KATA
PENGANTAR
Pujisyukur
penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T, karena atas rahmat dan hidayahnya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial walaupun terdapat beberapa kendala sebelumnya.
Penulis pun sangat menyadari bahwa dalam penulisan tugasan makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan. Namun demikian penulis tetap berusaha mencurahkan
segala kemampuan untuk menghasilkan tulisan yang maksimal. Maka dengan itu
punilis mengharapkan kritik serta saran yang membangun agar dapat menjadi acuan
bagi penulis dalam pembuatan tugas makalah berikutnya. Adapun tujuan penulisan
makalah ini adalah untuk kelengkapan tugas kuliah serta menambah nilai dan ilmu
pengetahuan.
Semoga
penulisan makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi
pembaca, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai,
Amin
Jakarta, 25 Oktober 2015
Penulis
DAFTAR ISI
BAB
I
PENDAHULUAN
Hubungan Industrial pada dasarnya adalah
suatu hubungan hukum yang dilakukan antara pengusaha dengan pekerja. Dalam
hubungan tersebut memang tidak selamanya akan berjalalan lancar-lancar saja
dalam arti tidak ada permasalahan yang timbul dari hubungan industrial. Ini
terbukti dengan banyaknya pemberitaan di media massa saat ini yang memberitakan
perselisihan-perselisihan di dalam hubungan industrial tersebut.
Banyak faktor yang menjadi penyebab dalam
permasalahan atau perselisihan hubungan industrial antara pekerja dan
pengusaha, yang antara lain adalah Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK atau
karena tidak adanya pemenuhan hak-hak bagi pekerja. Namun, tidak hanya itu,
permasalahan hubungan industrial juga bisa terjadi anatara para pekerja
sendiri. Misalkan antara serikat pekerja dalam satu perusahaan.
Karena banyak perselisihan-perselisihan yang
timbul dalam hubungan industrial tersebut, maka perlu di cari cara terbaik
dalam menyelesaikan permasalah atau perselisihan hubungan industrial antara
pekerja dengan pengusaha atau pekerja dengan pekerja. Lalu yang menjadi
pertanyaan adalah bagaimana menyelesaikan masalah tersebut ? hal ini perlu
dikaji secara komperhensif sehingga dalam hubungan industrial antara pekerja
dengan pengusaha tercipta sebuah hubungan yang harmonis dalam upaya mewujudkan
suasana ketenagakerjaan yang baik dan harmonis di negeri ini
1.
Bagaimana Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial di Indonesia ?
BAB
II
PEMBAHASAN
Hubungan industrial adalah suatu sistem
hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang
dan/atau jasa, yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah
yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar tahun 1945.
Dari pengertian hubungan industrial di atas maka ada beberapa pihak-pihak yang
terkait dalam hubungan industrial tersebut yang antara lain adalah
pengusaha/pemberi kerja, pekerja/ buruh dan pemerintah.
Jadi perselisihan hubungan industrial adalah
perselisihan yang menyangkut hubungan antara pengusaha dan pekerja, serta
melibatkan pemerintah dalam upaya penyelesaian perselisihan hubungan
industrial. Sedangkan menurut Pasal 1 poin 1 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004
tentangpenyelesaian perselisihan hubungan industrial, yang dimaksud
perselisihan hubungan industrial adalah “perbedaan
pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan
pegusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya
perselisihan mengenai hak perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu
perusahaan”.
Adapun yang dimaksud dengan perselisihan hak
adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak akibat adanya
perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama. Sedangkan perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang
timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya keseuaian pendapat mengenai
pembuatan dan/atau peraturan perusahaan atau perjanjikan kerja bersama, serta
perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena
tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan
oleh satu pihak. Serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh lain
hanya dalam satu perusahaan karena tidak adanya persesuaian paham mengenai
keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban keserikat pekerjaan.
Karena pihak-pihak yang terkait menurut
definisi di atas hanya pengusha, pekerja,dan pemerintah maka di dalam hubungan
industrial tersebut, ketiganya memiliki peranan atau fungsi masing-masing dalam
hubungan industrial tersebut, antara lain :
1.
Fungsi Pemerintah :
a. Menetapkan
kebijakan
b. Memberikan
pelayanan
c. Melaksanakan
pengawasan
d. Melakukan
penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
2.
Fungsi pekerja/ buruh dan serikat
pekerja/buruh
a. Menjalankan
pekerjaan sesuai dengan kewajibanya
b. Menjaga
ketertiban demi kelangsungan produksi
c. Menyalurkan
aspirasi secara demokratis
d. Mengembangkan
keterampilan dan keahlianya
e. Memajukan
perusahaan
f. Memperjuangkan
kesejahteraan anggota beserta keluarganya
3.
Fungsi pengusaha dan organisasi pengusahanya
a. Menciptakan
kemitraan
b. Mengembangkan
usaha
c. Memperluas
lapangan kerja
d. Memberikan
kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka demokratis dan berkeadilan
Dari peranan atau fungsi para pihak yang ada
di dalam hubungan industrial tersebut, terlihat bahwa ada suatu hubungan yang
saling membutuhkan antara pihak-pihak yang terkait dalam hubungan industrial
tersebut. Dalam upaya menciptakan hubungan yang baik tersebut, maka diperlukan
sarana-sarana yang diperlukan dalam hubungan industrial tersebut, adapun
sarannya adalah sebagai berikut :
a.
Serikat pekerja/buruh
b.
Organisasi pengusaha
c.
Lembaga kerjasama bipartite
d.
Lembaga kerjasana tripartite
e.
Peraturan perusahaan
f.
Perjanjian kerja bersama
g.
Peraturan perundang-undangan ketengakerjaan
h.
Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial
Dari sarana yang ada dia atas maka dapat kita
golongkan dalam dua (2) kelompok. Kelompok yang pertama adalah cara yang
digunakan untuk mencegah adanaya perselisihan hubungan industrial (preventif)
dan yang kedua adalah cara penyelesaian hubungan industrial bila terjadi permasalahan
atau perselisihan hubungan industrial (represif).
Tidak terlepas dari fungsi-fungsi pihak yang
terkait di atas maka, sejatinya perselisihan hubungan industrial menyangkut
permasalahan diantara ketiga pihak diatas. Maka berdasarkan pasal 2
Undang-Undang No. 2 Tahun 2004, jenis perselisihan hubungan industrial meliputi
:
a. Perselisihan hak
b. Perselisihan kepentingan
c. Perselisihan pemutusan hubungan kerja
d.
Perselisihan
antara serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Denagan cakupan materi perselisihan hubungan
industrial sebagaimana dimaksud di atas, penjelasan umum UU No. 2 Tahun 2004
menjabarkan lebih lanjut bahwa perselisihan hubungan industrial pada pokoknya
adalah sebagai berikut :
1. Pengaturan penyelesaian perselisihan
hubungan industrial yang terjadi baik di perusahaan swasta maupun perusahaan di
lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
2. Pihak yang berperkara adalah
pekerja/buruh secara perseorangan maupun organisasi serikat pekerja/buruh dengan
pengusaha atau organisasi pengusaha. Pihak yang berperkara dapat juga dapat
terjadi antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat
buruh lain dalam satu perusahaan.
3. Setiap perselisihan hubungan industrial
pada awalnya diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat oleh pihak yang
berselidih (bipatrite).
4. Dalam hal perundingan oleh pihak yang
berselisih (bipatrite) gagal, maka salah satu pihak atau kedua belah pihak
mencatatkan perselisihanya pada instani yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat.
5. Perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau
perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh yang telah dicatat pada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dapat diselesaikan
melalui konsiliasi atas kesepakatan kedua belah pihak, sedangkan penyelesaian
perselisihan melalui arbitrase atas kesepakatan kedua belah pihak hanya
perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.
Apabila tidak ada kesepakatan kedua belah pihak untuk menyelesaikan
perselisihan melalui konsiliasi atau arbitarse, maka sebelum diajukan ke
pengadilan hubungan industrial terlebih dahulu melalui mediasi. Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari menumpuknya perkara perselisihan hubungan industrial
di pengadilan.
6. Perselisihan hak yang telah dicatat pada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan tidak dapat
diselesaikan melalui konsiliasi atau arbitrase, namun sebelum diajukan ke
pengadilan hubungan industrial terlebih dahulu melalui mediasi.
7. Dalam hal mediasi atau konsiliasi tidak
mencapai kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian bersama, maka salah satu
pihak dapat mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial.
8. Penyelesaian perselisihan hubungan
industrial melalui arbitrase dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak dan
tidak dapat diajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial karena putusan
arbitrase bersifat akhir dan tetap, kecuali dalam hal-hal tertentu dapat
diajukan pembatalan ke Mahkamah Agung.
9. Pengadilan hubungan industrial beradal
pada lingkungan peradilan umum dan dibentuk pada pengadilan negeri secara
bertahap pada Mahkamah Agung.
10. Untuk menjamin penyelesain yang cepat,
tepat, adil, dan murah, penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui
pengadilan hubungan industrial yang berada pada linkungan peradilan umum
dibatasi proses dan tahapanya dengan tidak membuka kesempatan untuk mengajukan
upaya banding ke pengadilan tinggi. Putusan pengadilan hubungan industrial pada
pengadilan negeri yang menyangkut perselisihan hak dan perselisihan pemutusan
hubungan kerja dapat langsung dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung. Adapun
putusan pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri yang menyangkut
perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh
dalam satu perusahaan merupukan putusan tingkat pertama dan terakhir yang tidak
dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung.
11. Pengadilan hubungan industrial yang
memeriksa dan mengadili perselisihan hubungan industrial dilaksanakan oleh majelis
hakim yang beranggotakan 3 (tiga) orang, yakni seorang hakim pengadilan negeri
dan 2 (dua) orang hakim ad hoc yang pengangkatanya diusulkan oleh organisasi
pengusaha dan organisasi pekerja/ organisasi buruh.
12. Putusan pengadilan hubungan industrial pada
pengadilan negeri mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar
serikat pekerja/ serikat buruh dalam satu perusahaan tidak dapat diajukan
kasasi kepada Mahkamah Agung.
13. Untuk menegakan hukum ditetapkan sanksi,
sehingga dapat merupakan alat paksa yang lebih kuat agar ketentuan
undang-undang ini ditaati.
Imam soepomo, menyebutkan jenis perselisihan
perburuhan dibedakan antara perselisihan hak (rechtgeschil) dan perselisihan
kepentingan (belangengeschil) Sedangkan menurut H.M Laica Marzuki, terdapat dua
macam karakteristik perselisihan yang mewarnai karakteristik perselisihan yang
mewarnai kasus-kasus perburuhan, yakni :
1.
Kasus perselisihan hak (rechtgeschil,
conflict of right ) yang berpaut dengan tidak adanya persesuaian yang demikian
itu, menitik beratkan aspek hukum (rechtmatigheid ) dari permasalahan, utamanya menyangkut
pencederaan janji ( wanprestasi ) terhadap perjanjian kerja, suatu pelanggaran
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
2.
Kasus perselisihan kepentingan (belangeschillen,
conflict of interset) yang berpaut dengan tidak adanya persesuaian paham
mengenai syarat-sayarat kerja dan/atau keadaan perburuhan, utamanya menyangkut
perbaikan ekonomis serta akomodasi kehidupan para pekerja. Perselisihan
sedemikian menitikberatkan doelmatigheid permasalahan.
Karakteristik perselisihan hak, pada intinya
perselisihan hak normatif atau hak atas hukum dalam hubungan kerja, yakni
perselisihan yang menitikberatkan aspek hukum (rechtmatigheid), sebagai akibat
terjadinya pelanggaran/tidak dipenuhinya hak, perbedaan perlakuan atau
penafsiran terhadap peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan
perusahaan maupun perjanjian kerja bersama. Sedangkan karakteristik
perselisihan kepentingan berkaitan dengan syarat-syarat kerja dan/atau keadaan
perburuhan, yang menitikberatkan pada kebijaksanaan (doelmatigheid)
permasalahan, di luar aspek hukum.
Dari pendapat Imam Soepomo, Laica Marzuki
dapat diketahui bahwa perselisihan hubungan industrial hanya berwenang untuk
mengadili perselisihan hak saja. Mustahil dapat menyelesaikan perselisihan
kepentingan. Perselisihan kepentingan hanya dapat diselesaikan melalui jalur
non litigasi, yaitu mediasi, konsiliasi atau arbitrase. Ketiga lembaga itu akan
menyelesaikan dengan mencari win-win solution dalam bentuk kebijaksanaan.
Apabila perselisihan kepentingan di selesaikan melalui jalur penyelesaian
hubungan industrial, hakim peneyelesaian hubungan industrial akan menggunakan
aturan hukum dengan menomorduakan kebijaksanaan yang dicapai melalui win-win solution.
Dalam rangka upaya penyelesaian hubungan
industrial dapat dilakukan dengan berbagai cara. Cara-cara yang di tempuh
ditentukan oleh pihak-pihak yang bersengketa dalam perselisihan hubungan
industrial itu sendiri. Secara garis besar ada dua cara yang dapat di tempuh
dalam menyelesaiakn perselisihan hubungan industrial, yakni melalui pengadilan
hubungan industrial dan yang kedua adalah di luar pengadilan hubungan
industrial.
Adapun cara-cara yang dapat di tempuh di luar
pengadilan hubungan industrial antaralain adalah bipatrit, konsiliasi,
arbitrase dan mediasi. Cara-cara penyelesian perselisihan hubungan industrial
ini sangat dianjurkan, karena tidak melalui pengadilan hubungan industrial yang
pastinya akan lebih menyita waktu, biaya dang tenaga pada pihak-pihak yang
bersengketa. Diantara penyeleseian perselisihan hubungan industrial antara lain
:
1.
Bipatrite
Definisi
perundingan bipartit dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Hubungan Industrial (“UU PHI”) adalah “perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
Perselisihan hubungan industrial wajib
diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara
musyawarah untuk mencapai mufakat, dan jangka waktu penyelesaian perselisihan
melalui bipartit harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak tanggal dimulainya perundingan. Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan
perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit
dianggap gagal”.
Setiap
perundingan bipartit yang dilakukan antara pengusaha dan pekerja harus dibuat
risalah yang ditandatangani oleh para pihak. Risalah perundingan tersebut
sekurang-kurangnya memuat:
1. nama
lengkap dan alamat para pihak;
2. tanggal
dan tempat perundingan;
3. pokok
masalah atau alasan perselisihan;
4. pendapat
para pihak;
5. kesimpulan
atau hasil perundingan; dan
6. tanggal
serta tandatangan para pihak yang melakukan perundingan.
Dalam hal perundingan bipartit mencapai
kesepakatan penyelesaian, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditanda tangani
oleh para pihak. Perjanjian Bersama tersebut mengikat dan wajib dilaksanakan
oleh para pihak. Perjanjian Bersama wajib didaftarkan oleh para pihak pada
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak
mengadakan Perjanjian Bersama. Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan
akta bukti pendaftaran Perjanjian Bersama dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Perjanjian Bersama.
Apabila Perjanjian Bersama yang telah dibuat
tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat
mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri dimana Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapatkan
penetapan eksekusi. Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan
Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat
mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan kepada
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten
melaksanakan eksekusi.
Dalam hal perundingan bipartit gagal, maka
salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan
bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah
dilakukan. Apabila bukti-bukti upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit
tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan akan mengembalikan berkas-berkas tersebut untuk dilengkapi
dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal
diterimanya pengembalian berkas. Dan setelah menerima pencatatan dari salah
satu atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih
penyelesaian melalui konsiliasi, mediasi atau melalui arbitrase. Dan apabila
para pihak tidak menetapkan pilihan dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka
instansi yang bertangung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan
penyelesaian perselisihan secara mediasi kepada mediator.
2.
Konsiliasi
Pengertian konsiliasi
sendiri sudah diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian
permasalahan hubungan industrial dalam pasal 1 angka 13 yang berbunyi “konsiliasi hubungan industrial yang
selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang
ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral”. Konsiliator
sendiri juga di atur dalam pasal 1 angka 14 yang berbunyi “konsiliator hubungan industrial yang selanjutnya disebut konsiliator
adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator
ditetapkan oleh menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib
memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk
menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja
atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan”.
3.
Arbitrase
Pengertian
arbitrase sendiri sudah diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang
penyelesaian permasalahan hubungan industrial dalam pasal 1 angka 15 yang
berbunyi “arbitrase hubungan industrial
yang selanjutnya disebut arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan
kepentingan, dan perselisihan antar serikat kerja/serikat buruh hanya dalam
satu perusahaan, di luar pengadilan hubungan industrial melalui kesepakatan
tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian kepada
arbiter yang putusanya mengikat para pihak dan bersifat final”. Sedangkan
arbiter sendiri adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang
berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh menteri unuk memberikan
putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan
penyelesaianya melalui arbitrase yang putusanya mengikat para pihak dan
bersifat final.
4.
Mediasi
Mediasi
menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian hubungan industrial
dijelaskan pengertianya dalam pasal 1 angka 11 yaitu “mediasi hubungan industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah
penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya
dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang mediator
atau lebih mediator yang netral. Sedangkan mediator adalah pegawai instansi
pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi
syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan menteri untuk bertugas melakukan
mediasi yang mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak
yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan”.
Dalam
hal ini mediator harus memenuhi syarat-syarat sebagai mediator, adapun syarat
untuk menjadi mediator adalah :
a.
Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa
b.
Warga negara Indonesia
c.
Berbadan sehat menurut surat keterangan
dokter
d.
Menguasai peraturang perundang-undangan di
bidang ketenagakerjaan
e.
Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak
tercela
f.
Berpendidikan sekurang-kurangnya strata satu
(1) dan
g.
Syarat lain yang di tetapkan oleh menteri
5.
Pengadilan Hubungan Industrial
Pengdilan
Hubunga industrial menurut Undang-Undang No.2 Tahun 2004 tentang penyelesaian
perselisihan hubungan industrial adalah pengadilan khusus yang di bentuk di
lingkungan peradilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi
putusang terhadap perselisihan hubungan industrial.
Proses
beracara di PHI, sebagaimana disebutkan Pasal 57 UU No 2/2004 adalah sama
dengan Hukum Acara Perdata yang berlaku di lingkungan peradilan umum.
Perbedaannya hanya terletak pada pokok gugatan, yaitu dalam surat gugatan
hubungan industrial khusus perkara yang ada hubungannya dengan ketenagakerjaan.
Selain itu, perbedaannya dengan Hukum Acara Perdata, dalam penyelesaian
sengketa melalui PHI hanya melalui dua tingkat pemeriksaan/persidangan, yaitu
PHI sebagai pengadilan tingkat pertama dan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan
Tingkat Terakhir. Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutus perkara di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;di
tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;di tingkat
pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan di tingkat pertama
dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam
satu perusahaan.
Gugatan
perdata yang diajukan dan diperiksa oleh hakim PHI ini terutama kasus
perselisihan ketenagakerjaan yang tidak dapat diselesaikan di Tingkat Konsiliasi
dan atau Tingkat Mediasi. Timbulnya perselisihan sampai terjadi gugatan ke PHI,
umumnya adalah karena tidak terjadinya kesepakatan para pihak yang berperkara
mengenai besar-kecilnya uang pesangon, uang jasa, ganti rugi perumahan dan
pengobatan, dsb dalam perundingan di Tingkat Konsiliasi atau Tingkat Mediasi.
Atau bisa juga karena salah satu pihak beperkara ingkar terhadap Perjanjian
Bersama/Akta Perdamaian yang disepakati di Tingkat Bipartit, atau Tingkat
Konsiliasi, atau Tingkat Arbitrase, atau Tingkat Mediasi. Kalau yang terakhir
terjadi, maka salah satu pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan
eksekusi kepada Ketua PHI.
Hakim
kasasi adalah majelis hakim di Mahkamah Agung RI, terdiri atas satu Hakim Agung
dan dua Hakim Ad-Hoc. Hakim Kasasi berwenang memeriksa dan mengadili perkara
perselisihan hak dan PHK serta Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan
Arbitrase. Hakim Kasasi ini wajin mengeluarkan putusan paling lambat 30 hari
kerja setelah menerima permohonan kasasi atau PK.
Kehadiran
PHI ini tidak hanya merupakan aset hukum bagi dunia peradilan kita, tetapi juga
merupakan kekuatan baru bagi pekerja dalam rangka mencari perlindungan hukum.
Terlebih adanya putusan PHI berupa sita eksekusi. Dengan demikian, diharapkan
tidak ada lagi pengusaha yang berani bertindak semena-mena terhadap pekerjanya.
Adalah harapan kita semua, dengan UU No 2/2004 dan PHI ini diimbangi peran
serta konsiliator, arbiter, mediator, dan hakim PHI yang benar-benar menegakkan
hukum dengan tegas, jujur, adil, bersih dari KKN serta netral (tidak memihak).
Semua anjuran tertulis dari konsiliator, arbiter, dan mediator, maupun putusan
PHI benar-benar berdasarkan atas hukum, keadilan, dan kepatutan.
Perselisihan
perburuhan yang merupakan sengketa perdata itu, sudah saatnya dan sudah
seharusnya diadili oleh peradilan umum sejak dari awal. Namun bagi pencari
keadilan, Pekerja terutama, yang terpenting bukan pada institusi dan mekanisme
penyelesaiannya, melainkan bagaimana hak-hak mereka dapat diperoleh secara
wajar tanpa harus bersentuhan dengan keruwetan birokrasi dan calo keadilan.
Kekhawatiran terhadap hal yang demikian adalah wajar, karena walaupun telah
dilakukan penyederhanaan institusi dan mekanisme, PHI masih menggunakan Hukum
Acara Perdata dalam pelaksanaan eksekusinya, baik eksekusi putusan PHI sendiri
maupun eksekusi hasil mediasi, konsiliasi, dan arbitrase yang tidak
dilaksanakan secara sukarela oleh para pihaknya. Masalah eksekusi ini merupakan
masalah yang sangat krusial, karena disinilah penentuan dan letak akhir sebuah
proses.
Menjadi
tidak bernilai sebuah putusan jika sulit untuk dieksekusi. Dalam praktek
peradilan kita, eksekusi bukanlah sesuatu yang "pasti" mudah
dilakukan meskipun sebuah putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pada
tahapan ini masih banyak ruang yang menggoda terjadinya permainan yang
memanfaatkan pihak yang bersengketa oleh oknum pengadilan. Oleh sebab itu sudah
seharusnya pula dibentuk hukum yang baru mengenai eksekusi putusan pengadilan,
setidaknya eksekusi putusan PHI, yang sekurang-kurangnya merupakan
penyederhanaan waktu proses eksekusi. Selain itu pembentukan PHI pada setiap
peradilan umum dalam wilayah yang padat industri harus menjadi perhatian
Presiden agar tidak tertunda dan segera diwujudkan.
Dengan
demikian keberadaan PHI yang diharapkan dapat mewujudkan penyelesaian
perselisihan perburuhan secara cepat, tepat, adil, dan murah, akan mampu
merubah sikap pesimis dan anggapan masyarakat bahwa berurusan dengan pengadilan
adalah identik dengan ketidakpastian dan biaya mahal, apalagi kekecewaan dan
keraguan masyarakat semakin menggunung dengan merebaknya kasus mafia peradilan
yang seperti tidak pernah berhenti.
Oleh karenanya, jika penyelesaian perselisihan
perburuhan masih tetap tidak efektif melalui PHI, maka tentu tidak ada bedanya
penyelesaian melalui Badan Administasi Negara dengan Peradilan Umum. Ini adalah
tantangan bagi penyelenggara PHI kepada masyarakat Indonesia, khususnya
pihak-pihak yang terkait dalam masalah ketenagakerjaan.
BAB
III
PENUTUP
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial
adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau
gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
karena adanya perselisihan mengenai hak perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
dalam satu perusahaan. Dalam rangka penyelesaian perselisihan hubungan
industrial tersebut, maka dapat dilakukan dengan dua cara penyelesaian.
Pertama,melalui jalur di luar pengadilan hubungan industrial yang antara lain
melalui mediasi, konsiliasi, bipatrite dan arbitrase dan kedua adalah melalui pengadilan
hubungan industrial
Dalam hal terjadi perselisahan dan perbedaan
pendapat antara buru pengusaha yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha
atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
dalam suatu perusahaan maka janganlah terus diselesaikan di hubungan industrial
namun selesaikanlah secara musyawarah mufakat baik melalui mediasi, konsiliasi,
bipartite sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.
DAFTAR
PUSTAKA
________________________________________
- Wijayanti, Asri
Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi,
2009, Sinar Grafika Jakarta,
- Rusli Hardijan ,
Hukum Ketenagakerjaan 2003 Ghalia Indonesia, Jakarta
- UU No.2 Tahun
2004 tentang penyelesaian
perselisihan hubungan industrial
- Wijayanti, Asri
Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi,
2009, Sinar Grafika Jakarta.
- Imam soepomo,
1985 pengantar hukum perburuhan, djambatan jakarta
- Wijayanto
setiawan, pengadilan perburuhan di indonesia, ringkasan disertasi, program
pasca sarjana universitas airlangga surabaya, 2006.
- http://www.hukumtenagakerja.com/perundingan-bipartit-antara-pengusaha-dan-pekerja/#more-131
- KONSILIASI
SEBAGAI PARADIGMA BARU DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN
INDUSTRIALOleh : Andari Yurikosari
- http://goresanpenahukum.blogspot.co.id/2013/12/penyelesaian-perselisihan-hubungan.html