Hukum Adat Indonesia
OLEH:
LA ODE SUDARMIN
Puji syukur penulis
panjatkan ke hadirat Allah SWT. Atas berkat rahmat dan karunianyalah sehingga
penyusunan makalah ini dapat terselesaikan.
Dalam penyusunan tugas atau makalah ini banyak hambatan yang penulis hadapi. Namun karena semangat dan keinginan yang kuat untuk berusaha belajar dan belajar sehingga penyusunan tugas makalah ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurnah untuk itu penulis mengharapkan kesimpulan dan saran dari pembaca agar penyusunan makalah kedepan bisa lebih baik lagi.
Semoga materi ini dapat
bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan,
khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai, Amiin.
Penulis
DAFTAR ISI
Kata
pengantar ...............................................................................i
Daftar
isi..........................................................................................ii
Sistem
hukum adat indonesia......................................................1
Corak hukum
adat..........................................................................4
Sistem
hukum adat........................................................................9
Pembangunan
hukum pelanggaran adat....................................14
Pelanggaran
adat........................................................................ 15
Sistem
hukum adat delik.............................................................18
Hukum pelanggaran adat dan kitab undang-undang
hukum
adat
(KUHPid)...............................................................................22
Daftar
pustaka...............................................................................32
Sistem Hukum Adat di
Indonesia
Pendahuluan
Sistem hukum adat merupakan salah satu sistem hukum yang
ada di indonesia, tetapi sejauh ini belum nampak keberadaan sistem hukum adat
itu sendiri. Hal itu dikarenakan sistem yang dianut oleh bangsa kita sangat
beraneka ragam dan sistem hukum adat hanya terdapat pada masyarakat
tradisional, sehingga untuk lebih mendalaminya kita perlu terjun langsung
kemasyarakatnya. Walaupun begitu hampir semua warga indonesia menganut sistem
hukum adat, karena hampir semua warga indonesia hidup dalam sebuah adat ataupun
kebudayaan setempat. Artikel ini akan mengulas mengenai hukum adat tersebut,
mulai dari definisi, bentuk-bentuknya, sejak kapan hukum adat itu berlaku,
unsur-unsurnya, hingga corak yang ada didalamnya.
Definisi dari Hukum
Adat menurut Prof. H. Hilman Hadikusuma adalah aturan kebiasaan manusia dalam
hidup bermasyarakat. Kehidupan manusia berawal dari berkeluarga dan mereka
telah mengatur dirinya dan anggotanya menurut kebiasaan, dan kebiasaan itu akan
dibawa dalam bermasyarakat dan negara.
Kepribadian bangsa
kita dapat dilihat dari keanekaragaman suku bangsa di negara ini yang ada pada
Lambang negara kita Garuda Pancasila dengan slogannya “Bhineka Tunggal Ika”
(Berbeda – Beda tetapi tetap satu jua). Dengan mempelajari hukum adat di
Indonesia maka kita akan mendapatkan wawasan berbagai macam budaya hukum
Indonesia, dan sekaligus kita dapat ketahui hukum adat yang mana ternyata tidak
sesuai lagi dengan perkembangan zaman, dan hukum adat yang mana dapat di
konkordasikan dan diperlakukan sebagai hukum nasional.
Berkat hasil penelitian
Prof. Mr. C. Vollenhoven di Indonesia yang membuktikan bahwa bangsa Indonesia
mempunyai hukum pribadi asli, dan dengan demikian bangsa Indonesia semenjak
tanggal 17 Agustus 1945 melalui undang – undang dasarnya dapat mewujudkan tata
hukum Indonesia. Sifat dari hukum adat memiliki unsur elasitas, flesible, dan
Inovasi, ini dikarenakan hukum adat bukan merupakan tipe hukum yang
dikodifikasi (dibukukan). Istilah Hukum adat Indonesia pertama kali disebutkan
dalam buku Journal Of The Indian Archipelago karangan James Richardson Tahun
1850.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses
perkembangan hukum adat:
Untuk mempelajari
sistem hukum adat secara mendalam maka kita harus mempelajari corak hukum adat
itu sendiri. Menurut Hilman(1992) terdapat 8 corak dalam sistem hukum adat,
antara lain:
1.
Tradisional
Hukum adat indonesia
pada umumnya bercorak tradisional, artinyabersifat turun temurun, dari zaman
nenek moyang sampai ke anak cucu dan sekarang keadaanya masih tetap berlaku dan
dipertahankan oleh masyarakat bersangkutan.
Contoh:
a.
Masyarakat tapanuli dalam
sistem perkawinan dan kekeluargaan masih mempertahankan dalil na tolu tungku
tiga moyorat laki-laki
b.
Sistem mayorat laki-laki
(lampung)
c.
Minangkabau
2.
Keagamaan/Religio
Magis
Perilaku
hukum atau kaidah hukum yang ada berkaitan dengan kepercayaan terhadap hal-hal
ghaib / magis (animisme-dinamisme;kepercayaan terhadap roh-roh halus dan
roh-roh nenek moyang; kepercayaan terhadap Tuhan). Hal tersebut dapat dilihat
pada adanya upacara-upacara adat yanglazimnya diadakan sesajen-sesajen yang
ditujukan pada roh-roh leluhur yang ingindiminta restu / pertolongan.
Van vollenhoven
mengatakan jauh sebelum agama kristen, islam dan lain-lain masuk ke indonesia,
masyarakat adat / masyarakat indonesia sudah mempunyai agama yaitu agama
animisme atau yang disebut dengan “heidense god’sdient”
a.
Menghormati arwah nenek
moyang yang sudah meninggal dunia
b.
Percaya adanya demit di
duniadan di langit
c.
Percaya adanya pembalasan /
dendam dari demit dari langit
d.
Percaya adanya orang – orang
yang dapat menjadi penghubung / perantara antara demit di langit dan bumi dengan manusia
Pengaruh agama dapat
kita lihat pada pembukaan UUD 1945 alenia ke 3(tiga) yang menyatakan berkat
rahmat tuhan yang maha esa ....dst
Misalnya: di Banten
dan di Bali orang berpantang menjual padi yang masih hijau buahny; di berbagai
daerah berlaku jika kawin lebih dahulu dari kakak maka adik harus memberi
barang “pelangkah” kepada kakak yang dilangkahinya agar tidak
ketulahan.
3. Kebersamaan/Komunal
Masyarakat hukum adat
bersifat komunal, yaitu segala aspek kehidupan di kembalikan pada kepentingan
bersama.
Menurut M. Koesnoe : Dalam konsep pemikiran
hukum adat, individu dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
masyarakat, dan fungsi dari masing-masing individu adalah dipandang untuk
melangsungkan fungsi dan kelangsungan masyarakat.
Hal yang
disampaikan M. Koesnoe berarti bahwa setiap individu mempunyai rasa kebersamaan
yang tinggi dan rasa saling terikat satu sama lain. Dengan adanya rasa
tersebut setiap individu selalu
mengutamakan kepentingan bersama dan kepentingan mereka sendiri selalu dibangun
dari kepentingan masyarakatnya.
Corak
kebersamaan ini dapat dilihat pada acara:
v Acara “gugur
gunung” [Soerojo 1979]
v Semangat
kekeluargaan, gotong-royong, tolongmenolong
v Pasal 33 (1)
UUD 1945 : Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan
Penjelasan:
Dalam pasal 33 tercantum dasar
demokrasi ekonomi, ekonomi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan
atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang
diutamakan, bukan
kemakmuran orang-perorang. Sebab itu,
perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
4. Kongkrit dan Visual
Kongkrit bersifat
jelas, nyata, dan berwujud. Selain itu menurut Soerojo (1979) kongkrit
merupakan perkataan dan perbuatan, dimana perbuatan itu merupakan realisasi dari
sebuah perkataan.
Contoh:
yang dapat dilihat pada sistem jual beli,
dimana mereka saling bertemu secara langsung dan bertransaksi di tempat itu
secara terang-terangan, dimana terjadi sebuah kesepakatan (ijab), lalu terjadi
proses pembayaran/penerimaan (kabul), ada saksi di depan kepala adat. Persamaan
jual beli bersamaan waktunya (samenval van momentum) antara pembayaran dan
penyerahan (levering) seketika itu juga.
Visual berarti
dapat dilihat, tampak, terbuka, dan tidak tersembunyi. Soerojo (1979)
menyebutkan bahwa visual merupakan pemberian sebuah tanda yang kelihatan untuk
bukti penegasan atau peneguhan atas apa yang akan terjadi atau telah terjadi.
Contoh:
Dimana saat kita memberikan jaminanbaik dalam bentuk barang maupun uang
atas sesuatu yang telah kita beli, dimana kita tidak dapat memebelinya secara
tunai saat itu (panjer).
5. Terbuka dan Sederhana
Terbuka berarti Dapat menerima unsur
dari luar, asal tidak bertentangan dengan jiwa hukum adatitu sendiri. Artinya hukum adat selalu menerima
unsur-unsur dari luar baik berupa kebudayaan ataupun sebuah aturan itu sendiri,
tapi dengan catatan unsur itu sesuai dengan jiwa hukum mereka. Suatu unsur yang
berbeda-pun dapat diterima tetapi membutuhkan sebuah proses dan mungkin memakan
waktu yang cukup lama sehingga masyarakatnya benar-benar mampu menerimanya.
Contoh:
a.
Dalam pengaruh agama hindu
dikenal dengan kawin anggau dalam arti bahwa jika suami meninggal dunia, maka
janda dikawinkan pada kakak atau adiknya almarhum suami terdekat.
b.
Pengaruh agama islam pada
warisan masyarakat jawa dikenal dengan segendong sepikul, satu bagian wanita
(segendong) dan dua bagian laki-laki (sepikul)
Sederhana berarti
bersahaja, tidak rumit, tidak banyak administrasi, tidak tertulis, dan mudah
dimengerti. bahwa hukum adat tidak menyukai sesuatu yang rumit seperti
masyarakatnya sendiri, mereka cenderung menyukai sesuatu yang praktis dan
cenderung instan. Tentu hal ini menimbulakan dampak posotif maupun negatif,
tapi mereka melaksanakannya dengan rasa saling mempercayai satu sama lain,
sehingga dapat meminimalisir rasa curiga diantara mereka yang dapat menimbulkan
sesuatu yang tidak baik.
Contoh:
a.
Perjanjian bagi hasil: makro, mertelu,
dilaksanakan lisan tanpa surat menyurat.
6.
Dapat Berubah
Sesuai Keadaan
Hukum adat dapat
berubah menurut keadaan waktu dan tempat (Hilman Hadikusuma 1992, 37) dan Hukum
adat terus-menerus dalam keadaan tumbuh berkembang seperti hidup itu sendiri
(Soepomo 1996). Artinya hukum adat merupakan hukum yang dinamis dan tidak
statis. Hukum adat akan terus ada dan berkembang selama masyarakatnya masih
hidup. Masyarakat tersebut akan terus menyesuaikan hukum adat mereka sesuai
dengan keadaan yang ada.
Contoh:
a.
minang kabau, pepatah adat
“sekali ai gadang, sekalian tapian beranjak” artinya “sekali pemerintah
berganti, sekalian pula peraturan berubah”
b.
sistem kekeluargaan
Matrilineal:
·
harta pusaka berubah ke arah
sistem parental dikenal adanya harta suaran (seorang)
·
sebagai kekuasaan mamak
beralih kekuasaan orang tua, tidak lagi berajo ke mamak, berajo ke bapak
7.
Tidak
Dikodifikasi
Artinya
hukum adat kebanyakan tidak
tertulis tidak statis, tetapi bersifat
dinamis. Walaupun ada yang ditulis/dicatat di aksara raja, tetapi tidak
sistematis dan hanya dipakai sebagai pedoman saja dan tidak mutlak
dilaksanakan. Oleh karena itu hukum adat mudah berubah dan menyesuaikan diri
dengan perkembangan jaman.
8.
Musyawarah
Mufakat
Biasanya masyarakat selalu
melakukannya disaat akan memulai sebuah pekerjaan maupun sudah selesai
mengerjakannya. Hal tersebut dilakukan untuk mempererat hubungan diantara
mereka. Musyawarah biasanya juga dilakukan apabila ada sebuah perselisihan
ataupun sengketa, dimana musyawarah merupakan media yang digunakan untuk
menyelesaikan masalah yang sedang terjadi dengan asas kerukunan dan tentunya
dengan saling memaafkan (M.Koesnoe).
Contoh:
a.
Dalam kerabat:
Diutamakan
musyawarah mufakat dalam memulai dan mengakhiri pekerjaan
b.
Dalam hal peradilan:
Penyelesaian
secara rukun dan damai dan saling memaafkan dalam musyawarah mufakat seperti
pepatah adat lampung “mak patoh lamen lemoh, mak pegat lamen kendor” takan
patah karena lemah, takan mati karena kendur”
A.
Sitem hukum
adat
Sistem hukum adat adalah keseluruhan
suatu objek yang terangkai menjadi suatu kegiatan yang teratur.
Suatu sistem adalah susunan yang
berfungsi dan bergerak (Fuad Hasan / Koencoro Diningrat 1977, 14)
Perbedaan sistem hukum adat dengan
sistem hukum barat
a)
Hukum barat mengenai perbedaan:
Ø Hukum
kebendaan
Ø Hukum
perseorangan
Ø Hukum publik
Ø Hukum perdata
b)
Hukum adat :
Ø Tidak
mengenal perbedaan dalam memutuskan perkara, hakim memutuskan perkara
tergantung dengan kepentingan siapa yang dilindungi
Ø Tidak jelas
antara hukum publik dan hukum perdata
Ø Semua masalah
diselesaikan oleh kepala adat
Ciri
hukum adat menurut soejono soekanto:
1)
Dipengaruhi oleh sistem kemasyarakatan, bahwa
sistem hukum selalu dikembalikan pada faktor geneologis teritorial
2)
Fungsi adat menyelaraskan antara hak dan
kewajiban, antara individu dan masyarakat
3)
Sistem hukum adat merupakan refleksi konkrit
dari harapan masyarakat
4)
Terbentuknya dengan cara tidak tertulis
kemudian ada yang tertulis
5)
Ada harmoni antara internal dan eksternal
Contoh:
Sanksi dikeluarkan dari clan tujuan
untuk keseimbangan clan
Ciri-ciri
hukum adat:
1)
Tidak tertulis : pada umumnya tidak tertulis
2)
Tertulis : karena sebagian hukum adat itu
tertulis
3)
Dinamis / tidak statis
v Prof. Dr. Soepomo
Hukum
adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu
sendiri.
v Van
Vollenhoven
Hukum
adat berkembang dan maju terus, keputusan-keputusan adat menimbulkan hukum adat
Sumber-sumber
hukum adat:
1)
Kebiasaan dan adat istiadat yang berhubungan
dengan tradisi rakyat (Van Vollenhoven)
2)
Kebudayaan tradisi rakyat (Ter Haar)
3)
Ugeran-ugeran yang timbul langsung sebagai
kebudayaan asli (djojodiguno)
4)
Perasaan keadaan dalam hati nurani rakyat
(soepomo)
5)
Pepatah adat
6)
Yurisprudensi
Bahasa
hukum adat adalah bahasa hukum rakyat yang diciptakan melalui proses yang
panjang. Bahasa hukum adat belum dapat dirumuskan secara tajam dan pasti
(seperti hukum barat).
Bahasa
hukum adat bukan sesuastu yang dapat diciptakan dalam waktu yang singkat,
tetapi melalui proses yang panjang. Bahasa hukum rakyat merupakan bahasa yang
sanggup melukiskan perasaan rakyat dimaksud secara tepat. Oleh karena itu
banyak istilah-istilah hukum barat yang dimasukan dalam bahasa hukum adat yang
kadang-kadang isinya sama tetapi pengertian sangat berbeda.
Contoh:
jual-beli (hukum adat) dan verkepen (belanda)
Istilah
jual-beli (hukum adat) mengandung arti:
1)
Jual lepas à apabila pengoperan itu untuk selanjutnya
2)
Jual tahunan à pengoperan itu untuk waktu tertentu
3)
Jual gadai (scude) Ã pengoperan ini bersifat dapat kembali apabila uang
pembayaran yang dahulu diterima kembali
Istilah jual lepas dibandingkan dengan
“verkepen” istilah jual lepas adalah penjualan lepas namun selama-lamanya
dengan pembayaran kontan, sedangkan
“verkepen” adalah suatu perbuatan yang bersifat obligator artinya penjual
berjanji dan wajib mengoperkan barang yang di verkorp (dijual) kepada pembeli
dengan tidak dipersoalkan apakah barang dibayar kontan atau tidak.
Didalam hukum adat segala perbuatan
dan keadaan yang bersifat sama disebut dengan istilah sama pula.
Contoh:
1)
Kawin gantung à kedua mempelai belum boleh hidup bersama
2)
Warisan digantung à warisan belum dapat dibagikan pada ahli waris
3)
Panjer = tanda pangkat
·
Persetujuan lisan baru mengikat bila sudah
ada panjer (tunai dan kontan sifat hukum adat)
·
Pertunangan mengikat bila sudah ada “panjer”
Bahasa hukum adat lahir setapak, terus
menerus dipakai dengan konsekuen untuk mengikat suatu perasaan dan keadaan
sehingga lambat laun menjadi istilah yang memiliki makna tertentu
Istilah-istilah adat di berbagai
lingkungan hukum adat terdapat pula pepatah adat, kato adat,patitik, umpama,
dan pilar, sangat berguna bagi petunjuk tentang adanya peredaran adat.
Contoh :
1)
Di Tapanuli à pepatah adat “togu
torat ni bolu toguan urat nu padang, togu pen a nidok ni uhun, toguan na nidok
ni padan” artinya “akar bamboo kuat tetapi akar rumput lebih
kuat” mengandung arti “bahwa
peraturan-peraturan hukum positif adalah kuat, akan tetapi suatu persetujuan
lebih kuat daripada peraturan hukum”
2)
Di Minang kabau à pepatah adat“sekali
ae gadang, sekali tapian beranjak, sekali raja ba(r)ganti, sekali adat berubah.Maksudnya
“bahwa adat itu tidak statis melainkan
berubah menurut perubahan yang berlaku dengan penggantian kepala adat”. Artinya“apabila air meluap, tempat pemandian
bergeser = apabila raja berganti maka adat berganti pula.
Ter
Haar mengatakan bahwa pepatah adat bukan sumber hukum tetapi mencerminkan dasar
hukum yang tidak tegas.
·
Penyidikan Hukum Adat
Berlakunya
suatu peraturan hukum adat adalah tampak dalam penetapan (petugas hukum) misalnya : putusan kepala adat, putusan
hukum, putusan pengawas, dll.
Dapat
diartikan bahwa: perbuatan atau penyelidikan oleh pihak pelanggar hukum dengan
tujuan untuk memelihara atau untuk menegakan hukum
Dalam
mengadakan penyelidikan dalam hukum adat, bahan-bahan yang berharga harus
dilaksanakan dengan cara :
a.
Research tentang putusan hukum di wilayah
yang bersangkutan
b.
Sikap penolakan dalam kehidupan dan hal-hal terhadap yang
sedang diselidiki dengan melakukan “field
research” (penelitian lapangan)
Misalnya : bagaimana kenyataan
sosial yang bersangkutan (“social reality”)
melalui pejabat-pejabat desa, orang tua, cerdik pandai, orang terkemuka (field research)
Hukum
adat senantiasa tumbuh dari suatu kebutuhan budaya yang nyata, cara hidup dan
pandangan hidup yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat karena :
-
Tidak mungkin suatu hukum yang asing bagi
masyarakat dipaksakan dibuat
-
Tidak mungkin kecuali dibuat/diciptakan bila
bertentangan dengan kebudayaan rakyat.
Dalam arti bahwa Tidak mungkin suatu
hukum yang asing bagi masyarakat itu akan dipaksakan untuk dibuat apabila hukum
asing itu bertentangan dengan kebudayaan rakyat yang bersangkutan
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang
kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat
seseorang sebagai anggota masyarakat
Menurut
VerSavegny, hukum mengikuti
“vaelglist” (jiwa/semangat rakyat) dan masyarakat tempat hukum itu berlaku
“Untuk
mengerti bahwa hukum adat adalah itu sebagai segi kebudayaan indonesia”
Bagaimana
sruktur berpikir, corak dan sifat masyarakat indonesia khusus berhubungan
dengan hukum ?
Jawab
:
Masyarakat
indonesia mengalami peralihan dan bergerak terus menerus tetapi tidak semua
perubahan dalam jiwa dan struktur masyarakat merupakan perubahan fundamental
yang langsung melahirkan jiwa dan struktur yang baru sebab masyarakat adalah
sesuatu yang kontinen (berjalan terus) masyarakat berubah tetapi tidak
sekaligus meninggalkan yang lama. Jadi dalam masyarakat yang baru terdapat
reaktifitas bahwa sesuatu proses perkembangan mengatur kembali yang lama serta
menghasilkan sistem dari yang lama dan
yang baru, sesuai dengan kehendak, kebutuhan, cara hidup, cara pandang hidup
sesuatu rakyat (Sinarta Soedrajat, SH) dalam bukunya Asas-asas Hukum Adat,
27-28)
Jadi Hukum Adat Sebagai Aspek Kebudayaan adalah bahwa Hukum Adat itu tumbuh
dari suatu kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup dan pandangan hidup yang
keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat Hukum Adat itu berlaku.
Manusia mempunyai
hasrat yang kuat dan bertahan hidup secara teratur. Ia pun mempunyai pendirian
dan penafsiran sendiri mengenai apa yang dimaksud teratur sehingga perlu suatu
pedoman. salah satu mekanisme itu adalah apa yang dinamakan pengendalian
sosial.
Pengendalian sosial
di dalam suatu masyarakat dapat
dilakukan dengan berbagai cara,
misalnya:
1.
Mempertebal keyakinan warga
masyarakat akan fungsi kaidah-kaidah sosial tertentu dalam kehidupan sosial
masyarakat.
2.
Memberi penghargaan kepada
warga masyarakat yang menaati kaidah-kaidah sosial tertentu berupa pemberian
sanksi yang bersifat positif.
3.
Mengenmangakan rasa malu
dalam diri warga masyarakat apabila mereka menyimpang atau menyeleweng dari
kaidah-kaidah atau nilai-nilai sosial yang telah disepakati bersama.
4.
Menimbulkan rasa takut
melalui pencantuman sanksi dalam kaidah sosial yang sudah disepakati.
5.
Menyusun perangkat dan
aturan-aturan hukum.
Istilah hukum pelangaran
adat adalah terjemahan dari istilah belanda adat
delicten recht atau ”hukum pelanggaran adat” istilah ini hampir tidak
dikenal dalam berbagai masyarakat adat. Masyaratakat adat dibeberapa wilayah
indonesia misalnya mengenal “salah” di
lampung dan “sumbang” di sumatera selatan. Hukum adat delik (adatdelicten
recht) dan dapat juga disebut “Hukum Pidana Adat”, atau “Hukum Pelanggaran
Adat” ialah aturan-aturan hukum adat
yang mengatur peristiwa atau perbuatan kesalahan yang berakibat terganggunya
keseimbangan masyarakat, sehingga perlu diselesaikan (dihukum) agar
keseimbangan masyarakat tidak tergangu. Dengan demikian yang diuraikan dalam
hukum adat delik adalah tentang peristiwa dan perbuatan yang bagaimana
merupakan “delik adat” dan bagaimana cara menyelesaikannya sehingga
keseimbangan masyarakat tidak lagi merasa terganggu.
Menurut
van Vollenhoven : Dalam
bukunya Een adatrechboekje voor het indie
yang dimaksud dengan “delik adat”adalah
“perbuatan yang tidak boleh dilakukan
walaupun pada kenyataanya peristiwa atau perbuatan itu hanya sumbang
(kesalahan) kecil saja”.(Hilman hadikusuma, 1979: 19).
Menurut Ter
Haar : “Delik” (pelanggaran) ialah “setiap
gangguan dari suatu pihak terhadap keseimbanagn, dimana setiap pelanggaran itu
suatu pihak atau dari sekelompok orang berwujud atau tidak berwujud, berikibat
menimbulakn reaksi (yang besar kecilnya menurut ketentuan adat ), suatu reaksi
adat; dan disebabkan adanya reaksi itu, maka keseimbanaga harus dapat
dipulihkan kembali (dengan pembayaran uang atau barang)” (Ter Haar 1950:218).
Menurut
soepomo (1977) :“segala perbuatan atau kejadian yang mengganggu kekuatan
batin masyarakat, segala perbuatan atau kejadian yang mencemarkan suasana
batin, yang menentang kesucian masyarakat, merupakan delik terhadap masyarakat
seluruhnya.
Delik yang paling berata ialah segala
pelangaran yang memperkosa perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib, serta
pelanggaran yang memperkosa dasar susunan, masyarakat”.
Jadi yang dimaksud dengan
delik adat adalah peristiwa atau perbuatan yang menggangu keseimbangan
masyarakat,yang bertentangan dengan kepatutan, ketertiban, keamanan, rasa
keadilan, dan kesadaran hukum masyarakat bersangkutan, baik hal itu akibat
perbuatan seseorang maupun perbuatan penguasa adat sendiri dan karena adanya
reaksi dari masyarakat maka keseimbangan itu harus dipulihkan kembali dengan
hukuman denda atau dengan upacara adat.
Pelangaran adat
adalah:
a.
Suatu peristiwa aksi dari
para pihak dalam masyarakat.
b.
Aksi itu menimbulkan adanya
gangguan keseimbangan.
c.
Gangguan keseimbanag itu
menimbulkan reaksi.
d.
Reaksi yang timbul
menjadikan terpeliharanaya kembali atas gangguan keseimbangan kepada keadaan
semula.
Beberapa macam delik adat :
1.
Kesalahan mengganggu
keamanan
2.
Kesalahan menganggu
ketertiban
3.
Kesalahan kesopanan dan
kesusilaan
4.
Kesalahan dalam perjanjian
5.
Kesalahan menyangkut tanah,
tanam tumbuhan dan hasil hutan
6.
Kesalahan menyangkut hewan
ternak dan perikanan
Cara
penyelesaiaan delik adat
Penyelesaian delik adat yang
berakibat terganggunya keseimbangan keluarga atau masyarakat, walaupun
adakalanya perkaranya sampai ditangani oleh alat negara, dapat ditempuh dengan
cara melalui pribadi dan atau keluarga yang bersangkutan, atau ditangani kepala
kerabat, kepala adat kepala desa, ketua perkumpulan organisasi (instansi) dan
alat negara.
Tugas penegakan hukum
terhadap hukum dan pelanggarannya ada pada kepala persekutuan hukum berupa
serangkaian ketentuan-ketentuan, antara lain:
a.
Merumuskan pedoman
bagaimanakah warga masyarakat seharusnya berperilaku, sehingga terjadi
integrasi dalam masyarakat.
b.
Menetralisasikan
kekuatan-kekuatan dalam masyarakat sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengadakan
ketertiban.
c.
Mengatasi persengketaan agar
semula pulih kembali.
d.
Merumuskan kembali pedoman
yang mengatur hubungan antara waga-warga masyarakat dan kelompok-kelompok
apabila terjadi perubahan-perubahan.
Bassiuni (Barda
Nawawi Arief; 1986). Ia mengaitkan sistem nilai
yang ingin dicapai bersama dan akan dilindungi dengan pidana. Untuk menciptakan
tertib sosial, tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pidana pada umumnya
terwujud dalam kepentingan-kepentingan sosial, yaitu :
a. Pemeliharaan
tertib masyarakat.
b. Perlindungan
warga masyarakat dari kejahatan, kerugian, atau bahaya-bahaya yang tidak dapat
dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain.
c. Memasyarakatkan
kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum.
d. Memelihara
atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai
keadilan sosial, martabat kemanusiaan, dan keadilan sosial.
Terhadap perilaku yang tidak
sesuai pasti akan memperoleh reaksi tertentu pula. Apabila reaksi itu bersifat
negative, masyarakat menghendaki adanya suatu pemulihan keadaan yang dianggap
telah rusak oleh sebab perilaku-perilaku tertentu (dan dianggap sebagai
penyelewengan). Sebaiknya, apabila ia mempunyai akibat positif, perlu juga
diberikan suatu sanksi, yaitu “ hadiah” dan “pengukuhan”.
Aturan-aturan hukum
pelanggaran adat pada umumnya bersifat tradisional magis religieus, menyeluruh
dan menyatukan, tidak prae-existente,
tidak menyamaratakan, terbuka dan lentur, terjadinya delik adat, delik aduan
reaksi dan koreksi, pertanggungjawaban kesalahan, tempat berlakunya.
a. Tardisional magis religieus.
Tardisional
dan magis religieus Artinya perbuatan yang tidak boleh dilakukan dan perbuatan
mana menggangu keseimbangan masyarakat itu bersifat turun temurun dan dikaitkan
dengan keagamaan.
Misalnya:
Anak
tidak boleh murka kepada orang tua,adik tidak boleh melangkahi kakak, pria dan
wanita tidak boleh berzina, dan sebagainya.
b. Menyeluruh dan menyatukan
Menyeluruh
dan menyatukan artinya tidak memisah-misah antara delik yang bersifat pidana
atau bersifat perdata, begitu pula tidak dibedakan kejahatan sebagai delik
hukum dan pelanggaran sebagai delik undang-undang. Begitu juga tidak dibedakan
apakah delik itu merupakan perbuatan yang disengaja
(opzet) atau karena kelalaian
(culpa). Sehingga tidak juga dibedakan antara pelaku (dader) dengan yang turut melakukan (medeplichtiger) atau
yang menghasut (uitlokker).
c. Tidak prae-Existente
Tidak
prae-Existente regels (soepomo, 1967: 102) artinya tidak seperti hukum pidana
barat sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 1 KUHPidana (WvS) yang menganut
adagium Montesquieu yang berbunyi “nullum
delictim, nulla poena sine praevia lege poenali”(tiada suatu delik,
melainkan atas kekuatan aturan pidana di dalam undang-undang yang telah ada
lebih dahulu dari perbuatan itu). Menurut hukum adat baik peraturan telah
ditetapkan maupun belum ditetapkan terlebih dulu, apabila perbuatan itu menggangu
keseimbangan masyarakat maka peristiwa atau perbuatan itu dapat dihukum.
d. Tidak menyama-ratakan
Tidak
menyama-ratakan artinya apabila terjadi delik adat, maka yang terutama
diperhatikan ialah timbulnya reaksi atau koreksi dan terganggunya keseimbangan
masyarakat, serta siapa pelaku perbuatan dilik itu dan apa latar belakangnya
(Hilman Hadikusuma 1984: 23). Terhadap pelaku delik hukum adat tidak
menyamaratakan , begitu pula peristiwa dan perbuatanya.
Misalnya:
jika delik adat dilakukan oleh golongan bangsawan atau raja-raja adat, orang
yang bermartabat, orang pintar maka hukumanya lebih berat dari pelaku orang
biasa, orang rendah atau orang miskin.
e. Terbuka dan lentur
Aturan
hukum adat terbuka dan lentur (flexible) terhadap unsur-unsur yang baru, yang
berubah baik yang datang dari luar ataupun karena perubahan perkembangan
masyarakat lingkungannya.
Misalnya: pakaian adat yang dulunya hanya dapat dipakai
oleh para kepala adat dimasa sekarang walaupun orang biasa ataupun orang luar
dapat memakainya dan tidak dipermasalahkan.
f. Terjadinya delik adat
Terjadinya
delik adat apabila tata-tertib adat setempat dilanggar., dikarenakan adanya
suatu pihak merasa dirugikan, sehingga timbul reaksi dan koreksi dan
keseimbangan masyarakat menjadi terganggu.
Misalnya:
perbuatan mencuri buah-buahan di Aceh jika jika pelakunya memetik buah-buahan
dari pohon yang tidak dipelihara maka si
pencuri dihukum membayar harganya.
g. Delik aduan
Apabila
terjadi delik adat yang akibatnya menggangu keseimbangan keluarga, maka untuk
menyelesaikan tuntutan atau gugatan dari pihak yang dirugikan harus ada
pengaduan atau pemberitahuan dan permintaan untuk diselesaikan kepada kepala
adat.
Misalnya:
di dalam Simbur Tjahaja (ST) yang berlaku
di daerah sumatera selatan dahulu pasal 20 menyatakan:
“jika
seorang laki-laki memegang lengan gadis atau janda di atas sikunya, meragang
gewe namanya, ia dikenakan denda 6 ringgit. Jika perempuan itu mengadu kepada
rapat. Denda itu 3 ringgit diserahkan kepada wanita itu sebagai “tekap malu”
dan 3 ringgit diserahkan kepada rapat (sebagai uang sidang).
h. Reaksi dan koreksi
Tujuan
adanya tindakan reaksi dan koreksi terhadap peristiwa atau perbuatan delik adalah untuk dapat memulihkan kembali
keseimbangan masyarakat yang terganggu. sebagaimana disebut dalam bagian X dari “Pandecten van het adtrecht (Bab X
1936:695-720, dan juga Soepomo, 1967: 94-95)” dikatakan bahwa tindakan reaksi
atau koreksi dapat berupa :
1. Penggantian
kerugian Immaterieel dalam berbagai
rupa seperti paksaan menikahi gadis yang telah dicemarkan.
2. Pembayaran
“uang adat” kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti sebagai
pengganti kerugian rohani.
3. Selamatan
(korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib.
4. Penutup
malu, permintaan maaf.
5. Bebagai
rupa hukuman badan, hingga hukuman mati.
6. Pengasingan
dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata hukum.
.
Misalnya di daerah lampung
adakalanya tindakan reaksi dan koreksi itu berkelanjuan dengan mengikat tali
persaudaraan (mewari) dalam hal
hilang nyawa diganti dengan nyawa, dalam arti pihak yang berbuat delik
menyerahkan anggota keluarganya sebagai ganti dari korban yang telah mati
kepada pihak yang dirugikan, untuk diangkat sebagai anggota keluarganya
i. Pertanggungjawaban kesalahan
Apabila
terjadi peristiwa atau perbuatan delik menurut hukum pidana barat yang
diremasalahkan apakah perbuatan itu terbukti kesalahannya dan dapat dihukum
(strafbaarfeit) dan apakah pelakunya (dader) dapat dipertanggungjawabkan.
menurut hukum pidana adat yang dipermasalahkan bagaimana akibat dari perbuatan
itu dan siapa yang harus diminta pertanggungjawabanya.
Misalnya:
dalam hukum barat jika yang melakukan adalah orang gila, ia mengamuk sehingga
berakibat rumah seseorang menjadi rusak berat maka pelakunya orang gila tidak
dapat dihukum atau diminta pertanggungjawaban. Lainhalnya dengan hukum adat
bukan saja pribadi pelakunya dapat dimintakan pertanggungjawaban tetapi juga
keluaraga atau kerabat dan atau kepala adatnya.
j. Tempat berlakunya
Tempat
berlakunya hukum delik adat tidak bersifat nasional tetapi terbatas pada
lingkungan masyarakat adat tertentu atau di pedesaan.
Antara ketentuan hukum
pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) dan hukum pelanggaran
adat terdapat perbedaan sebagai berikut :
a.
Sistem Pemidanaan
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menganut sistem tertutup. Dalam Pasal 1 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dinyatakan bahwa :
“tidak
ada satu perbuatan yang dapat dihukum, melainkan atas kekuatan aturan pidana di
dalam undang-undang yang terdahulu dari perbuatan itu”.
Kalimat tersebut berasal dari ajaran
Montesqueu dalam L’esprit des Lois
tahun 1748 yang mengemukakan ajaran Trias
Politica sebagaimana dikatakannya Nullum
Delictum, nulla poena sine praevia lege poenala.
b.
Makna Perbuatan Salah
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan bahwa perbuatan salah yang
berakibat dapat dijatuhi hukumanan ditujukan kepada orang yang berbuat atau
melakukan kesalahan, dan kesalahan itu dilihat dari perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja (opzet) atau karena lalai (culpa). hukum adat tidak melihat pada
perbuatan yang dilakukan, tatapi lebih luasa lagi, yaitu melihat pada hasil atau
akibat dari perbuatan yang dilakukan. penyebab perbuatan secara sengaja
atau akrena lalai tidak dibedakan.
c.
Pertanggungjawaban Kesalahan
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mendasarkan pertanggungjawaban pada kondisi
fiksiksi pelaku. Hanya seseorang yang waras secara jasmani dan rohani yang
dapat dijatuhi pidana.
Di
dalam pelanggaran adat kesalahan dapat dijatuhkan kepada bukan pelakunya bahkan
dapat dibebankan pertanggungjawabannya kepada keluarga pelaku yang lain, orang
tua, sanak saudara, atau masyarakat hukum adatnya.
Hukum
adat membedakan perlakuan pidana justru atas dasar kedudukan si pelaku,apakah
ia bermartabat, sehingga hukumnya harus diperberat dibandingkan rakyat biasa.
d.
Ketentuan Menghakimi Sendiri
Menurut
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada hak untuk menghakimi sendiri
seorang pelaku pidana. Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam masyarakat adat.
Keluarga yang merasa dirugikan akibat suatu perbuatan dapat menuntut sendiri
ganti rugi yang harus dibayarkan untuk mengembalikan harkat dan martabatnya
dalam masyarakat.
Contoh
:
Ø Di
Batak misalnya diberlakukan “mabeangkon”, yaitu menahan si pelaku dan
mengikatnya dengan kayu sampai kerabatnya membayar denda adat bagi seseorang
yang melakukan suatu kesalahan.
Ø Di
Minangkabau diberlakukan “adat tarik”, yaitu pihak penderita berhak
menahan/mengambil barang si pelaku atau keluarganya sebagai jaminan agar pihak
pelaku membayar ganti kerugian atau denda adat.
e.
Kriteria Pelaku
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenal pelaku (dader), pembantu melakukan
(made-plichtigheid), ikut berbuat (madedaderderschap), membujuk berbuat
(uitlokking), dan usaha percobaan (strafbare
paging) dalam suatu perbuatan pidana.
Dalam
hukum adat perbuatan itu dipandang sebagai satu kesatuan. Percobaan atas
pelanggaran atau perbuatan pelanggaran diperlakukan sama, yaitu dijatuhi hukuman
sejauh menimbulkan ganguan keseimbangan dalam masyarakat.
f.
Kesalahan Berulang/residive
Menurut
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), seseorang yang melakukan kesalahan
beberapa kali hanya dapat dilakukan penghukuman atas perbuatannya yang terakhir
dan atau terberat ancaman hukumannya.
Hukum
pelanggaran adat memperhitungkan keseluruhan perbuatan yang dilakukan. Misalnya
seseorang dapat diusir selam-lamanya dari lingkungan masyarakat hukum adatnya
seperti Di Minangkabau, berupa hukuman “buang tingkarang” diusir dan disita
seluruh harta kekayaannya dan tidak diizinkan kembali ke daerah asalnya.
g.
Berat Ringan Hukuman
Penghilangan
hukuman, pengurangan, dan penambahan hukuman pidana dalam hukum pidana menurut
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ditentukan atas dasar pasal 44 – Pasal
52 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pelaksanaan
hukuman atas pelanggaran, dalam hukum adat justru mempertimbangan permintaan
maaf dan pengakuan atas kesalahan adat yang dilakukan si pelaku. Hal ini
didasarkan atas asas kekeluargaan, kedamaian, kerukunan, dan rasa keadilan dari
masyarakat.
h.
Hak Mendapat Perlindungan
Pada
masyarakat hukum adat terdapat ketentuan bahwa seseorang yang bersalah dapat
dilindungi dari ancaman hukuman pihak lain bila ia berlindung kepada kepala
adat, penghulu agama, atau raja. Di Sumatera Selatan, Sumba, dan Bali disebut
“hak asjil”. Zaman Majapahit dahulu seorang terpidana kalau sudah memasuki
tanah “perdikan”, tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang sampai proses
peradilan dilaknakan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Dalam
bidang hukum harta kekayaan khususnya hukum benda, yakni perihal jual beli
tanah, hukum adat mengenal perlindungan terhadap pihak yang membeli dengan
itikad baik. Suatu tinjauan dari segi hukum adat akan dapat diperoleh melalui
analisis Ter Haar dalam terjemahan bebas (Soleman B. Taneko; 1981) :
“di dalam praktek acapkali terdapat
bahwa seorang “tidak berhak” (misalnya seorang wakil atau salah seorang dari
sesame pemilik) menjual sebidang tanah pertanian atau pekarangan dengan bantuan
penmghulu rakyat (yang mungkin ia sendiri mengira berhadapan dengan orang yang
benar-benar berhak). Bilamana si pembeli (penerima) di waktu membeli tanah itu
bertindak dengan hati jujur”, maka ia terhadap pemilik sejati yang dirugikan
diperlindungi sebagai seorang yang berhak atas tanah. Si pemilik tanah lantas
dapat memilih antara menembus kembali dan melepaskan tanah itu buat
selama-lamanya dan ia sendiri dapat mencoba untuk memperoleh kembalinya uang
pembelian dari penjual yang curang itu”.
i.
Kategori Kesalahan dan
Kejahatan
Hukum
pelanggaran adat tidak diperbedakan antara kejahatan dan pelanggaran
sebagaimana hukum pidana Barat. Terjadinya suatu kesalahan yang menyebabkan
kerugian atau menjatuhi pidana, melainkan yang lebih penting adalah sejauh mana
kesalahan itu terjadi dan mengganggu keseimbangan masyarakat.
1.
Timbulnya Pelanggaran Adat
Kapan suatu perbuatan
dapat dinyatakan sebuah pelanggaran, dapat dijelaskan dalam beberapa keadaan di
bawah ini :
a. Tata
tertib adat dilanggar
Dalam struktur masyarakat adat tata
tertib meliputi hampir semua bidang kehidupan, seperti kekerabatan, perkawinan,
perkebunan, kewarisan, dan sebagainya. Pelanggaran atas tata tertib kehidupan
masyarakat dan menimbulkan reaksi, maka seketika itu dapat dikatakan telah terjadi
pelanggaran adat.
b. Keseimbangan
Masyarakat tergangu
Keseimbangan masyarakat ini dapat
dibedakan atas keseimbangan umum, keseimbangan kelompok masyarakat, kerabat,
atau bahkan keluarga. Dengan demikian,
dapat dinyatakan bahwa terjadinya delik adat ada yang sifatnya
bertentangan dengan rasa keadilan umum, dan ada yang hanya bertentangan dengan
hak-hak kerukunan kekerabatan, kekeluargaan, atau perorangan.
Berkaitan dengan
keberadaan hukum pelanggaran adat, Soepomo (2001) memberikan komentar :
“suatu
peraturan mengenai tingkah laku manusia (rule of behavior) pada suatu waktu
mendapat sifat hukum, pada saat petugas
hukum yang bersangkutan mempertahankannya tehadap orang yang melanggar
peraturan itu, atau pada saat petugas
hukum bertindak untuk mencegah pelanggaran peraturan itu”.
Dengan demikian,
adanya penyelewengan menurut hukum adat adalah ketika tingkah laku itu mendapat
sifat hukum, yaitu pada saat petugas hukum mempertahankan aturan itu atau pada
saat petugas hukum bertindak untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum.
v Kebijakan Hukum Pidana
Barda
Nawawi Arief mengenai langkah kebijakan hukum pidana (penai policy, criminal
law policy, strafrechtpolitiek). Mengutip pemikiran Marc Ancel, Barda Nawawi
Arief (1996) menyatakan kebijakan criminal itu adalah suatu ilmu sekaligus seni
yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum
positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberikan pedoman tidak hanya
kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan dan
juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.
Kebijakan
kriminal dalam arti yang lebih sempit lagi, yaitu mencakup :
a. Seberapa
jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui;
b. Apa
yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; dan
c. Bagaimanakah
cara penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana harus
dilaksanakan.
v Penanggulangan Kejahatan dan
pencapaian tujuan masyarakat
Berkaitan dengan
usaha pembentukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional, pada masa
yang akan datang hukum pelanggaran adat ini masih relevan untuk dikaji. Peluang
ini diberikan oleh undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, yang menyatakan
bahwa di bekas wilayah Pengadilan adat di Indonesia hukum pelanggaran adat
masih tetap diakui berlaku di daerah tersebut dengan catatan bahwa asas-asas
hukum pelanggaran adat dan sanksi-sanksinya tidak boleh ditetapkan lagi.
Rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yang hingga kini masih dirancang
(rancangannya sendiri telah melewati 30 (tiga puluh) tahun lamanya)
mencantumkan beberapa pasal yang memberikan peluang pemberlakuan hukum
palamnggaran adat seperti :
a. Pasal
1 ayat (3) :
Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang
hidup atau hukum adat yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang
patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Dalam penjelasan
pasal ini dinyatakan :
Adalah suatu kenyataan bahwa dalam
beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum yang tidak
tertulis yang hidup dan berlaku sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang
demikian terdapat juga dalam lapangan hukum pidana yang biasanya disebut dengan
tindak pelanggaran adat.
b. Pasal
59 ayat (1) :
Dalam putusan dapat ditetapkan kewajiban adat setempat
yang harus dilakukan oleh terpidana
Dalam penjelasan pasal ini dinyatakan :
Pidana tambahan berupa pemenuhan
kewajiban adat, hanya dapat dijatuhkan apabila secara nyata adat setempat
menghendaki hal itu, yang tidak dilaksanakan akan menimbulkan keguncangan
serius dlam masyarakat setempat, serta tidak melanggar asas kepatutan dan
kesusilaan.
c. Pasal
93 ayat (2)
Pemenuhan
kewjiban adat sebagaimana dimaksud dalamayat (1) merupakanpidana pokok atau
yang diutamakan jika tindak pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3).
d. Pasal
93 ayat (3)
Kewajiban adat sebagaimana yang dimaksud
dalam ayat (1) dianggap sebanding dengan pidana denda Kategori I dan dapat
dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda
jika kewajiban adat itu tidak dipenuhi atau tidak dijalani oleh
terpidana.
e. Penjelasan
Umum Buku 1 huruf 1 :
“.......Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
ini diakui pula adanya pelanggaran adat untuk
lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Adalah suatu
kenyataan bahwa dibeberapa derah di tanah air, maish terdapat
ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis, yang hidup dan diakui sebagai
hukum didaerah yang bersangkutan, yang menentukan bahwa pelanggaran atas hukum
itu patut di pidana. Dalam hal ini hakim dapat menetapkan sanksi berupa
kewajiban adat yang harus dipenuhi oleh pelaku tindak pidana. Ini memberi arti,
bahwa nilai dan norma yang hidup dalam
masyarakat setempat masih tetap dilindungi..........”
Dalam wacana lebih
luas di mana kepentingan masyarakat harus didahulukan, tujuan pemidanaan
ditetapkan dalam rancangan Pasal 51 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Baru, yaitu :
1. Pemidanaan bertujuan untuk :
(a) Mencegah dilakukannya tindak
pidana dengan menegakkan norma hukum
demi pengayoman masyarakat,
(b) Memasyarakatkan terpidana
dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna,
(c) Menyelesaikan konflik yang
ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa
damai dalam masyarakat,
(d) Membebaskan rasa bersalah
pada terpidana
2. Pemidanaan tidak dimaksudkan
untuk menderitakan dan tidak merendahkan
martabat manusia
Muladi
(1990) berkaitan dengan pembaharuan hukum pidana (banyak yang menyebutkannya
dengan reformasi hukum pidana) selain beralaskan sosiologis, polotis, hendaknya
juga mengedepankan adaptif. Alasan adaptif menurut Muladi adalah bahwa Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional pada masa mendatang harus dapat
menyesuaikan diri dengan perkembangan-perkembangan baru, khususnya perkembangan
Internasional yang telah disepakati oleh masyarakat beradap dengan karakteristik operasional :
a. Hukum
Pidana tidak boleh mengabaikan aspek-aspek yang berkaitan dengan kondisi
manusia, alamdan taradisi Indonesia. Hal ini berarti hukum pidana harus
berpijak pada khazanah dalam negeri sebagai kristalisasi opini masyarakat untuk
menciptakan ketertiban.
b. Hukum
pidana harus dapat menyesuaikan diri dengan kecenderungan-kecenderungan
universal yang berkembang pada pergaaulan masyarakat beradab. Hal ini berarti
hubungan pidana juga menyerap wawasan yang berkembang dan dimiliki masyarakat
lain, sehingga mampu menyelesaikan konflik-konflik yang bersifat global.
c. Hukum
pidana harus mempunyai aspek-aspek yang bersifat preventif. Hal ini bertujuan
untuk memperkecil terjadinya tindak pidana karena secara tidak langsung sudah
menumbuhkan perasaan enggan (takut) untuk melanggar hukum pidana.
d. Hukum
pidana harus selalu tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk meningkatkan efektivitas fungsinya didalam masyarakat. Hal ini
berkaitan dengan kemampuan hukum pidana untuk menangkal perkembangan atau
bentuk-bentuk baru kejahatan karena semakin majunya ilmu pengetahuan dan
teknologi serta globalisasi.
Ermasyant.,
Diktat hukum adat. Fakultas Hukum Universitas nasional Jakarta, 2010.
Hadikusuma,
Hilman. Pengantar ilmu hukum adat indonesia. Mondar maju bandung, 2003.