• Home
  • TwitterFacebookGoogle PlusLinkedInRSS FeedEmail

Legal Studies

Yakin Usaha Sampai

  • Home
  • Pofil
    • Fecebook
    • Instagram
    • Youtube
  • Hukum Perdata
    • Gugatan
      • Gugatan PMH
      • Gugatan Wanprestasi
    • Permohonan
      • Permohonan Penetapan Ahli Waris
      • Permohonan Perwalian
    • Banding
      • Memori Banding
      • Kontra Memori Banding
    • Kasasi
      • Memori Kasasi
      • Kontra Memori Kasasi
    • Peninjauan Kembali
  • Jenis-Jenis Surat
    • Surat Kuasa
      • Surat Kuasa Khusus
      • Surat Kuasa Umum
    • Surat Tugas
    • Surat Pernyataan
    • Surat Peringatan/Somasi
  • Lain-Lain
    • Hukum Ketenagakerjaan
      • Jabatan Yang Dilarang Untuk TKA
      • Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
    • Health
      • Childcare
      • Doctors
    • Uncategorized

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Showing posts with label Hukum Adat Indonesian. Show all posts
Showing posts with label Hukum Adat Indonesian. Show all posts

Thursday, 31 December 2015

Hukum Adat Indonesia

12/31/2015  Hukum Adat Indonesian  No comments


Fakultas Hukum Universitas Nasional

Hukum Adat Indonesia
OLEH:
LA ODE SUDARMIN

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. Atas berkat rahmat dan karunianyalah sehingga penyusunan makalah ini dapat terselesaikan.

Dalam penyusunan tugas atau makalah ini banyak hambatan yang penulis hadapi. Namun karena semangat dan keinginan yang kuat untuk berusaha belajar dan belajar sehingga penyusunan tugas makalah ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurnah untuk itu penulis mengharapkan  kesimpulan dan saran  dari pembaca agar penyusunan makalah kedepan bisa lebih baik lagi.

Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai, Amiin.


                                                                                                            Penulis

DAFTAR ISI

Kata pengantar ...............................................................................i

Daftar isi..........................................................................................ii

Sistem hukum adat indonesia......................................................1

Corak hukum adat..........................................................................4

Sistem hukum adat........................................................................9

Pembangunan hukum pelanggaran adat....................................14

 Pelanggaran adat........................................................................ 15

Sistem hukum adat delik.............................................................18

 Hukum pelanggaran adat dan kitab undang-undang hukum

 adat (KUHPid)...............................................................................22

Daftar pustaka...............................................................................32

 

 



Sistem Hukum Adat di Indonesia
Pendahuluan
Sistem hukum adat merupakan salah satu sistem hukum yang ada di indonesia, tetapi sejauh ini belum nampak keberadaan sistem hukum adat itu sendiri. Hal itu dikarenakan sistem yang dianut oleh bangsa kita sangat beraneka ragam dan sistem hukum adat hanya terdapat pada masyarakat tradisional, sehingga untuk lebih mendalaminya kita perlu terjun langsung kemasyarakatnya. Walaupun begitu hampir semua warga indonesia menganut sistem hukum adat, karena hampir semua warga indonesia hidup dalam sebuah adat ataupun kebudayaan setempat. Artikel ini akan mengulas mengenai hukum adat tersebut, mulai dari definisi, bentuk-bentuknya, sejak kapan hukum adat itu berlaku, unsur-unsurnya, hingga corak yang ada didalamnya.
Definisi dari Hukum Adat menurut Prof. H. Hilman Hadikusuma adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat. Kehidupan manusia berawal dari berkeluarga dan mereka telah mengatur dirinya dan anggotanya menurut kebiasaan, dan kebiasaan itu akan dibawa dalam bermasyarakat dan negara.
Kepribadian bangsa kita dapat dilihat dari keanekaragaman suku bangsa di negara ini yang ada pada Lambang negara kita Garuda Pancasila dengan slogannya “Bhineka Tunggal Ika” (Berbeda – Beda tetapi tetap satu jua). Dengan mempelajari hukum adat di Indonesia maka kita akan mendapatkan wawasan berbagai macam budaya hukum Indonesia, dan sekaligus kita dapat ketahui hukum adat yang mana ternyata tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, dan hukum adat yang mana dapat di konkordasikan dan diperlakukan sebagai hukum nasional.
Berkat hasil penelitian Prof. Mr. C. Vollenhoven di Indonesia yang membuktikan bahwa bangsa Indonesia mempunyai hukum pribadi asli, dan dengan demikian bangsa Indonesia semenjak tanggal 17 Agustus 1945 melalui undang – undang dasarnya dapat mewujudkan tata hukum Indonesia. Sifat dari hukum adat memiliki unsur elasitas, flesible, dan Inovasi, ini dikarenakan hukum adat bukan merupakan tipe hukum yang dikodifikasi (dibukukan). Istilah Hukum adat Indonesia pertama kali disebutkan dalam buku Journal Of The Indian Archipelago karangan James Richardson Tahun 1850.


Corak, ciri dan sistem hukum adat yang merupakan sendi fundamental

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses perkembangan hukum adat:

A.           Corak Hukum Adat
Untuk mempelajari sistem hukum adat secara mendalam maka kita harus mempelajari corak hukum adat itu sendiri. Menurut Hilman(1992) terdapat 8 corak dalam sistem hukum adat, antara lain:
1.    Tradisional
Hukum adat indonesia pada umumnya bercorak tradisional, artinyabersifat turun temurun, dari zaman nenek moyang sampai ke anak cucu dan sekarang keadaanya masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat bersangkutan.
Contoh:
a.    Masyarakat tapanuli dalam sistem perkawinan dan kekeluargaan masih mempertahankan dalil na tolu tungku tiga moyorat laki-laki
b.    Sistem mayorat laki-laki (lampung)
c.    Minangkabau

2.    Keagamaan/Religio Magis
Perilaku hukum atau kaidah hukum yang ada berkaitan dengan kepercayaan terhadap hal-hal ghaib / magis (animisme-dinamisme;kepercayaan terhadap roh-roh halus dan roh-roh nenek moyang; kepercayaan terhadap Tuhan). Hal tersebut dapat dilihat pada adanya upacara-upacara adat yanglazimnya diadakan sesajen-sesajen yang ditujukan pada roh-roh leluhur yang ingindiminta restu / pertolongan.

Van vollenhoven mengatakan jauh sebelum agama kristen, islam dan lain-lain masuk ke indonesia, masyarakat adat / masyarakat indonesia sudah mempunyai agama yaitu agama animisme atau yang disebut dengan “heidense god’sdient”
a.    Menghormati arwah nenek moyang yang sudah meninggal dunia
b.    Percaya adanya demit di duniadan di langit
c.    Percaya adanya pembalasan / dendam dari demit dari langit
d.    Percaya adanya orang – orang yang dapat menjadi penghubung / perantara antara demit  di langit dan bumi dengan manusia
Pengaruh agama dapat kita lihat pada pembukaan UUD 1945 alenia ke 3(tiga) yang menyatakan berkat rahmat tuhan yang maha esa ....dst
Misalnya: di Banten dan di Bali orang berpantang menjual padi yang masih hijau buahny; di berbagai daerah berlaku jika kawin lebih dahulu dari kakak maka adik harus memberi barang “pelangkah”  kepada kakak yang dilangkahinya agar tidak ketulahan.

3.    Kebersamaan/Komunal

Masyarakat hukum adat bersifat komunal, yaitu segala aspek kehidupan di kembalikan pada kepentingan bersama.
Menurut M. Koesnoe : Dalam konsep pemikiran hukum adat, individu dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat, dan fungsi dari masing-masing individu adalah dipandang untuk melangsungkan fungsi dan kelangsungan masyarakat.

Hal yang disampaikan M. Koesnoe berarti bahwa setiap individu mempunyai rasa kebersamaan yang tinggi dan rasa saling terikat satu sama lain. Dengan adanya rasa tersebut  setiap individu selalu mengutamakan kepentingan bersama dan kepentingan mereka sendiri selalu dibangun dari kepentingan masyarakatnya.
Corak kebersamaan ini dapat dilihat pada acara:
v  Acara “gugur gunung” [Soerojo 1979]
v  Semangat kekeluargaan, gotong-royong, tolongmenolong
v  Pasal 33 (1) UUD 1945 : Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan
Penjelasan:
Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, ekonomi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan
kemakmuran orang-perorang. Sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

4.    Kongkrit dan Visual
Kongkrit bersifat jelas, nyata, dan berwujud. Selain itu menurut Soerojo (1979) kongkrit merupakan perkataan dan perbuatan, dimana perbuatan itu merupakan realisasi dari sebuah perkataan.
 Contoh:
 yang dapat dilihat pada sistem jual beli, dimana mereka saling bertemu secara langsung dan bertransaksi di tempat itu secara terang-terangan, dimana terjadi sebuah kesepakatan (ijab), lalu terjadi proses pembayaran/penerimaan (kabul), ada saksi di depan kepala adat. Persamaan jual beli bersamaan waktunya (samenval van momentum) antara pembayaran dan penyerahan (levering) seketika itu juga.
Visual berarti dapat dilihat, tampak, terbuka, dan tidak tersembunyi. Soerojo (1979) menyebutkan bahwa visual merupakan pemberian sebuah tanda yang kelihatan untuk bukti penegasan atau peneguhan atas apa yang akan terjadi atau telah terjadi. Contoh:
  Dimana saat kita memberikan jaminanbaik dalam bentuk barang maupun uang atas sesuatu yang telah kita beli, dimana kita tidak dapat memebelinya secara tunai saat itu (panjer).
5.    Terbuka dan Sederhana

Terbuka berarti Dapat menerima unsur dari luar, asal tidak bertentangan dengan jiwa hukum adatitu sendiri.  Artinya hukum adat selalu menerima unsur-unsur dari luar baik berupa kebudayaan ataupun sebuah aturan itu sendiri, tapi dengan catatan unsur itu sesuai dengan jiwa hukum mereka. Suatu unsur yang berbeda-pun dapat diterima tetapi membutuhkan sebuah proses dan mungkin memakan waktu yang cukup lama sehingga masyarakatnya benar-benar mampu menerimanya.
Contoh:
a.    Dalam pengaruh agama hindu dikenal dengan kawin anggau dalam arti bahwa jika suami meninggal dunia, maka janda dikawinkan pada kakak atau adiknya almarhum suami terdekat.
b.    Pengaruh agama islam pada warisan masyarakat jawa dikenal dengan segendong sepikul, satu bagian wanita (segendong) dan dua bagian laki-laki (sepikul)
Sederhana berarti bersahaja, tidak rumit, tidak banyak administrasi, tidak tertulis, dan mudah dimengerti. bahwa hukum adat tidak menyukai sesuatu yang rumit seperti masyarakatnya sendiri, mereka cenderung menyukai sesuatu yang praktis dan cenderung instan. Tentu hal ini menimbulakan dampak posotif maupun negatif, tapi mereka melaksanakannya dengan rasa saling mempercayai satu sama lain, sehingga dapat meminimalisir rasa curiga diantara mereka yang dapat menimbulkan sesuatu yang tidak baik.
Contoh:
a.    Perjanjian bagi hasil: makro, mertelu, dilaksanakan lisan tanpa surat menyurat.

6.    Dapat Berubah Sesuai Keadaan

Hukum adat dapat berubah menurut keadaan waktu dan tempat (Hilman Hadikusuma 1992, 37) dan Hukum adat terus-menerus dalam keadaan tumbuh berkembang seperti hidup itu sendiri (Soepomo 1996). Artinya hukum adat merupakan hukum yang dinamis dan tidak statis. Hukum adat akan terus ada dan berkembang selama masyarakatnya masih hidup. Masyarakat tersebut akan terus menyesuaikan hukum adat mereka sesuai dengan keadaan yang ada.
Contoh:
a.    minang kabau, pepatah adat “sekali ai gadang, sekalian tapian beranjak” artinya “sekali pemerintah berganti, sekalian pula peraturan berubah”
b.    sistem kekeluargaan Matrilineal:
·         harta pusaka berubah ke arah sistem parental dikenal adanya harta suaran (seorang)
·         sebagai kekuasaan mamak beralih kekuasaan orang tua, tidak lagi berajo ke mamak, berajo ke bapak

7.    Tidak Dikodifikasi

Artinya hukum adat kebanyakan  tidak tertulis  tidak statis, tetapi bersifat dinamis. Walaupun ada yang ditulis/dicatat di aksara raja, tetapi tidak sistematis dan hanya dipakai sebagai pedoman saja dan tidak mutlak dilaksanakan. Oleh karena itu hukum adat mudah berubah dan menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman.

8.    Musyawarah Mufakat
Biasanya masyarakat selalu melakukannya disaat akan memulai sebuah pekerjaan maupun sudah selesai mengerjakannya. Hal tersebut dilakukan untuk mempererat hubungan diantara mereka. Musyawarah biasanya juga dilakukan apabila ada sebuah perselisihan ataupun sengketa, dimana musyawarah merupakan media yang digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sedang terjadi dengan asas kerukunan dan tentunya dengan saling memaafkan (M.Koesnoe). 
Contoh:

a.    Dalam kerabat:
Diutamakan musyawarah mufakat dalam memulai dan mengakhiri pekerjaan

b.    Dalam hal peradilan:
Penyelesaian secara rukun dan damai dan saling memaafkan dalam musyawarah mufakat seperti pepatah adat lampung “mak patoh lamen lemoh, mak pegat lamen kendor” takan patah karena lemah, takan mati karena kendur” 

A.           Sitem hukum adat
Sistem hukum adat adalah keseluruhan suatu objek yang terangkai menjadi suatu kegiatan yang teratur.
Suatu sistem adalah susunan yang berfungsi dan bergerak (Fuad Hasan / Koencoro Diningrat 1977, 14)
Perbedaan sistem hukum adat dengan sistem hukum barat
a)    Hukum barat mengenai perbedaan:
Ø  Hukum kebendaan
Ø  Hukum perseorangan
Ø  Hukum publik
Ø  Hukum perdata

b)    Hukum adat :
Ø  Tidak mengenal perbedaan dalam memutuskan perkara, hakim memutuskan perkara tergantung dengan kepentingan siapa yang dilindungi
Ø  Tidak jelas antara hukum publik dan hukum perdata
Ø  Semua masalah diselesaikan oleh kepala adat

Ciri hukum adat menurut soejono soekanto:
1)    Dipengaruhi oleh sistem kemasyarakatan, bahwa sistem hukum selalu dikembalikan pada faktor geneologis teritorial
2)    Fungsi adat menyelaraskan antara hak dan kewajiban, antara individu dan masyarakat
3)    Sistem hukum adat merupakan refleksi konkrit dari harapan masyarakat
4)    Terbentuknya dengan cara tidak tertulis kemudian ada yang tertulis
5)    Ada harmoni antara internal dan eksternal

Contoh:
            Sanksi dikeluarkan dari clan tujuan untuk keseimbangan clan

Ciri-ciri hukum adat:
1)    Tidak tertulis : pada umumnya tidak tertulis
2)    Tertulis : karena sebagian hukum adat itu tertulis
3)    Dinamis / tidak statis

v  Prof. Dr. Soepomo
Hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri.

v  Van Vollenhoven
Hukum adat berkembang dan maju terus, keputusan-keputusan adat menimbulkan hukum adat

Sumber-sumber hukum adat:
1)    Kebiasaan dan adat istiadat yang berhubungan dengan tradisi rakyat (Van Vollenhoven)
2)    Kebudayaan tradisi rakyat (Ter Haar)
3)    Ugeran-ugeran yang timbul langsung sebagai kebudayaan asli (djojodiguno)
4)    Perasaan keadaan dalam hati nurani rakyat (soepomo)
5)    Pepatah adat
6)    Yurisprudensi


2. Bahasa hukum adat

Bahasa hukum adat adalah bahasa hukum rakyat yang diciptakan melalui proses yang panjang. Bahasa hukum adat belum dapat dirumuskan secara tajam dan pasti (seperti hukum barat).
Bahasa hukum adat bukan sesuastu yang dapat diciptakan dalam waktu yang singkat, tetapi melalui proses yang panjang. Bahasa hukum rakyat merupakan bahasa yang sanggup melukiskan perasaan rakyat dimaksud secara tepat. Oleh karena itu banyak istilah-istilah hukum barat yang dimasukan dalam bahasa hukum adat yang kadang-kadang isinya sama tetapi pengertian sangat berbeda.

Contoh: jual-beli (hukum adat) dan verkepen (belanda)

Istilah jual-beli (hukum adat) mengandung arti:
1)    Jual lepas à apabila pengoperan itu untuk selanjutnya
2)    Jual tahunan à pengoperan itu untuk waktu tertentu
3)    Jual gadai (scude) àpengoperan ini bersifat dapat kembali apabila uang pembayaran yang dahulu diterima kembali
Istilah jual lepas dibandingkan dengan “verkepen” istilah jual lepas adalah penjualan lepas namun selama-lamanya dengan  pembayaran kontan, sedangkan “verkepen” adalah suatu perbuatan yang bersifat obligator  artinya penjual berjanji dan wajib mengoperkan barang yang di verkorp (dijual) kepada pembeli dengan tidak dipersoalkan apakah barang dibayar kontan atau tidak.
Didalam hukum adat segala perbuatan dan keadaan yang bersifat sama disebut dengan istilah sama pula.
Contoh:
1)    Kawin gantung à kedua mempelai belum boleh hidup bersama
2)    Warisan digantung à warisan belum dapat dibagikan pada ahli waris
3)    Panjer = tanda pangkat
·         Persetujuan lisan baru mengikat bila sudah ada panjer (tunai dan kontan sifat hukum adat)
·         Pertunangan mengikat bila sudah ada “panjer”

Bahasa hukum adat lahir setapak, terus menerus dipakai dengan konsekuen untuk mengikat suatu perasaan dan keadaan sehingga lambat laun menjadi istilah yang memiliki makna tertentu

3. Pepatah adat
Istilah-istilah adat di berbagai lingkungan hukum adat terdapat pula pepatah adat, kato adat,patitik, umpama, dan pilar, sangat berguna bagi petunjuk tentang adanya peredaran adat.
Contoh :
1)    Di Tapanuli à pepatah adat “togu torat ni bolu toguan urat nu padang, togu pen a nidok ni uhun, toguan na nidok ni padan”  artinya “akar bamboo kuat tetapi akar rumput lebih kuat” mengandung arti “bahwa peraturan-peraturan hukum positif adalah kuat, akan tetapi suatu persetujuan lebih kuat daripada peraturan hukum”
2)    Di Minang kabau à pepatah adat“sekali ae gadang, sekali tapian beranjak, sekali raja ba(r)ganti, sekali adat berubah.Maksudnya “bahwa adat itu tidak statis melainkan berubah menurut perubahan yang berlaku dengan penggantian kepala adat”. Artinya“apabila air meluap, tempat pemandian bergeser = apabila raja berganti maka adat berganti pula.

Ter Haar mengatakan bahwa pepatah adat bukan sumber hukum tetapi mencerminkan dasar hukum yang tidak tegas.

·                     Penyidikan Hukum Adat
Berlakunya suatu peraturan hukum adat adalah tampak dalam penetapan (petugas hukum) misalnya : putusan kepala adat, putusan hukum, putusan pengawas, dll.
Dapat diartikan bahwa: perbuatan atau penyelidikan oleh pihak pelanggar hukum dengan tujuan untuk memelihara atau untuk menegakan hukum

Dalam mengadakan penyelidikan dalam hukum adat, bahan-bahan yang berharga harus dilaksanakan dengan cara :
a.    Research tentang putusan hukum di wilayah yang bersangkutan
b.    Sikap penolakan  dalam kehidupan dan hal-hal terhadap yang sedang diselidiki dengan melakukan “field research”  (penelitian lapangan)
Misalnya : bagaimana kenyataan sosial yang bersangkutan (“social reality”) melalui pejabat-pejabat desa, orang tua, cerdik pandai, orang terkemuka (field research)

4. Hukum adat sebagai aspek kebudayaan

Hukum adat senantiasa tumbuh dari suatu kebutuhan budaya yang nyata, cara hidup dan pandangan hidup yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat karena :
-       Tidak mungkin suatu hukum yang asing bagi masyarakat dipaksakan dibuat
-       Tidak mungkin kecuali dibuat/diciptakan bila bertentangan dengan kebudayaan rakyat.
Dalam arti bahwa Tidak mungkin suatu hukum yang asing bagi masyarakat itu akan dipaksakan untuk dibuat apabila hukum asing itu bertentangan dengan kebudayaan rakyat yang bersangkutan
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat
Menurut VerSavegny, hukum mengikuti “vaelglist” (jiwa/semangat rakyat) dan masyarakat tempat hukum itu berlaku

“Untuk mengerti bahwa hukum adat adalah itu sebagai segi kebudayaan indonesia”
Bagaimana sruktur berpikir, corak dan sifat masyarakat indonesia khusus berhubungan dengan hukum ?
Jawab :
Masyarakat indonesia mengalami peralihan dan bergerak terus menerus tetapi tidak semua perubahan dalam jiwa dan struktur masyarakat merupakan perubahan fundamental yang langsung melahirkan jiwa dan struktur yang baru sebab masyarakat adalah sesuatu yang kontinen (berjalan terus) masyarakat berubah tetapi tidak sekaligus meninggalkan yang lama. Jadi dalam masyarakat yang baru terdapat reaktifitas bahwa sesuatu proses perkembangan mengatur kembali yang lama serta menghasilkan sistem  dari yang lama dan yang baru, sesuai dengan kehendak, kebutuhan, cara hidup, cara pandang hidup sesuatu rakyat (Sinarta Soedrajat, SH) dalam bukunya Asas-asas Hukum Adat, 27-28)

Jadi Hukum Adat Sebagai Aspek Kebudayaan adalah bahwa Hukum Adat itu tumbuh dari suatu kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup dan pandangan hidup yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat Hukum Adat itu berlaku.


Pembangunan hukum pelanggaran adat

Manusia mempunyai hasrat yang kuat dan bertahan hidup secara teratur. Ia pun mempunyai pendirian dan penafsiran sendiri mengenai apa yang dimaksud teratur sehingga perlu suatu pedoman. salah satu mekanisme itu adalah apa yang dinamakan pengendalian sosial.
Pengendalian sosial di dalam suatu  masyarakat dapat dilakukan dengan berbagai  cara, misalnya:
1.    Mempertebal keyakinan warga masyarakat akan fungsi kaidah-kaidah sosial tertentu dalam kehidupan sosial masyarakat.
2.    Memberi penghargaan kepada warga masyarakat yang menaati kaidah-kaidah sosial tertentu berupa pemberian sanksi yang bersifat  positif.
3.    Mengenmangakan rasa malu dalam diri warga masyarakat apabila mereka menyimpang atau menyeleweng dari kaidah-kaidah atau nilai-nilai sosial yang telah disepakati bersama.
4.    Menimbulkan rasa takut melalui pencantuman sanksi dalam kaidah sosial yang sudah disepakati.
5.    Menyusun perangkat dan aturan-aturan hukum.

1.             pelanggaran adat

Istilah hukum pelangaran adat adalah terjemahan dari istilah belanda adat delicten recht atau ”hukum pelanggaran adat” istilah ini hampir tidak dikenal dalam berbagai masyarakat adat. Masyaratakat adat dibeberapa wilayah indonesia  misalnya mengenal “salah” di lampung dan “sumbang” di sumatera selatan. Hukum adat delik (adatdelicten recht) dan dapat juga disebut “Hukum Pidana Adat”, atau “Hukum Pelanggaran Adat”  ialah aturan-aturan hukum adat yang mengatur peristiwa atau perbuatan kesalahan yang berakibat terganggunya keseimbangan masyarakat, sehingga perlu diselesaikan (dihukum) agar keseimbangan masyarakat tidak tergangu. Dengan demikian yang diuraikan dalam hukum adat delik adalah tentang peristiwa dan perbuatan yang bagaimana merupakan “delik adat” dan bagaimana cara menyelesaikannya sehingga keseimbangan masyarakat tidak lagi merasa terganggu.

Menurut van             Vollenhoven : Dalam bukunya Een adatrechboekje voor het indie yang dimaksud dengan “delik adat”adalah “perbuatan yang tidak boleh dilakukan walaupun pada kenyataanya peristiwa atau perbuatan itu hanya sumbang (kesalahan) kecil saja”.(Hilman hadikusuma, 1979: 19).

Menurut Ter Haar : “Delik” (pelanggaran) ialah “setiap gangguan dari suatu pihak terhadap keseimbanagn, dimana setiap pelanggaran itu suatu pihak atau dari sekelompok orang berwujud atau tidak berwujud, berikibat menimbulakn reaksi (yang besar kecilnya menurut ketentuan adat ), suatu reaksi adat; dan disebabkan adanya reaksi itu, maka keseimbanaga harus dapat dipulihkan kembali (dengan pembayaran uang atau barang)”  (Ter Haar 1950:218).

Menurut soepomo (1977) :“segala perbuatan atau kejadian yang mengganggu kekuatan batin masyarakat, segala perbuatan atau kejadian yang mencemarkan suasana batin, yang menentang kesucian masyarakat, merupakan delik terhadap masyarakat seluruhnya.
Delik yang paling berata ialah segala pelangaran yang memperkosa perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib, serta pelanggaran yang memperkosa dasar susunan, masyarakat”.

Jadi yang dimaksud dengan delik adat adalah peristiwa atau perbuatan yang menggangu keseimbangan masyarakat,yang bertentangan dengan kepatutan, ketertiban, keamanan, rasa keadilan, dan kesadaran hukum masyarakat bersangkutan, baik hal itu akibat perbuatan seseorang maupun perbuatan penguasa adat sendiri dan karena adanya reaksi dari masyarakat maka keseimbangan itu harus dipulihkan kembali dengan hukuman denda atau dengan upacara adat.

Pelangaran adat adalah:
a.    Suatu peristiwa aksi dari para pihak dalam masyarakat.
b.    Aksi itu menimbulkan adanya gangguan keseimbangan.
c.    Gangguan keseimbanag itu menimbulkan reaksi.
d.    Reaksi yang timbul menjadikan terpeliharanaya kembali atas gangguan keseimbangan kepada keadaan semula.

Beberapa macam delik adat :

1.    Kesalahan mengganggu keamanan
2.    Kesalahan menganggu ketertiban
3.    Kesalahan kesopanan dan kesusilaan
4.    Kesalahan dalam perjanjian
5.    Kesalahan menyangkut tanah, tanam tumbuhan dan hasil hutan
6.    Kesalahan menyangkut hewan ternak dan perikanan
                                             
Cara penyelesaiaan delik adat
Penyelesaian delik adat yang berakibat terganggunya keseimbangan keluarga atau masyarakat, walaupun adakalanya perkaranya sampai ditangani oleh alat negara, dapat ditempuh dengan cara melalui pribadi dan atau keluarga yang bersangkutan, atau ditangani kepala kerabat, kepala adat kepala desa, ketua perkumpulan organisasi (instansi) dan alat negara.

Tugas penegakan hukum terhadap hukum dan pelanggarannya ada pada kepala persekutuan hukum berupa serangkaian ketentuan-ketentuan, antara lain:
a.    Merumuskan pedoman bagaimanakah warga masyarakat seharusnya berperilaku, sehingga terjadi integrasi dalam masyarakat.
b.    Menetralisasikan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengadakan ketertiban.
c.    Mengatasi persengketaan agar semula pulih kembali.
d.    Merumuskan kembali pedoman yang mengatur hubungan antara waga-warga masyarakat dan kelompok-kelompok apabila terjadi perubahan-perubahan.  
Bassiuni (Barda Nawawi Arief; 1986). Ia mengaitkan sistem nilai yang ingin dicapai bersama dan akan dilindungi dengan pidana. Untuk menciptakan tertib sosial, tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pidana pada umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan sosial, yaitu :
a.    Pemeliharaan tertib masyarakat.
b.    Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian, atau bahaya-bahaya yang tidak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain.
c.    Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum.
d.    Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan, dan keadilan sosial.
Terhadap perilaku yang tidak sesuai pasti akan memperoleh reaksi tertentu pula. Apabila reaksi itu bersifat negative, masyarakat menghendaki adanya suatu pemulihan keadaan yang dianggap telah rusak oleh sebab perilaku-perilaku tertentu (dan dianggap sebagai penyelewengan). Sebaiknya, apabila ia mempunyai akibat positif, perlu juga diberikan suatu sanksi, yaitu “ hadiah” dan “pengukuhan”.


2.            Sifat Hukum Adat Delik.

Aturan-aturan hukum pelanggaran adat pada umumnya bersifat tradisional magis religieus, menyeluruh dan  menyatukan, tidak prae-existente, tidak menyamaratakan, terbuka dan lentur, terjadinya delik adat, delik aduan reaksi dan koreksi, pertanggungjawaban kesalahan, tempat berlakunya.

a.    Tardisional magis religieus.
Tardisional dan magis religieus Artinya perbuatan yang tidak boleh dilakukan dan perbuatan mana menggangu keseimbangan masyarakat itu bersifat turun temurun dan dikaitkan dengan keagamaan.
Misalnya:
Anak tidak boleh murka kepada orang tua,adik tidak boleh melangkahi kakak, pria dan wanita tidak boleh berzina, dan sebagainya.

b.    Menyeluruh dan menyatukan
Menyeluruh dan menyatukan artinya tidak memisah-misah antara delik yang bersifat pidana atau bersifat perdata, begitu pula tidak dibedakan kejahatan sebagai delik hukum dan pelanggaran sebagai delik undang-undang. Begitu juga tidak dibedakan apakah delik itu merupakan perbuatan yang disengaja (opzet) atau karena kelalaian (culpa). Sehingga tidak juga dibedakan antara pelaku (dader)  dengan yang turut melakukan (medeplichtiger) atau yang menghasut (uitlokker).

c.    Tidak prae-Existente
Tidak prae-Existente regels (soepomo, 1967: 102) artinya tidak seperti hukum pidana barat sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 1 KUHPidana (WvS) yang menganut adagium Montesquieu yang berbunyi “nullum delictim, nulla poena sine praevia lege poenali”(tiada suatu delik, melainkan atas kekuatan aturan pidana di dalam undang-undang yang telah ada lebih dahulu dari perbuatan itu). Menurut hukum adat baik peraturan telah ditetapkan maupun belum ditetapkan terlebih dulu, apabila perbuatan itu menggangu keseimbangan masyarakat maka peristiwa atau perbuatan itu dapat dihukum.

d.    Tidak menyama-ratakan
Tidak menyama-ratakan artinya apabila terjadi delik adat, maka yang terutama diperhatikan ialah timbulnya reaksi atau koreksi dan terganggunya keseimbangan masyarakat, serta siapa pelaku perbuatan dilik itu dan apa latar belakangnya (Hilman Hadikusuma 1984: 23). Terhadap pelaku delik hukum adat tidak menyamaratakan , begitu pula peristiwa dan perbuatanya.
Misalnya: jika delik adat dilakukan oleh golongan bangsawan atau raja-raja adat, orang yang bermartabat, orang pintar maka hukumanya lebih berat dari pelaku orang biasa, orang rendah atau orang miskin.

e.    Terbuka dan  lentur
Aturan hukum adat terbuka dan lentur (flexible) terhadap unsur-unsur yang baru, yang berubah baik yang datang dari luar ataupun karena perubahan perkembangan masyarakat lingkungannya.
Misalnya:  pakaian adat yang dulunya hanya dapat dipakai oleh para kepala adat dimasa sekarang walaupun orang biasa ataupun orang luar dapat memakainya dan tidak dipermasalahkan.

f.     Terjadinya delik adat
Terjadinya delik adat apabila tata-tertib adat setempat dilanggar., dikarenakan adanya suatu pihak merasa dirugikan, sehingga timbul reaksi dan koreksi dan keseimbangan masyarakat menjadi terganggu.
Misalnya: perbuatan mencuri buah-buahan di Aceh jika jika pelakunya memetik buah-buahan dari pohon yang tidak dipelihara  maka si pencuri dihukum membayar harganya.

g.    Delik aduan
Apabila terjadi delik adat yang akibatnya menggangu keseimbangan keluarga, maka untuk menyelesaikan tuntutan atau gugatan dari pihak yang dirugikan harus ada pengaduan atau pemberitahuan dan permintaan untuk diselesaikan kepada kepala adat.
Misalnya: di dalam Simbur Tjahaja (ST) yang berlaku  di daerah sumatera selatan dahulu pasal 20 menyatakan:
“jika seorang laki-laki memegang lengan gadis atau janda di atas sikunya, meragang gewe namanya, ia dikenakan denda 6 ringgit. Jika perempuan itu mengadu kepada rapat. Denda itu 3 ringgit diserahkan kepada wanita itu sebagai “tekap malu” dan 3 ringgit diserahkan kepada rapat (sebagai uang sidang).

h.    Reaksi dan koreksi
Tujuan adanya tindakan reaksi dan koreksi terhadap peristiwa atau perbuatan delik  adalah untuk dapat memulihkan kembali keseimbangan masyarakat yang terganggu.  sebagaimana disebut dalam bagian X dari “Pandecten van het adtrecht (Bab X 1936:695-720, dan juga Soepomo, 1967: 94-95)” dikatakan bahwa tindakan reaksi atau koreksi dapat berupa :
1.      Penggantian kerugian Immaterieel dalam berbagai rupa seperti paksaan menikahi gadis yang telah dicemarkan.
2.      Pembayaran “uang adat” kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti sebagai pengganti kerugian rohani.
3.      Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib.
4.      Penutup malu, permintaan maaf.
5.      Bebagai rupa hukuman badan, hingga hukuman mati.
6.      Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata hukum.
.       Misalnya di daerah lampung adakalanya tindakan reaksi dan koreksi itu berkelanjuan dengan mengikat tali persaudaraan (mewari) dalam hal hilang nyawa diganti dengan nyawa, dalam arti pihak yang berbuat delik menyerahkan anggota keluarganya sebagai ganti dari korban yang telah mati kepada pihak yang dirugikan, untuk diangkat sebagai anggota keluarganya

i.      Pertanggungjawaban kesalahan
Apabila terjadi peristiwa atau perbuatan delik menurut hukum pidana barat yang diremasalahkan apakah perbuatan itu terbukti kesalahannya dan dapat dihukum (strafbaarfeit) dan apakah pelakunya (dader) dapat dipertanggungjawabkan. menurut hukum pidana adat yang dipermasalahkan bagaimana akibat dari perbuatan itu dan siapa yang harus diminta pertanggungjawabanya.
Misalnya: dalam hukum barat jika yang melakukan adalah orang gila, ia mengamuk sehingga berakibat rumah seseorang menjadi rusak berat maka pelakunya orang gila tidak dapat dihukum atau diminta pertanggungjawaban. Lainhalnya dengan hukum adat bukan saja pribadi pelakunya dapat dimintakan pertanggungjawaban tetapi juga keluaraga atau kerabat dan atau kepala adatnya.

j.      Tempat berlakunya
Tempat berlakunya hukum delik adat tidak bersifat nasional tetapi terbatas pada lingkungan masyarakat adat tertentu atau di pedesaan.

Hukum Pelanggaran Adat dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP)

Antara ketentuan hukum pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) dan hukum pelanggaran adat terdapat perbedaan sebagai berikut :
a.    Sistem Pemidanaan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menganut sistem tertutup. Dalam Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dinyatakan bahwa :
“tidak ada satu perbuatan yang dapat dihukum, melainkan atas kekuatan aturan pidana di dalam undang-undang yang terdahulu dari perbuatan itu”.
Kalimat tersebut berasal dari ajaran Montesqueu dalam L’esprit des Lois tahun 1748 yang mengemukakan ajaran Trias Politica sebagaimana dikatakannya Nullum Delictum, nulla poena sine praevia lege poenala.

b.    Makna Perbuatan Salah
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan bahwa perbuatan salah yang berakibat dapat dijatuhi hukumanan ditujukan kepada orang yang berbuat atau melakukan kesalahan, dan kesalahan itu dilihat dari perbuatan yang dilakukan dengan sengaja (opzet) atau karena lalai (culpa). hukum adat tidak melihat pada perbuatan yang dilakukan, tatapi lebih luasa lagi, yaitu melihat pada  hasil atau  akibat dari perbuatan yang dilakukan. penyebab perbuatan secara sengaja atau akrena lalai tidak dibedakan.
c.    Pertanggungjawaban Kesalahan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mendasarkan pertanggungjawaban pada kondisi fiksiksi pelaku. Hanya seseorang yang waras secara jasmani dan rohani yang dapat dijatuhi pidana.
Di dalam pelanggaran adat kesalahan dapat dijatuhkan kepada bukan pelakunya bahkan dapat dibebankan pertanggungjawabannya kepada keluarga pelaku yang lain, orang tua, sanak saudara, atau masyarakat hukum adatnya.
Hukum adat membedakan perlakuan pidana justru atas dasar kedudukan si pelaku,apakah ia bermartabat, sehingga hukumnya harus diperberat dibandingkan rakyat biasa.
d.    Ketentuan Menghakimi Sendiri
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada hak untuk menghakimi sendiri seorang pelaku pidana. Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam masyarakat adat. Keluarga yang merasa dirugikan akibat suatu perbuatan dapat menuntut sendiri ganti rugi yang harus dibayarkan untuk mengembalikan harkat dan martabatnya dalam masyarakat.
Contoh :
Ø  Di Batak misalnya diberlakukan “mabeangkon”, yaitu menahan si pelaku dan mengikatnya dengan kayu sampai kerabatnya membayar denda adat bagi seseorang yang melakukan suatu kesalahan.
Ø  Di Minangkabau diberlakukan “adat tarik”, yaitu pihak penderita berhak menahan/mengambil barang si pelaku atau keluarganya sebagai jaminan agar pihak pelaku membayar ganti kerugian atau denda adat.
e.    Kriteria Pelaku
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenal pelaku (dader), pembantu melakukan (made-plichtigheid), ikut berbuat (madedaderderschap), membujuk berbuat (uitlokking), dan usaha percobaan (strafbare paging) dalam suatu perbuatan pidana.
Dalam hukum adat perbuatan itu dipandang sebagai satu kesatuan. Percobaan atas pelanggaran atau perbuatan pelanggaran diperlakukan sama, yaitu dijatuhi hukuman sejauh menimbulkan ganguan keseimbangan dalam masyarakat.
f.     Kesalahan Berulang/residive
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), seseorang yang melakukan kesalahan beberapa kali hanya dapat dilakukan penghukuman atas perbuatannya yang terakhir dan atau terberat ancaman hukumannya.
Hukum pelanggaran adat memperhitungkan keseluruhan perbuatan yang dilakukan. Misalnya seseorang dapat diusir selam-lamanya dari lingkungan masyarakat hukum adatnya seperti Di Minangkabau, berupa hukuman “buang tingkarang” diusir dan disita seluruh harta kekayaannya dan tidak diizinkan kembali ke daerah asalnya.
g.    Berat Ringan Hukuman
Penghilangan hukuman, pengurangan, dan penambahan hukuman pidana dalam hukum pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ditentukan atas dasar pasal 44 – Pasal 52 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pelaksanaan hukuman atas pelanggaran, dalam hukum adat justru mempertimbangan permintaan maaf dan pengakuan atas kesalahan adat yang dilakukan si pelaku. Hal ini didasarkan atas asas kekeluargaan, kedamaian, kerukunan, dan rasa keadilan dari masyarakat.
h.    Hak Mendapat Perlindungan
Pada masyarakat hukum adat terdapat ketentuan bahwa seseorang yang bersalah dapat dilindungi dari ancaman hukuman pihak lain bila ia berlindung kepada kepala adat, penghulu agama, atau raja. Di Sumatera Selatan, Sumba, dan Bali disebut “hak asjil”. Zaman Majapahit dahulu seorang terpidana kalau sudah memasuki tanah “perdikan”, tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang sampai proses peradilan dilaknakan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Dalam bidang hukum harta kekayaan khususnya hukum benda, yakni perihal jual beli tanah, hukum adat mengenal perlindungan terhadap pihak yang membeli dengan itikad baik. Suatu tinjauan dari segi hukum adat akan dapat diperoleh melalui analisis Ter Haar dalam terjemahan bebas (Soleman B. Taneko; 1981) :
“di dalam praktek acapkali terdapat bahwa seorang “tidak berhak” (misalnya seorang wakil atau salah seorang dari sesame pemilik) menjual sebidang tanah pertanian atau pekarangan dengan bantuan penmghulu rakyat (yang mungkin ia sendiri mengira berhadapan dengan orang yang benar-benar berhak). Bilamana si pembeli (penerima) di waktu membeli tanah itu bertindak dengan hati jujur”, maka ia terhadap pemilik sejati yang dirugikan diperlindungi sebagai seorang yang berhak atas tanah. Si pemilik tanah lantas dapat memilih antara menembus kembali dan melepaskan tanah itu buat selama-lamanya dan ia sendiri dapat mencoba untuk memperoleh kembalinya uang pembelian dari penjual yang curang itu”.

i.      Kategori Kesalahan dan Kejahatan
Hukum pelanggaran adat tidak diperbedakan antara kejahatan dan pelanggaran sebagaimana hukum pidana Barat. Terjadinya suatu kesalahan yang menyebabkan kerugian atau menjatuhi pidana, melainkan yang lebih penting adalah sejauh mana kesalahan itu terjadi dan mengganggu keseimbangan masyarakat.

1.    Timbulnya Pelanggaran Adat
Kapan suatu perbuatan dapat dinyatakan sebuah pelanggaran, dapat dijelaskan dalam beberapa keadaan di bawah  ini :
a.  Tata tertib adat dilanggar
Dalam struktur masyarakat adat tata tertib meliputi hampir semua bidang kehidupan, seperti kekerabatan, perkawinan, perkebunan, kewarisan, dan sebagainya. Pelanggaran atas tata tertib kehidupan masyarakat dan menimbulkan reaksi, maka seketika itu dapat dikatakan telah terjadi pelanggaran adat.
b.  Keseimbangan Masyarakat tergangu
Keseimbangan masyarakat ini dapat dibedakan atas keseimbangan umum, keseimbangan kelompok masyarakat, kerabat, atau bahkan keluarga. Dengan demikian,  dapat dinyatakan bahwa terjadinya delik adat ada yang sifatnya bertentangan dengan rasa keadilan umum, dan ada yang hanya bertentangan dengan hak-hak kerukunan kekerabatan, kekeluargaan, atau perorangan.
Berkaitan dengan keberadaan hukum pelanggaran adat, Soepomo (2001) memberikan komentar :

“suatu peraturan mengenai tingkah laku manusia (rule of behavior) pada suatu waktu mendapat  sifat hukum, pada saat petugas hukum yang bersangkutan mempertahankannya tehadap orang yang melanggar peraturan itu,  atau pada saat petugas hukum bertindak untuk mencegah pelanggaran peraturan itu”.

Dengan demikian, adanya penyelewengan menurut hukum adat adalah ketika tingkah laku itu mendapat sifat hukum, yaitu pada saat petugas hukum mempertahankan aturan itu atau pada saat petugas hukum bertindak untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum.

v Kebijakan Hukum Pidana
Barda Nawawi Arief mengenai langkah kebijakan hukum pidana (penai policy, criminal law policy, strafrechtpolitiek). Mengutip pemikiran Marc Ancel, Barda Nawawi Arief (1996) menyatakan kebijakan criminal itu adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberikan pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.
Kebijakan kriminal dalam arti yang lebih sempit lagi, yaitu mencakup :
a.      Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui;
b.      Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; dan
c.      Bagaimanakah cara penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.

v  Penanggulangan Kejahatan dan pencapaian tujuan masyarakat
Berkaitan dengan usaha pembentukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional, pada masa yang akan datang hukum pelanggaran adat ini masih relevan untuk dikaji. Peluang ini diberikan oleh undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, yang menyatakan bahwa di bekas wilayah Pengadilan adat di Indonesia hukum pelanggaran adat masih tetap diakui berlaku di daerah tersebut dengan catatan bahwa asas-asas hukum pelanggaran adat dan sanksi-sanksinya tidak boleh ditetapkan lagi.
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yang hingga kini masih dirancang (rancangannya sendiri telah melewati 30 (tiga puluh) tahun lamanya) mencantumkan beberapa pasal yang memberikan peluang pemberlakuan hukum palamnggaran adat seperti :
a.     Pasal 1 ayat (3) :
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup atau hukum adat yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam penjelasan pasal ini dinyatakan :
Adalah suatu kenyataan bahwa dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dan berlaku sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam lapangan hukum pidana yang biasanya disebut dengan tindak pelanggaran adat.

b.     Pasal 59 ayat (1) :

Dalam putusan dapat ditetapkan kewajiban adat setempat yang harus dilakukan oleh terpidana

Dalam penjelasan pasal ini dinyatakan :
Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat, hanya dapat dijatuhkan apabila secara nyata adat setempat menghendaki hal itu, yang tidak dilaksanakan akan menimbulkan keguncangan serius dlam masyarakat setempat, serta tidak melanggar asas kepatutan dan kesusilaan.

c.      Pasal 93 ayat (2)
Pemenuhan kewjiban adat sebagaimana dimaksud dalamayat (1) merupakanpidana pokok atau yang diutamakan jika tindak pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3).
d.     Pasal 93 ayat (3)
Kewajiban adat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dianggap sebanding dengan pidana denda Kategori I dan dapat dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda  jika kewajiban adat itu tidak dipenuhi atau tidak dijalani oleh terpidana.

e.     Penjelasan Umum Buku 1 huruf 1 :
“.......Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini diakui pula adanya pelanggaran  adat untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Adalah suatu kenyataan bahwa dibeberapa derah di tanah air, maish terdapat ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis, yang hidup dan diakui sebagai hukum didaerah yang bersangkutan, yang menentukan bahwa pelanggaran atas hukum itu patut di pidana. Dalam hal ini hakim dapat menetapkan sanksi berupa kewajiban adat yang harus dipenuhi oleh pelaku tindak pidana. Ini memberi arti, bahwa  nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat setempat masih tetap dilindungi..........”

Dalam wacana lebih luas di mana kepentingan masyarakat harus didahulukan, tujuan pemidanaan ditetapkan dalam rancangan Pasal 51 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Baru, yaitu :
1.    Pemidanaan bertujuan untuk :
(a)  Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum  demi pengayoman masyarakat,
(b)  Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna,
(c)  Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat,
(d)  Membebaskan rasa bersalah pada terpidana
2.    Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan  tidak merendahkan martabat manusia
Muladi (1990) berkaitan dengan pembaharuan hukum pidana (banyak yang menyebutkannya dengan reformasi hukum pidana) selain beralaskan sosiologis, polotis, hendaknya juga mengedepankan adaptif. Alasan adaptif menurut Muladi adalah bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional pada masa mendatang harus dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan-perkembangan baru, khususnya perkembangan Internasional yang telah disepakati oleh masyarakat beradap  dengan karakteristik operasional :
a.    Hukum Pidana tidak boleh mengabaikan aspek-aspek yang berkaitan dengan kondisi manusia, alamdan taradisi Indonesia. Hal ini berarti hukum pidana harus berpijak pada khazanah dalam negeri sebagai kristalisasi opini masyarakat untuk menciptakan ketertiban.
b.    Hukum pidana harus dapat menyesuaikan diri dengan kecenderungan-kecenderungan universal yang berkembang pada pergaaulan masyarakat beradab. Hal ini berarti hubungan pidana juga menyerap wawasan yang berkembang dan dimiliki masyarakat lain, sehingga mampu menyelesaikan konflik-konflik yang bersifat global.
c.    Hukum pidana harus mempunyai aspek-aspek yang bersifat preventif. Hal ini bertujuan untuk memperkecil terjadinya tindak pidana karena secara tidak langsung sudah menumbuhkan perasaan enggan (takut) untuk melanggar hukum pidana.
d.    Hukum pidana harus selalu tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan efektivitas fungsinya didalam masyarakat. Hal ini berkaitan dengan kemampuan hukum pidana untuk menangkal perkembangan atau bentuk-bentuk baru kejahatan karena semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi serta globalisasi.














Daftar pustaka

Ermasyant., Diktat hukum adat. Fakultas Hukum Universitas nasional Jakarta, 2010.

Hadikusuma, Hilman. Pengantar ilmu hukum adat indonesia. Mondar maju bandung, 2003.

Read More
Older Posts Home
Subscribe to: Posts (Atom)

Social Profiles

TwitterFacebookGoogle PlusLinkedInRSS FeedEmail
  • Popular
  • Tags
  • Blog Archives
  • PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP ORGANISASI
    BAB I PEMBAHASAN A.              Pengertian Organisasi Terdapat beberapa teori dan perspektif mengenai organisasi, ada yang cocok sa...
  • CONTOH SURAT PERJANJIAN JUAL - BELI
    Fakultas Hukum Universitas Nasional CONTOH SURAT PERJANJIAN JUAL  - BELI OLEH: LA ODE SUDARMIN SURAT PERJANJIAN JUAL  - ...
  • Sejarah Lahirnya Pancasila
    DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . 3 DAFTAR ISI 3 BAB I 4 PENDAHULUAN .. 4 A.     Latar Belakang . 4 B.     Rumusan Masalah . 5 ...
  • Permohonan Intervensi (Tussenkomts)
                                 Jakarta, 12 Desember ­­­­­­­­­­ 201 5 Kepada Yth.: Ketua Majelis Hakim Perkara No. 1009/Pdt.G/20...
  • Hukum Adat di Indonesia
    Fakultas Hukum Universitas Nasional HUKUM ADAT OLEH: LA ODE SUDARMIN Kata Pengantar Puji syukur penulis pan...
  • Pengertian Transportasi
    Fakultas Hukum Universitas Nasional HUKUM TRANSPORTASI OLEH: LA ODE SUDARMIN Pengertian Transportasi Menurut Para...
  • EKSEPSI dan JAWABAN serta GUGATAN REKONPENSI
                        Kepada Yth.: Majelis Hakim Perkara No. 18 /Pdt.G/201 5 /PN. SRG . Pada Pengadilan Negeri Serang Jl. KH....
  • Teknologi Informasi Pada Pelayanan Publik
    Disusun oleh:  Wa Yasri KATA PENGANTAR Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT. serta sholawat dan salam tercurahk...
  • Sistem Hukum Adat Indonesia
    KATA PENGANTAR Pujisyukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T, karena atas rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapa...
  • Ketentuan Peninjauan Kembali Berkali - Kali
    Bahwa berdasarkan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 34/PUU-XI/2013 tanggal 6 maret 2014 butir 1.2 yang menyatakan bahwa pasal 268 ...

Labels

  • Acara TUN
  • Contoh Karya Ilmiah
  • Contoh Surat Gugatan Perceraian
  • Dasar Hukum Transportasi Dalam KUHD
  • EKSEPSI dan JAWABAN serta GUGATAN REKONPENSI
  • Fungsi Badan Pengawas Obat Dan Makanan
  • Gadai dan Fidusia
  • gadai syariah
  • Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH)
  • GUGATAN WANPRESTASI
  • Hak Cipta
  • Hak Tanggungan
  • Hipotik
  • Hukum Adat di Indonesia
  • Hukum Adat Indonesian
  • Hukum Ketenagakerjaan
  • Hukum Transportasi
  • Hukum Waris
  • Ketenagakerjaan
  • Ketentuan Peninjauan Kembali Berkali - Kali
  • Kewarganegaraan
  • Laporan Studi Lapangan Transportasi Laut Dari Muara Angke Ke Pulau Pari
  • Macam-Macam Metode Penelitian
  • Mengidentifikasi Tanggung Jawab Hukum Trasportasi
  • Pembangunan Hukum Pelanggaran Adat
  • Pencabutan Kuasa
  • PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP ORGANISASI
  • Peninjauan Kembali
  • Penuntutan
  • Peranan Teknologi Informasi Pada Pelayanan Publik
  • Permohonan Intervensi (Tussenkomts)
  • Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
  • Sistem Hukum Adat Indonesia
  • Surat Hutang
  • Surat Kuasa Khusus
  • Surat Kuasa Subtitusi
  • Surat Kuasa Umum
  • Surat Lain-lain
  • Surat Mandat
  • Surat Perjanjian Jual Beli
  • Surat Permintaan Penundaan Panggilan
  • Surat Permohonan Pindah Kuliah

Blog Archive

  • ▼  2019 (1)
    • ▼  March (1)
      • Ketentuan Peninjauan Kembali Berkali - Kali
  • ►  2018 (2)
    • ►  October (2)
  • ►  2016 (19)
    • ►  June (2)
    • ►  April (2)
    • ►  March (3)
    • ►  February (4)
    • ►  January (8)
  • ►  2015 (26)
    • ►  December (20)
    • ►  November (6)

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

 
Copyright © Legal Studies | Powered by Blogger
Design by NewWpThemes | Blogger Theme by Best Blogger Themes | www.top10Wordpress.com