sanksi dalam kaidah sosial
yang sudah disepakati.
5.
Menyusun perangkat dan aturan-aturan hukum.
B. RUMUSAN MASALAH
- Apa yang di maksud
dengan pelanggaran adat ?
- Bagaimana cara
penyelesaiannya ?
Istilah hukum pelangaran adat adalah terjemahan
dari istilah belanda adat delicten recht atau
”hukum pelanggaran adat” istilah ini hampir tidak dikenal dalam berbagai
masyarakat adat. Masyaratakat adat dibeberapa wilayah indonesia misalnya mengenal “salah” di lampung dan
“sumbang” di sumatera selatan. Hukum adat delik (adatdelicten recht) dan dapat
juga disebut “Hukum Pidana Adat”, atau “Hukum Pelanggaran Adat” ialah aturan-aturan hukum adat yang mengatur
peristiwa atau perbuatan kesalahan yang berakibat terganggunya keseimbangan
masyarakat, sehingga perlu diselesaikan (dihukum) agar keseimbangan masyarakat
tidak tergangu. Dengan demikian yang diuraikan dalam hukum adat delik adalah
tentang peristiwa dan perbuatan yang bagaimana merupakan “delik adat” dan
bagaimana cara menyelesaikannya sehingga keseimbangan masyarakat tidak lagi
merasa terganggu.
Menurut van Vollenhoven : Dalam bukunya Een adatrechboekje voor het indie yang
dimaksud dengan “delik adat”adalah“perbuatan yang tidak boleh dilakukan
walaupun pada kenyataanya peristiwa atau perbuatan itu hanya sumbang
(kesalahan) kecil saja”.(Hilman hadikusuma, 1979: 19).
Menurut Ter
Haar : “Delik” (pelanggaran) ialah “setiap
gangguan dari suatu pihak terhadap keseimbanagn, dimana setiap pelanggaran itu
suatu pihak atau dari sekelompok orang berwujud atau tidak berwujud, berikibat
menimbulakn reaksi (yang besar kecilnya menurut ketentuan adat ), suatu reaksi
adat; dan disebabkan adanya reaksi itu, maka keseimbanaga harus dapat
dipulihkan kembali (dengan pembayaran uang atau barang)” (Ter Haar 1950:218).
Menurut
soepomo (1977) :“segala perbuatan atau kejadian yang mengganggu kekuatan
batin masyarakat, segala perbuatan atau kejadian yang mencemarkan suasana
batin, yang menentang kesucian masyarakat, merupakan delik terhadap masyarakat
seluruhnya.
Delik yang paling berata ialah segala pelangaran
yang memperkosa perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib, serta pelanggaran
yang memperkosa dasar susunan, masyarakat”.
Jadi yang dimaksud dengan delik adat adalah
peristiwa atau perbuatan yang menggangu keseimbangan masyarakat,yang
bertentangan dengan kepatutan, ketertiban, keamanan, rasa keadilan, dan
kesadaran hukum masyarakat bersangkutan, baik hal itu akibat perbuatan
seseorang maupun perbuatan penguasa adat sendiri dan karena adanya reaksi dari
masyarakat maka keseimbangan itu harus dipulihkan kembali dengan hukuman denda
atau dengan upacara adat.
Pelangaran
adat adalah:
a. Suatu peristiwa aksi dari para pihak dalam
masyarakat.
b.
Aksi itu menimbulkan adanya gangguan keseimbangan.
c.
Gangguan keseimbanag itu menimbulkan reaksi.
d.
Reaksi yang timbul menjadikan terpeliharanaya kembali atas gangguan
keseimbangan kepada keadaan semula.
Beberapa macam delik adat :
1.
Kesalahan mengganggu keamanan
2.
Kesalahan menganggu ketertiban
3.
Kesalahan kesopanan dan kesusilaan
4.
Kesalahan dalam perjanjian
5.
Kesalahan menyangkut tanah, tanam tumbuhan dan hasil hutan
6.
Kesalahan menyangkut hewan ternak dan perikanan
Penyelesaian delik adat yang berakibat terganggunya
keseimbangan keluarga atau masyarakat, walaupun adakalanya perkaranya sampai
ditangani oleh alat negara, dapat ditempuh dengan cara melalui pribadi dan atau
keluarga yang bersangkutan, atau ditangani kepala kerabat, kepala adat kepala
desa, ketua perkumpulan organisasi (instansi) dan alat negara.
Tugas
penegakan hukum terhadap hukum dan pelanggarannya ada pada kepala persekutuan
hukum berupa serangkaian ketentuan-ketentuan, antara lain:
a. Merumuskan pedoman bagaimanakah warga masyarakat
seharusnya berperilaku, sehingga terjadi integrasi dalam masyarakat.
b.
Menetralisasikan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat sehingga dapat
dimanfaatkan untuk mengadakan ketertiban.
c.
Mengatasi persengketaan agar semula pulih kembali.
d. Merumuskan kembali pedoman yang mengatur hubungan
antara waga-warga masyarakat dan kelompok-kelompok apabila terjadi
perubahan-perubahan.
Bassiuni (Barda
Nawawi Arief; 1986). Ia mengaitkan sistem nilai yang ingin dicapai bersama dan akan
dilindungi dengan pidana. Untuk menciptakan tertib sosial, tujuan-tujuan yang
ingin dicapai oleh pidana pada umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan
sosial, yaitu :
a.
Pemeliharaan tertib masyarakat.
b.
Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian, atau
bahaya-bahaya yang tidak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain.
c.
Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum.
d.
Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar tertentu
mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan, dan keadilan sosial.
Terhadap perilaku yang tidak sesuai pasti akan
memperoleh reaksi tertentu pula. Apabila reaksi itu bersifat negative,
masyarakat menghendaki adanya suatu pemulihan keadaan yang dianggap telah rusak
oleh sebab perilaku-perilaku tertentu (dan dianggap sebagai penyelewengan).
Sebaiknya, apabila ia mempunyai akibat positif, perlu juga diberikan suatu
sanksi, yaitu “ hadiah” dan “pengukuhan”.
Aturan-aturan hukum pelanggaran adat pada umumnya
bersifat tradisional magis religieus, menyeluruh dan menyatukan, tidak prae-existente, tidak
menyamaratakan, terbuka dan lentur, terjadinya delik adat, delik aduan reaksi
dan koreksi, pertanggungjawaban kesalahan, tempat berlakunya.
a.
Tardisional magis religieus.
Tardisional dan magis religieus Artinya perbuatan
yang tidak boleh dilakukan dan perbuatan mana menggangu keseimbangan masyarakat
itu bersifat turun temurun dan dikaitkan dengan keagamaan.
Misalnya:
Anak tidak boleh murka kepada orang tua,adik tidak
boleh melangkahi kakak, pria dan wanita tidak boleh berzina, dan sebagainya.
b.
Menyeluruh dan menyatukan
Menyeluruh dan menyatukan artinya tidak
memisah-misah antara delik yang bersifat pidana atau bersifat perdata, begitu
pula tidak dibedakan kejahatan sebagai delik hukum dan pelanggaran sebagai
delik undang-undang. Begitu juga tidak dibedakan apakah delik itu merupakan
perbuatan yang disengaja (opzet) atau
karena kelalaian (culpa). Sehingga
tidak juga dibedakan antara pelaku
(dader) dengan yang turut melakukan (medeplichtiger) atau yang menghasut (uitlokker).
c.
Tidak prae-Existente
Tidak prae-Existente regels (soepomo, 1967: 102)
artinya tidak seperti hukum pidana barat sebagaimana yang dinyatakan dalam
pasal 1 KUHPidana (WvS) yang menganut adagium Montesquieu yang berbunyi “nullum delictim, nulla poena sine praevia
lege poenali”(tiada suatu delik, melainkan atas kekuatan aturan pidana di
dalam undang-undang yang telah ada lebih dahulu dari perbuatan itu). Menurut
hukum adat baik peraturan telah ditetapkan maupun belum ditetapkan terlebih
dulu, apabila perbuatan itu menggangu keseimbangan masyarakat maka peristiwa
atau perbuatan itu dapat dihukum.
d.
Tidak menyama-ratakan
Tidak menyama-ratakan artinya apabila terjadi delik
adat, maka yang terutama diperhatikan ialah timbulnya reaksi atau koreksi dan
terganggunya keseimbangan masyarakat, serta siapa pelaku perbuatan dilik itu
dan apa latar belakangnya (Hilman Hadikusuma 1984: 23). Terhadap pelaku delik
hukum adat tidak menyamaratakan , begitu pula peristiwa dan perbuatanya.
Misalnya: jika delik adat dilakukan oleh golongan
bangsawan atau raja-raja adat, orang yang bermartabat, orang pintar maka
hukumanya lebih berat dari pelaku orang biasa, orang rendah atau orang miskin.
e.
Terbuka dan lentur
Aturan hukum adat terbuka dan lentur (flexible)
terhadap unsur-unsur yang baru, yang berubah baik yang datang dari luar ataupun
karena perubahan perkembangan masyarakat lingkungannya.
Misalnya:
pakaian adat yang dulunya hanya dapat dipakai oleh para kepala adat
dimasa sekarang walaupun orang biasa ataupun orang luar dapat memakainya dan
tidak dipermasalahkan.
f.
Terjadinya delik adat
Terjadinya delik adat apabila tata-tertib adat
setempat dilanggar., dikarenakan adanya suatu pihak merasa dirugikan, sehingga
timbul reaksi dan koreksi dan keseimbangan masyarakat menjadi terganggu.
Misalnya: perbuatan mencuri buah-buahan di Aceh
jika jika pelakunya memetik buah-buahan dari pohon yang tidak dipelihara maka si pencuri dihukum membayar harganya.
g.
Delik aduan
Apabila terjadi delik adat yang akibatnya menggangu
keseimbangan keluarga, maka untuk menyelesaikan tuntutan atau gugatan dari
pihak yang dirugikan harus ada pengaduan atau pemberitahuan dan permintaan
untuk diselesaikan kepada kepala adat.
Misalnya: di dalam Simbur Tjahaja (ST) yang
berlaku di daerah sumatera selatan
dahulu pasal 20 menyatakan:
“jika seorang laki-laki memegang lengan gadis atau
janda di atas sikunya, meragang gewe namanya, ia dikenakan denda 6 ringgit.
Jika perempuan itu mengadu kepada rapat. Denda itu 3 ringgit diserahkan kepada
wanita itu sebagai “tekap malu” dan 3 ringgit diserahkan kepada rapat (sebagai
uang sidang).
h.
Reaksi dan koreksi
Tujuan adanya tindakan reaksi dan koreksi terhadap
peristiwa atau perbuatan delik adalah
untuk dapat memulihkan kembali keseimbangan masyarakat yang terganggu. sebagaimana disebut dalam bagian X dari “Pandecten van het adtrecht (Bab X
1936:695-720, dan juga Soepomo, 1967: 94-95)” dikatakan bahwa tindakan reaksi
atau koreksi dapat berupa :
1.
Penggantian kerugian Immaterieel dalam
berbagai rupa seperti paksaan menikahi gadis yang telah dicemarkan.
2.
Pembayaran “uang adat” kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang
sakti sebagai pengganti kerugian rohani.
3.
Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran
gaib.
4.
Penutup malu, permintaan maaf.
5.
Bebagai rupa hukuman badan, hingga hukuman mati.
6.
Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata hukum.
. Misalnya
di daerah lampung adakalanya tindakan reaksi dan koreksi itu berkelanjuan
dengan mengikat tali persaudaraan (mewari)
dalam hal hilang nyawa diganti dengan nyawa, dalam arti pihak yang berbuat
delik menyerahkan anggota keluarganya sebagai ganti dari korban yang telah mati
kepada pihak yang dirugikan, untuk diangkat sebagai anggota keluarganya
i.
Pertanggungjawaban kesalahan
Apabila terjadi peristiwa atau perbuatan delik
menurut hukum pidana barat yang diremasalahkan apakah perbuatan itu terbukti
kesalahannya dan dapat dihukum (strafbaarfeit) dan apakah pelakunya (dader)
dapat dipertanggungjawabkan. menurut hukum pidana adat yang dipermasalahkan
bagaimana akibat dari perbuatan itu dan siapa yang harus diminta
pertanggungjawabanya.
Misalnya: dalam hukum barat jika yang melakukan
adalah orang gila, ia mengamuk sehingga berakibat rumah seseorang menjadi rusak
berat maka pelakunya orang gila tidak dapat dihukum atau diminta
pertanggungjawaban. Lainhalnya dengan hukum adat bukan saja pribadi pelakunya
dapat dimintakan pertanggungjawaban tetapi juga keluaraga atau kerabat dan atau
kepala adatnya.
j.
Tempat berlakunya
Tempat berlakunya hukum delik adat tidak bersifat
nasional tetapi terbatas pada lingkungan masyarakat adat tertentu atau di
pedesaan.
Antara ketentuan hukum pidana menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) dan hukum pelanggaran adat terdapat
perbedaan sebagai berikut :
a.
Sistem Pemidanaan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menganut
sistem tertutup. Dalam Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
dinyatakan bahwa :
“tidak ada satu perbuatan yang
dapat dihukum, melainkan atas kekuatan aturan pidana di dalam undang-undang
yang terdahulu dari perbuatan itu”.
Kalimat tersebut berasal dari ajaran Montesqueu dalam L’esprit des Lois tahun 1748 yang
mengemukakan ajaran Trias Politica
sebagaimana dikatakannya Nullum Delictum,
nulla poena sine praevia lege poenala.
b.
Makna Perbuatan Salah
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan
bahwa perbuatan salah yang berakibat dapat dijatuhi hukumanan ditujukan kepada
orang yang berbuat atau melakukan kesalahan, dan kesalahan itu dilihat dari
perbuatan yang dilakukan dengan sengaja (opzet) atau karena lalai (culpa).
hukum adat tidak melihat pada perbuatan yang dilakukan, tatapi lebih luasa lagi,
yaitu melihat pada hasil atau akibat dari perbuatan yang dilakukan.
penyebab perbuatan secara sengaja atau akrena lalai tidak dibedakan.
c.
Pertanggungjawaban Kesalahan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mendasarkan
pertanggungjawaban pada kondisi fiksiksi pelaku. Hanya seseorang yang waras
secara jasmani dan rohani yang dapat dijatuhi pidana.
Di dalam pelanggaran adat kesalahan dapat
dijatuhkan kepada bukan pelakunya bahkan dapat dibebankan pertanggungjawabannya
kepada keluarga pelaku yang lain, orang tua, sanak saudara, atau masyarakat
hukum adatnya.
Hukum adat membedakan perlakuan pidana justru atas
dasar kedudukan si pelaku,apakah ia bermartabat, sehingga hukumnya harus
diperberat dibandingkan rakyat biasa.
d.
Ketentuan Menghakimi Sendiri
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
tidak ada hak untuk menghakimi sendiri seorang pelaku pidana. Hal ini berbeda
dengan ketentuan dalam masyarakat adat. Keluarga yang merasa dirugikan akibat
suatu perbuatan dapat menuntut sendiri ganti rugi yang harus dibayarkan untuk
mengembalikan harkat dan martabatnya dalam masyarakat.
Contoh :
Ø Di Batak misalnya diberlakukan “mabeangkon”, yaitu
menahan si pelaku dan mengikatnya dengan kayu sampai kerabatnya membayar denda
adat bagi seseorang yang melakukan suatu kesalahan.
Ø Di Minangkabau diberlakukan “adat tarik”, yaitu
pihak penderita berhak menahan/mengambil barang si pelaku atau keluarganya
sebagai jaminan agar pihak pelaku membayar ganti kerugian atau denda adat.
e.
Kriteria Pelaku
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenal
pelaku (dader), pembantu melakukan (made-plichtigheid), ikut berbuat
(madedaderderschap), membujuk berbuat (uitlokking), dan usaha percobaan (strafbare paging) dalam suatu perbuatan
pidana.
Dalam hukum adat perbuatan itu dipandang sebagai
satu kesatuan. Percobaan atas pelanggaran atau perbuatan pelanggaran
diperlakukan sama, yaitu dijatuhi hukuman sejauh menimbulkan ganguan
keseimbangan dalam masyarakat.
f.
Kesalahan Berulang/residive
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
seseorang yang melakukan kesalahan beberapa kali hanya dapat dilakukan
penghukuman atas perbuatannya yang terakhir dan atau terberat ancaman
hukumannya.
Hukum pelanggaran adat memperhitungkan keseluruhan
perbuatan yang dilakukan. Misalnya seseorang dapat diusir selam-lamanya dari
lingkungan masyarakat hukum adatnya seperti Di Minangkabau, berupa hukuman
“buang tingkarang” diusir dan disita seluruh harta kekayaannya dan tidak
diizinkan kembali ke daerah asalnya.
g.
Berat Ringan Hukuman
Penghilangan hukuman, pengurangan, dan penambahan
hukuman pidana dalam hukum pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) ditentukan atas dasar pasal 44 – Pasal 52 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).
Pelaksanaan hukuman atas pelanggaran, dalam hukum
adat justru mempertimbangan permintaan maaf dan pengakuan atas kesalahan adat
yang dilakukan si pelaku. Hal ini didasarkan atas asas kekeluargaan, kedamaian,
kerukunan, dan rasa keadilan dari masyarakat.
h.
Hak Mendapat Perlindungan
Pada masyarakat hukum adat terdapat ketentuan bahwa
seseorang yang bersalah dapat dilindungi dari ancaman hukuman pihak lain bila
ia berlindung kepada kepala adat, penghulu agama, atau raja. Di Sumatera
Selatan, Sumba, dan Bali disebut “hak asjil”. Zaman Majapahit dahulu seorang
terpidana kalau sudah memasuki tanah “perdikan”, tidak boleh dilakukan secara
sewenang-wenang sampai proses peradilan dilaknakan sesuai dengan aturan yang
berlaku.
Dalam bidang hukum harta kekayaan khususnya hukum
benda, yakni perihal jual beli tanah, hukum adat mengenal perlindungan terhadap
pihak yang membeli dengan itikad baik. Suatu tinjauan dari segi hukum adat akan
dapat diperoleh melalui analisis Ter Haar dalam terjemahan bebas (Soleman B.
Taneko; 1981) :
“di dalam praktek acapkali terdapat bahwa seorang “tidak berhak”
(misalnya seorang wakil atau salah seorang dari sesame pemilik) menjual
sebidang tanah pertanian atau pekarangan dengan bantuan penmghulu rakyat (yang
mungkin ia sendiri mengira berhadapan dengan orang yang benar-benar berhak).
Bilamana si pembeli (penerima) di waktu membeli tanah itu bertindak dengan hati
jujur”, maka ia terhadap pemilik sejati yang dirugikan diperlindungi sebagai
seorang yang berhak atas tanah. Si pemilik tanah lantas dapat memilih antara
menembus kembali dan melepaskan tanah itu buat selama-lamanya dan ia sendiri
dapat mencoba untuk memperoleh kembalinya uang pembelian dari penjual yang
curang itu”.
i.
Kategori Kesalahan dan Kejahatan
Hukum pelanggaran adat tidak diperbedakan antara
kejahatan dan pelanggaran sebagaimana hukum pidana Barat. Terjadinya suatu
kesalahan yang menyebabkan kerugian atau menjatuhi pidana, melainkan yang lebih
penting adalah sejauh mana kesalahan itu terjadi dan mengganggu keseimbangan
masyarakat.
Kapan suatu perbuatan dapat dinyatakan sebuah
pelanggaran, dapat dijelaskan dalam beberapa keadaan di bawah ini :
a.
Tata tertib adat dilanggar
Dalam struktur masyarakat adat tata tertib meliputi hampir semua bidang
kehidupan, seperti kekerabatan, perkawinan, perkebunan, kewarisan, dan
sebagainya. Pelanggaran atas tata tertib kehidupan masyarakat dan menimbulkan
reaksi, maka seketika itu dapat dikatakan telah terjadi pelanggaran adat.
b.
Keseimbangan Masyarakat tergangu
Keseimbangan masyarakat ini dapat dibedakan atas keseimbangan umum,
keseimbangan kelompok masyarakat, kerabat, atau bahkan keluarga. Dengan
demikian, dapat dinyatakan bahwa
terjadinya delik adat ada yang sifatnya bertentangan dengan rasa keadilan umum,
dan ada yang hanya bertentangan dengan hak-hak kerukunan kekerabatan,
kekeluargaan, atau perorangan.
Berkaitan dengan keberadaan hukum pelanggaran adat,
Soepomo (2001) memberikan komentar :
“suatu peraturan
mengenai tingkah laku manusia (rule of behavior) pada suatu waktu mendapat sifat hukum, pada saat petugas hukum yang
bersangkutan mempertahankannya tehadap orang yang melanggar peraturan itu, atau pada saat petugas hukum bertindak untuk
mencegah pelanggaran peraturan itu”.
Dengan demikian, adanya penyelewengan menurut hukum
adat adalah ketika tingkah laku itu mendapat sifat hukum, yaitu pada saat petugas
hukum mempertahankan aturan itu atau pada saat petugas hukum bertindak untuk
mencegah terjadinya pelanggaran hukum.
v Kebijakan Hukum Pidana
Barda Nawawi Arief mengenai langkah kebijakan hukum
pidana (penai policy, criminal law policy, strafrechtpolitiek). Mengutip
pemikiran Marc Ancel, Barda Nawawi Arief (1996) menyatakan kebijakan criminal
itu adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan
praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik
dan untuk memberikan pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi
juga kepada pengadilan yang menerapkan dan juga kepada para penyelenggara atau
pelaksana putusan pengadilan.
Kebijakan kriminal dalam arti yang lebih sempit
lagi, yaitu mencakup :
a.
Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau
diperbaharui;
b.
Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; dan
c.
Bagaimanakah cara penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan
pidana harus dilaksanakan.
v Penanggulangan Kejahatan dan pencapaian tujuan masyarakat
Berkaitan dengan usaha pembentukan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional, pada masa yang akan datang hukum
pelanggaran adat ini masih relevan untuk dikaji. Peluang ini diberikan oleh
undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, yang menyatakan bahwa di bekas
wilayah Pengadilan adat di Indonesia hukum pelanggaran adat masih tetap diakui
berlaku di daerah tersebut dengan catatan bahwa asas-asas hukum pelanggaran
adat dan sanksi-sanksinya tidak boleh ditetapkan lagi.
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Nasional yang hingga kini masih dirancang (rancangannya sendiri telah melewati
30 (tiga puluh) tahun lamanya) mencantumkan beberapa pasal yang memberikan
peluang pemberlakuan hukum palamnggaran adat seperti :
a.
Pasal 1 ayat (3) :
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
mengurangi berlakunya hukum yang hidup atau hukum adat yang menentukan bahwa
menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut
tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam penjelasan pasal ini dinyatakan :
Adalah suatu kenyataan bahwa dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia
masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dan berlaku
sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam
lapangan hukum pidana yang biasanya disebut dengan tindak pelanggaran adat.
b.
Pasal 59 ayat (1) :
Dalam putusan dapat
ditetapkan kewajiban adat setempat yang harus dilakukan oleh terpidana
Dalam penjelasan pasal ini dinyatakan :
Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat, hanya dapat dijatuhkan
apabila secara nyata adat setempat menghendaki hal itu, yang tidak dilaksanakan
akan menimbulkan keguncangan serius dlam masyarakat setempat, serta tidak
melanggar asas kepatutan dan kesusilaan.
c.
Pasal 93 ayat (2)
Pemenuhan kewjiban adat sebagaimana dimaksud
dalamayat (1) merupakanpidana pokok atau yang diutamakan jika tindak pidana
yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3).
d.
Pasal 93 ayat (3)
Kewajiban adat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dianggap
sebanding dengan pidana denda Kategori I dan dapat dikenakan pidana pengganti
untuk pidana denda jika kewajiban adat
itu tidak dipenuhi atau tidak dijalani oleh terpidana.
e.
Penjelasan Umum Buku 1 huruf 1 :
“.......Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini diakui pula adanya
pelanggaran adat untuk lebih memenuhi
rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Adalah suatu kenyataan bahwa
dibeberapa derah di tanah air, maish terdapat ketentuan-ketentuan hukum yang
tidak tertulis, yang hidup dan diakui sebagai hukum didaerah yang bersangkutan,
yang menentukan bahwa pelanggaran atas hukum itu patut di pidana. Dalam hal ini
hakim dapat menetapkan sanksi berupa kewajiban adat yang harus dipenuhi oleh pelaku
tindak pidana. Ini memberi arti, bahwa
nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat setempat masih tetap
dilindungi..........”
Dalam wacana lebih luas di mana kepentingan
masyarakat harus didahulukan, tujuan pemidanaan ditetapkan dalam rancangan
Pasal 51 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Baru, yaitu :
1.
Pemidanaan bertujuan untuk :
(a) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat,
(b) Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi
orang yang baik dan berguna,
(c) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat,
(d) Membebaskan rasa bersalah pada terpidana
2.
Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan
dan tidak merendahkan martabat manusia
Muladi (1990) berkaitan dengan pembaharuan hukum
pidana (banyak yang menyebutkannya dengan reformasi hukum pidana) selain
beralaskan sosiologis, polotis, hendaknya juga mengedepankan adaptif. Alasan
adaptif menurut Muladi adalah bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Nasional pada masa mendatang harus dapat menyesuaikan diri dengan
perkembangan-perkembangan baru, khususnya perkembangan Internasional yang telah
disepakati oleh masyarakat beradap
dengan karakteristik operasional :
a.
Hukum Pidana tidak boleh mengabaikan aspek-aspek yang berkaitan dengan
kondisi manusia, alamdan taradisi Indonesia. Hal ini berarti hukum pidana harus
berpijak pada khazanah dalam negeri sebagai kristalisasi opini masyarakat untuk
menciptakan ketertiban.
b.
Hukum pidana harus dapat menyesuaikan diri dengan
kecenderungan-kecenderungan universal yang berkembang pada pergaaulan
masyarakat beradab. Hal ini berarti hubungan pidana juga menyerap wawasan yang
berkembang dan dimiliki masyarakat lain, sehingga mampu menyelesaikan
konflik-konflik yang bersifat global.
c.
Hukum pidana harus mempunyai aspek-aspek yang bersifat preventif. Hal
ini bertujuan untuk memperkecil terjadinya tindak pidana karena secara tidak
langsung sudah menumbuhkan perasaan enggan (takut) untuk melanggar hukum
pidana.
d.
Hukum pidana harus selalu tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi untuk meningkatkan efektivitas fungsinya didalam masyarakat. Hal
ini berkaitan dengan kemampuan hukum pidana untuk menangkal perkembangan atau
bentuk-bentuk baru kejahatan karena semakin majunya ilmu pengetahuan dan
teknologi serta globalisasi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
delik adat adalah peristiwa atau perbuatan yang
menggangu keseimbangan masyarakat, yang bertentangan dengan kepatutan, ketertiban, keamanan, rasa keadilan,
dan kesadaran hukum masyarakat bersangkutan, baik hal itu akibat perbuatan
seseorang maupun perbuatan penguasa adat sendiri dan karena adanya reaksi dari
masyarakat maka keseimbangan itu harus dipulihkan kembali dengan hukuman denda
atau dengan upacara adat.
Pelangaran
adat adalah:
a. Suatu peristiwa aksi dari para pihak dalam
masyarakat.
b.
Aksi itu menimbulkan adanya gangguan keseimbangan.
c.
Gangguan keseimbanag itu menimbulkan reaksi.
d.
Reaksi yang timbul menjadikan terpeliharanaya kembali atas gangguan
keseimbangan kepada keadaan semula.
Beberapa macam delik adat :
1.
Kesalahan mengganggu keamanan
2.
Kesalahan menganggu ketertiban
3.
Kesalahan kesopanan dan kesusilaan
4.
Kesalahan dalam perjanjian
5.
Kesalahan menyangkut tanah, tanam tumbuhan dan hasil hutan
6.
Kesalahan menyangkut hewan ternak dan perikanan
Penyelesaian delik adat yang berakibat terganggunya
keseimbangan keluarga atau masyarakat, walaupun adakalanya perkaranya sampai
ditangani oleh alat negara, dapat ditempuh dengan cara melalui pribadi dan atau
keluarga yang bersangkutan, atau ditangani kepala kerabat, kepala adat kepala
desa, ketua perkumpulan organisasi (instansi) dan alat negara.
Tugas
penegakan hukum terhadap hukum dan pelanggarannya ada pada kepala persekutuan
hukum berupa serangkaian ketentuan-ketentuan, antara lain:
a. Merumuskan pedoman bagaimanakah warga masyarakat
seharusnya berperilaku, sehingga terjadi integrasi dalam masyarakat.
b.
Menetralisasikan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat sehingga dapat
dimanfaatkan untuk mengadakan ketertiban.
c.
Mengatasi persengketaan agar semula pulih kembali.
d.
Merumuskan kembali pedoman yang mengatur hubungan antara waga-warga
masyarakat dan kelompok-kelompok apabila terjadi perubahan-perubahan.
B. Saran
Dalam hal terjadi suatu pelanggaran dalam
masyarakat maka janganlah langsung diselesaikan dengan hukum positif dalam hal
ini adalah hukum Negara namun lebih baik diselesaikan terlebih dahulu secara
hukum adat dalam hal ini adalah melalui kepala adat agar diharapkan timbul
keselarasian dan keseimbangan dengan mengindahkan norma-norma secara musyawarah
mufakat.
Daftar Pustaka
Hadikusuma, Hilman. Pengantar ilmu hukum adat indonesia. Mondar maju
bandung, 2003.
0 komentar:
Post a Comment