HAK TANGGUNGAN
OLEH:
LA ODE SUDARMIN
1.A. PENGERTIAN HAK TANGGUNGAN DARI
BEBERAPA REFRENSI MAUPUN MENURUT PENDAT PARA AHLI
1.[1]PENGERTIAN
HAK TANGGUNGAN
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sebagai induk peraturan
perundang-undang tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan tanah, tidak
mengatur secara tegas tentang Hak Tanggungan. Berdasarkan ketentuan Pasal 51
UUPA dinyatakan bahwa :
“Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada Hak Milik, Hak
Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan sebagaimana diatur dalam Pasal 25, 33 dan 39
diatur dengan undang-undang”.
Selanjutnya ketentuan Pasal 1 angka 1 UUHT pengertian Hak
Tanggungan adalah:
“Hak Tanggungan adalah hak atas tanah beserta benda-benda
yang berkaitan dengan tanah yang selanjunya disebut Hak Tanggungan, adalah hak
jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah yang sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan
tanah-tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan
diutamakan kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya”
Adalah suatu bentuk jaminan pelunasan hutang, dengan hak
mendahulu, dengan objek (Jaminannya) berupa hak-hak atas tanah yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun. 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria atau Undang-Undang Pokok Agraria.
3. [3] Hak Tanggungan adalah : Penguasaan atas tanah, berisi
kewenangan bagi kreditur untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan
agunan. Tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk
menjualnya jika debitur cedera janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya
atau sebagian sebagai pembayaran lunas hutang debitur kepadanya.
Hak Tanggungan adalah jaminan yang
adanya karena diperjanjikan terlebih dahulu antara Kreditor dengan Debitor,
jaminan yang adanya atau lahirnya karena perjanjian ini akan menimbulkan
jaminan khusus yang berupa jaminan kebendaan yaitu Hak Tanggungan/Hypotheek.Sebagaimana
disebutkan bahwa Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang,
keberadaan Hak Tanggungan memberikan suatu rasa aman kepada kreditur, karena
kreditur berada pada posisi yang diutamakan dari pada kreditur lainnya, dalam
arti apabila debitur-debitur tidak dapat melaksanakan kewajibannya
(wanprestasi) kreditur pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak untuk menjual
barang jaminan melalui suatu pelelangan umum terhadap tanah yang dijadikan
jaminan menurut ketentuan Peraturan Perundang - Undangan, kedudukan yang
diutamakan ini dikecualikan apabila dalam hal-hal adanya piutang Negara yang
harus diutamakan menurut ketentuan Peraturan Perundang - Undangan.
KESIMPULAN PENGERTIAN HAK TANGGUNGAN
Merurut analisis kami dari
pengertian hak tanggungan ditas maka dapat di simpulkan bahwa hak tanggungan
ialah suatu jaminan atas tanah sebagai syarat dalam fasilitas pembiayaan dengan
jaminan sertifikat tanah
Ciri Ciri
Hak Tanggungan
H. Salim, HS, S.H.,M.S.,
mengemukakan ciri daripada Hak Tanggungan , yaitu :
1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada
pemegangnya atau yang dikenal dengan droit de preference
2. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapapun
benda itu berada atau disebut dengan droit de suite. Keistimewaan ini
ditegaskan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 . Biarpun Objek Hak
Tanggungan sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain, kreditur pemegang hak
tanggungan tetap masih berhak untuk menjualnya melalui pelelangan umum jika
debitur cedera janji.
3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat
mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang
berkepentingan; dan
4. Mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya. Dalam
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 memberikan kemudahan dan kepastian kepada
kreditur dalam pelaksanaan eksekusi. Selain ciri-ciri diatas, keistimewaan
kreditur pemegang Hak Tanggungan juga dijamin melalui ketentuan Pasal 21
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996.
Dalam Penjelasan Umum Undang-undang
Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996 dikemukakan bahwa sebagai lembaga hak jaminan
atas tanah yang kuat, Hak Tanggungan harus mengandung ciri-ciri:
Droit de
preferent
Artinya memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya
(Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 ayat 1). Dalam hal ini pemegang Hak Tanggungan
sebagai kreditur memperoleh hak didahulukan dari kreditur lainnya untuk
memperoleh pembayaran piutangnya dari hasil penjualan (pencairan) objek jaminan
kredit yang diikat dengan Hak Tanggungan tersebut. Kedudukan kreditur yang
mempunyai hak didahulukan dari kreditur lain (kreditur preferen) akan sangat
menguntungkan kepada pihak yang bersangkutan dalam memperoleh pembayaran
kembali (pelunasan) pinjaman uang yang diberikannya kepada debitur yang ingkar
janji (wanprestasi).
Droit de
suite
Artinya selalu mengikuti jaminan
hutang dalam tangan siapapun objek tersebut berada (Pasal 7). Dalam Pasal 7
UUHT disebutkan bahwa Hak tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan
siapapun objek itu berada. Sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi
kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Meskipun objek dari Hak Tanggungan sudah
berpindah tangan dan menjadi milik pihak lain, kreditur masih tetap dapat
menggunakan haknya melalui eksekusi, jika debitur cidera janji.
Memenuhi
asas spesialitas dan publisitas
Sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada
pihak-pihak yang berkepentingan. Berdasarkan hal tersebut maka sahnya
pembebanan Hak Tanggungan disyaratkan wajib disebutkan dengan jelas piutang
mana dan berapa jumlahnya yang dijamin serta benda-benda mana yang dijadikan
jaminan (syarat spesialitas), dan wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan
sehingga terbuka untuk umum (syarat publisitas).
Mudah dan
pasti pelaksanaan eksekusinya
Salah satu ciri Hak Tanggungan yang
kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya jika debitur cidera
janji. Meskipun secara umum ketentuan mengenai eksekusi telah diatur dalam
hukum acara perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara
khusus mengenai eksekusi Hak Tanggungan dalam Undang-undang ini, yaitu yang
mengatur mengenai lembaga parate executie sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224
HIR dan Pasal 258 Reglemen Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura. M.
Bahsan , Op.Cit, hal.23-25
Hak Tanggungan memiliki sifat tidak
dapat dibagi-bagi kecuali jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan (APHT), seperti ditetapkan dalam Pasal 2 UUHT. Dengan sifatnya yang
tidak dapat dibagi-bagi, maka Hak Tanggungan akan membebani secara utuh objek
Hak tanggungan. Hal ini mengandung arti bahwa apabila hutang (kredit) yang
dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan baru dilunasi sebagian, maka Hak
Tanggungan tetap membebani seluruh objek Hak Tanggungan. Subekti, Op.Cit, hal.
41
Klausula “kecuali jika diperjanjikan
dalam APHT” dalam Pasal 2 UUHT, dicantumkan dengan maksud untuk menampung
kebutuhan perkembangan dunia perbankan, khususnya kegiatan perkreditan. Dengan
menggunakan klausula tersebut, sifat tidak dapat dibagi-bagi dari Hak
Tanggungan dapat disimpangi, yaitu dengan memperjanjikan bahwa apabila Hak
Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, maka pelunasan kredit yang
dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran. Besarnya angsuran sama dengan
nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari objek Hak
Tanggungan, yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut. Dengan demikian
setelah suatu angsuran dibayarkan, Hak Tanggungan hanya akan membebani sisa
objek Hak tanggungan untuk menjamin sisa kredit yang belum dilunasi (Penjelasan
Pasal 2 ayat (1) jo ayat (2) UUHT).
Sifat lain dari Hak Tanggungan
adalah Hak tanggungan merupakan accecoir dari perjanjian pokok, artinya bahwa
perjanjian Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri,
tetapi keberadaannya adalah karena adanya perjanjian lain yang disebut dengan
perjanjian pokok. Perjanjian pokok bagi perjanjian Hak Tanggungan adalah
perjanjian hutang piutang yang menimbulkan hutang yang dijamin itu.
Sutan Remi Syahdeini, 1996, Hak
Tanggungan: Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah-masalah yang
dihadapi Oleh Pihak Perbankan, suatu Kajian Mengenai UUHT, Airlangga University
Press, Surabaya, hal. 20
Hal ini sesuai dengan ketentuan yang
tertuang dalam butir 8 Penjelasan Umum UUHT yang memberikan penjelasan bahwa
karena Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikatan atau accecoir pada
suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian hutang piutang
atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaanya ditentukan oleh adanya
piutang yang dijamin pelunasannya
Hak tanggungan sebagai hak jaminan
diatur dalam undang-undang nomor 4 tahun 1996 mempunyai sifat-sifat sebagai berikut
:
1. Hak tanggungan memberikan hak
preferent (droit de preference) atau kedudukan yang diutamakan kepada kreditur
tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya (pasal 1 ayat 1)
Artinya apabila debitur cidera janji
atau lalai membayar hutangnya maka seorang kreditur pemegang hak tanggungan
mempunyai hak untuk menjual jaminan dan kreditur pemegang jaminan diutamakan
untuk mendapatkan pelunasan hutang dari hasil penjualan jaminan tersebut.
2. Hak
tanggungan tidak dapat dibagi-bagi (pasal 2)
Artinya hak tanggungan membebani
secara utuh objek hak tanggungan dan setiap bagian daripadanya. Pelunasan
sebagian hutang dari hutang yang dijamin tidak terbebasnya sebagian objek hak
tanggungan untuk sisa utang yang belum dilunasi
3. Hak
tanggungan mempunyai sifar Droit De Suite (pasal 7)
Sifat droit de suite disebut juga
zaaksgevolgs artinya pemegang hak tanggungan mempunyai hak memiliki objek
tanggungan meskipun objek hak tanggungan telah berpindah dan menjadi pihak
lain.
4. Hak
Tanggungan mempunyai sifat Accesoir
Artinya seperti perjanjian jaminan
lainnya Hak tanggungan bersifat accesoir artinya hak tanggungan bukanlah hak
yang berdiri sendiri tapi lahirnya atau keberdaannya atau eksistensinya atau
hapusnya tergantung perjanjian pokonya yaitu perjanjian kredit atau perjanjian
lainnya
5. Hak tanggungan untuk menjamin
utang yang telah ada atau aka nada
Fungsi hak tanggungan adalah untuk
menjamin utang yang besaranya diperjanjikan dalam perjanjian kredit atau
perjanjian utang. Utang yang dijamin hak tanggungan harus memenuhi syarat pasal
3 Undang-undang Hak tanggungan.
6. Hak
Tanggungan hanya dapat dibebankan kepada hak atas tanah saja
Pada dasarnya hak tanggungan hanya
dibebankan pada hak atas tanah saja. Hak atas tanah yang dapat dijadikan
jaminan sesuai dengan undang-undang pokok agraria yaitu hak milik, hak guna
bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai atas tanah Negara yang menurut sifatnya
dapat dipindahtangankan (pasal 4 ayat 1UUHT).
Asas ini perwujudan dari system
hokum tanah nasional yang didasarkan pada hokum adat yang menggunakan asas
pemisahan horizontal
7. Hak
Tanggungan dapat dibebankan pada hak atas tanah berikut benda diatasnya dan
dibawah tanah
Meskipun hokum tanah nasional
menganut asas pemisahan horizontal namun tidak berlaku mutlak, untuk memenuhi
perkembangan dan kebutuhan masyarakat pembebanan hak tanggungan dimungkinkan
meliputi benda yang ada di atas tanah dan merupakan satu kesatuan dengan tanah
tersebut dan bangunan dibawah permukaan tanah.
8. Hak
tanggungan berisi hak untuk melunasi hutang dari hasil penjualan benda jaminan
dan tidak memberikan hak bagi kreditur untuk memiliki benda jaminan
Sifat ini sama dengan ketentuan
dalam hipotik pasal 1178 ayat 1 KUHPerdata, janji disebut vervalbending.
Undang-undang Hak tanggungan mengikuti sifat dari hipotik ini dan mencantumkan
dalam pasal 12 UUHT.
9. Hak
tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial
Kreditur sebagai pemegang hak
tanggungan pertama mempunyai hak untuk mengeksekusi benda jaminan jika debitur
cidera janji. Dasar hokum untuk mengajukan eksekusi adalah pasal 6 UUHT dan
penjelasan yang menegaskan “apabila debitur cidera janji, pemegang hak
tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas
kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya
dari hasil penjualan tersebut” hak untuk menjual dengan kekuasaan
sendiri ini merupakan perwujudan dari kedudukan yang diutamakan.
10. Hak tanggungan mempunyai
sifat spesialitas dan publisitas
Sifat spesialtas ini disebut juga
pertelaan adalah uraian jelas dan terinci mengenai objek hak tanggungan yang
meliputi rincian mengenai sertifikat hak atas tanah misalnya hak atas tanah
milik atau guna bangunann atau hak guna usaha, tanggal penerbitannya tentang
luasnya, letaknya, batas-batasnya, dan lain sebagainya.
11. Objek hak tanggungan
berupa hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang nomor 5
tahun 1960 tentang pokok-pokok agraria yang meliputi hak milik, hak guna
bangunan dan hak guna usaha
HAK
TANGGUNGAN MEMBERIKAN KEDUDUKAN HAK YANG DIUTAMAKAN
Asas ini menyebutkan bahwa pemegang hak tanggungan diberikan
kedudukan yang diutamakan terhadap kreditur lainnya. Yang dimaksudkan
dengan memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap
kreditor lain, adalah : “Bahwa jika debitor cidera janji, maka kreditor
pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang
dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain”. Jadi
hak mendahulukan dimaksudkan adalah bahwa kreditor pemegang Hak Tanggungan
didahulukan dalam mengambil pelunasan atas hasil penjualan eksekusi obyek Hak
Tanggungan. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi
preferensi piutang-piutang Negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang
berlaku .
Kedudukan preferen berkaitan dengan hasil eksekusi, hal ini
nampak jelas bila dihubungkan dengan Pasal 1132 BW yang pada asasnya para
kreditor berbagi pond’s-pond’s atas hasil eksekusi harta benda milik debitor.
Dengan adanya pembebanan Hak Tanggungan tersebut maka kreditor menjadi
preferen atas hasil penjualan benda tertentu milik debitor, dan ia berhak
mengambil lebih dahulu uang hasil eksekusi Hak Tanggungan. Meskipun pada
Penjelasan Umum UUHT tersebut tidak disebutkan apakah piutang-piutang Negara
yang berkaitan dengan obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan saja, ataukah
mengenai semua piutang-piutang Negara yang menjadi kewajiban debitor yang
bersangkutan.
HAK
TANGGUNGAN TIDAK DAPAT DIBAGI-BAGI
Hak Tanggungan memiliki sifat yang tidak dapat dipungkiri
yakni Pertama Tidak dapat dibagi-bagi (ondeelbaar), berarti Hak Tanggungan
membebani secara utuh obyeknya dan setiap bagian daripadanya. Pelunasan sebagian
utang yang dijamin tidak membebaskan sebagian obyek dari beban Hak Tanggungan,
tetapi Hak Tanggungan tetap membebani seluruh obyeknya untuk sisa utang yang
belum dilunasi.
Hak Tanggungan memiliki sifat yang
tidak dapat dibagi-bagi, hal ini sesuaiketentuan dalam Pasal 2 UU Nomor 4 Tahun
1996, dinyatakan bahwa:
Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak
dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian
Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) Apabila hak tanggungan
dibebankan pada beberapa hak atas tanah, dapat diperjanjikan dalam Akta
Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan, bahwa pelunasan utang yang
dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai
masing-masing hak atas tanahyang merupakan bagian dari objek Hak Tanggungan,
yang akan dibebankan dari Hak Tanggungan tersebut, sehingga kemudian
Hak Tanggungan itu hanya membebani sisa objek Hak Tanggungan
untuk menjamin sisa utang yang belum dilunasi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU Nomor 4 Tahun 1996 di atas,
dalam penjelasannya dinyatakan bahwa:
Yang dimaksud dengan sifat tidak dapat dibagi-bagi dari
Hak Tanggungan adalah bahwa Hak Tanggungan membebani secarautuh objek Hak
Tanggungan dan setiap bagian daripadanya, dilunasinya sebagian dari utang yang
dijamin tidak berarti terbebasnya sebagian objek Hak Tanggungan dari
beban Hak Tanggungan untuk sisa utang yang belum dilunasi.
Ketentuan ini merupakan
pengecualian dari asas yang ditetapkan
pada ayat (1) untuk menampung
kebutuhan perkembangan dunia perkreditan,antara lain untuk mengakomodasi
keperluan pendanaan pembangunan kompleks perumahan yang semula
menggunakankredit untuk pembangunan seluruh kompleks kemudian akan
dijual kepada pemakai satu per satu, sedangkan untuk
pembayarannya pemakai akhir ini juga menggunakan kredit dengan jaminan
rumahyang bersangkutan.
Sesuai ketentuan ayat ini apabila
Hak Tanggungan itu dibebankan pada beberapa hak atas tanah
yang terdiri dari beberapa bagian yang masing-masing merupakan
suatu kesatuan yang berdiri sendiri dan dapat dinilai secara tersendiri,
asas tidak dapat dibagi-bagi ini dapat disimpangi asal hal itu
diperjanjikansecara tegas dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang
bersangkutan.
HAK
TANGGUNGAN HANYA DIBEBANKAN PADA HAK ATAS TANAH YANG TELAH ADA
Secara yuridis formal asas yang menyatakan bahwa Hak
Tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada diatur
dalam : Pasal 8 ayat (2) dinyatakan bahwa kewenangan untuk melakukan perbuatan
hukumterhadap objek Hak Tanggungan harus ada pada pemberi Hak Tanggunganpada
saat pendaftaran Hak Tanggungan. Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak
atas tanah yang telah dimiliki oleh pemegang Hak Tanggungan. Oleh karena
itu, hak atas tanah yang baru akan dipunyai oleh seseorang di kemudian
hari tidak dapat dijaminkan dengan Hak Tanggungan bagi pelunasansuatu
utang. Begitu juga tidaklah mungkin untuk membebankan Hak Tanggungan pada
suatu hak atas tanah yang baru akan ada di kemudian hari. Asas,ini
juga merupakan asas yang sebelumnya sudah dikenal di dalamhipotek. Menurut
Pasal 1175 KUH Perdata, hipotek hanya dapat dibebankan atas benda-benda
yang sudah ada. Hipotek atas benda-benda baru akan ada di kemudian hari adalah
batal .
HAK
TANGGUNGAN DAPAT DIBEBANKAN SELAIN ATAS TANAHNYA JUGABENDA-BENDA YANG
BERKAITAN DENGAN TANAH TERSEBUT
Dalam kenyataannya Hak Tanggungan dapat dibebankan bukan
saja padatanahnya, tetapi juga segala benda yang mempunyai keterkaitan dengan
tanah tersebut. Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 4 ayat (4) UU Nomor 4
Tahun 1996, dinyatakan:
Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah
berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada
yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan
milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di
dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat
(4) di atas, dapat disimpulkan bahwayang dapat dijadikan jaminan selain benda-benda
yang berkaitan dengan tanah, juga benda-benda yang bukan dimiliki oleh pemegang
hak atas tanah tersebut
HAK
TANGGUNGAN DAPAT DIBEBANKAN JUGA ATAS BENDA-BENDA YANGBERKAITAN DENGAN TANAH
YANG BARU AKAN ADA DI KEMUDIAN HARI
Meskipun Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah
yang telah ada, sepanjang Hak Tanggungan itu dibebankan pula atas benda-benda
yang berkaitan dengan tanah, ternyata pada Pasal 4 ayat (4) memungkinkan Hak
Tanggungan dapat dibebankan pula atas benda-benda yang berkaitandengan tanah
tersebut, sekalipun benda-benda tersebut belum ada, tetapi baru akan ada di
kemudian hari.
lebih jauh St. Remy Sjandeini
mengatakan bahwa dalam pengertian “yangbaru akan ada” ialah benda-benda yang
pada saat Hak Tanggungan dibebankan belum ada sebagai bagian dari tanah (hak
atas tanah) yangdibebani Hak Tanggungan tersebut. Misalnya karena benda-benda
tersebut baru ditanam (untuk tanaman) atau baru dibangun (untuk bangunan dan
hasil karya) kemudian setelah Hak Tanggungan itu dibebankan atas tanah(hak atas
tanah) tersebut. Sejalan dengan asas yang berlaku di dalam Hak Tanggungan di
atas, dalamkenyataannya hal tersebut sama dengan ketentuan dalam Pasal 1165 KUH
IPerdata bahwa setiap hipotek meliputi juga segala apa yang menjadi satudengan
benda itu karena pertumbuhan atau pembangunan. Dengan katalain, tanpa harus
diperjanjikan terlebih dahulu, segala benda yang berkaitandengan tanah yang
baru akan ada di kemudian hari demi hukum terbebanipula dengan hipotek
PERJANJIAN
HAK TANGGUNGAN ADALAH PERJANJIAN ACCESOIR
Hak Tanggungan hanya merupakan ikatan (“accessoir”) dari
perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang
piutang. Keberadaan, berakhir dan hapusnya Hak Tanggungan dengan sendirinya
tergantung pada utang yang dijamin pelunasannya tersebut.
Perjanjian Hak Tanggungan bukanlah
merupakan perjanjian yang berdiri sendiri, akan tetapi mengikuti perjanjian
yang terjadi sebelumnya yangdisebut perjanjian induk. Perjanjian induk yang
terdapat pada Hak Tanggungan adalah perjanjian utang-piutang yang menimbulkan
utang yang dijamin. Perjanjian yang mengikuti perjanjian induk ini dalam
terminologi hukum. Belanda disebut perjanjian accessoir Penegasan terhadap
asas accesoir ini, dijelaskan dalam poin 8 penjelasanUU Nomor 4 Tahun 1996 yang
menyatakan bahwa:
Oleh karena Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan
ikutanatau accessoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan padasuatu
perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain, maka kelahirandan keberadaannya
ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya.
Selain penegasan yang termuat dalam
penjelasan umum poin 8 di atas,secara tegas diatur dalam Pasal 10 ayat (1) dan
Pasal 18 ayat (1) UUNomor 4 ‘Tahun 1996. Dalam Pasal 10 ayat (1) dinyatakan
bahwa perjanjianuntuk memberikan Hak Tanggungan merupakan bagian tak
terpisahkan dari perjanjian Utang-piutang yang bersangkutan, sedangkan Pasal 18
ayat (1) huruf a menyatakan bahwa Hak Tanggungan hapus karena hapusnya utang
yang dijamin dengan Hak Tanggungan.
HAK
TANGGUNGAN DAPAT DIJADIKAN JAMINAN UNTUK UTANG YANG AKAN ADA
Salah satu keistimewaan dari Hak Tanggungan adalah
diperbolehkannya menjaminkan utang yang akan ada. Hal ini sesuai ketentuan
dalam
Pasal 3ayat (1) UUHT yang menyatakan
bahwa: Utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dapat berupautang
yang telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu atau jumlah
yang pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan dapat ditentukan
berdasarkan perjanjian utang-piutang atauperjanjian lain yang menimbulkan hubungan
utang-piutang yang bersangkutan. Berkaitan dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1)
UUHT di atas, St. RemySjahdeini mengatakan bahwa Seperti yang dikemukakan dalam
penjelasan Pasal 3 ayat (1) UUHT, dapat dijadikannya Hak Tanggungan untuk
menjamin utang yang baru akan ada dikemudian hari adalah untuk menampung
kebutuhan dunia perbankan berkenaan dengan timbulnya utang dari nasabah bank
sebagai akibat dilakukannya pencairan atas suatu garansi bank. Juga untuk
menampung timbulnya utang sebagai akibat pembebanan bunga atas pinjaman
pokokdan pembebanan ongkos-ongkos lain yang jumlahnya baru dapat
ditentukankemudian.Sehubungan dengan terjadinya Hak Tanggungan terhadap utang
yang baruada, St. Remy Sjahdeini memberikan contoh, yaitu utang yang
timbulsebagai akibat nonpayment L/C ekspor oleh opening bank di luar
negeri atas penyerahan dokumen-dokumen ekspor yang mengandung
discrepancies (dokumen-dokumen yang diserahkan tidak sesuai dengansyarat-syarat
yang ditentukan dalam L/C), sedangkan sementara itu negotiating/paying bank (I
i dalam negeri telah mengambil alih dokumen-dokumen tersebut dan telah
membayarkan utangnya kepada eksportir. Apabila karena nonpayment tersebut
eksportir tidak mampu dengan seketika membayar kembali dana yang telah
dibayarkan oleh negotiating/paying bank kepadanya itu dan terpaksa diutang,
utang yang timbul adalah utang yang muncul kemudian setelah Hak Tanggungan
dibebankan.Selain persyaratan yang telah dikemukakan di atas, masih terdapat
persyaratan yang lain, yaitu utang yang baru akan ada di kemudian hariharus
telah diperjanjikan terlebih dahulu. St. Remy Sjahdeini menyatakan Mengingat
ketentuan Pasal 3 ayat (1) di atas, adalah mutlak bahwa bankclan nasabah harus
terlebih dahulu telah diperjanjikan di muka atas utangyang baru akan ada di
kemudian hari yang timbul sebagai akibat pencairan bank garansi yang merupakan
fasilitas dari bank yang telah diterima olehnasabah atau yang timbul
sebagai akibat terjadinya payment atas L/Ceskspor yang diterima nasabah dari
luar negeri melalui bank yangbersangkutan. Dengan kata lain, selain dari adanya
garansi bank (Jaminanbank), dan Letter of Credit yang diteruskan oleh bank
kepada eksportir,mutlak harus ada pula perjanjian kredit antara bank dan
nasabah untuk menampung timbulnya utang nasabah debitor apabila garansi bank
dicairkan atau apabila terjadinya payment terhadap L/C tersebut. Dengan
demikian, perjanjian kredit tersebut merupakan stand-by-loan agreement.
Sementara itu, sikap hipotek sama dengan sikap yang terdapat dalam UUHT
mengenai dapatnya Hak Tanggungan dibebani terhadap utang yang akanadadi
kemudian hari. Hal ini diatur dalam Pasal 1176 KUH Perdata dinyatakanbahwa:
Suatu hipotek hanyalah sah, sekadar jumlah utang untuk mana istilah diberikan,
adalah tentu dan ditetapkan dalam kata. Jika utang bersyarat ataupun jumlahnya
tidak tertentu maka pemberian hipotek senantiasa adalah sah sampai jumlah
harga-taksiran, yang para pihak diwajibkan menerangkannya di dalam aktanya.
Beranjak dari ketentuan Pasal 1176 KUH Perdata di atas, maka penegasan dapat
dilihat dalam Putusan H.R. 30 Januari 1953 N.J. 1953, 578 yangmembenarkan bahwa
hipotek boleh diberikan untuk menjamin utang yangpada saat hipotek itu
dipasang, belum seluruhnya diserahkan oleh kreditor kepada debitor atau
digunakan oleh kreditor kepada debitor atau digunakan debitor.
HAK
TANGGUNGAN DAPAT MENJAMIN LEBIH DARI SATU UTANG
Kelebihan dari Hak Tanggungan adalah berlakunya asas bahwa
HakTanggungan dapat menjamin lebih dari satu utang. Hal ini sesuai
ketentuandalam Pasal 3 ayat (2) dinyatakan bahwa:Hak Tanggungan dapat diberikan
untuk suatu utang yang berasal dari satu hubungan hukum atau untuk satu utang
atau lebih yang berasal dari beberapa hubunganhukum.Dalam kaitannya
dengan ketentuan Pasal 3 ayat (2) di atas, maka dalampenjelasan Pasal 3 ayat
(2) dinyatakan bahwa: Sering kali terjadi debitor berutang kepada lebih dari
satu kreditor masing-masing didasarkan pada perjanjian utang-piutang yang
berlainan, misalnya kreditor adalah suatu bank dan suatu badan afiliasi bank
yang bersangkutan. Piutang pada kreditor tersebut dijamin dengan suatu Hak
Tanggungan kepada semua kreditor dengan satu akta pemberian Hak Tanggungan. Hak
Tanggungan tersebut dibebankan atas tanah yang sama.Bagaimana hubungan para
kreditor satu dengan yang lain, diatur olehmereka sendiri, sedangkan dalam
hubungannya dengan debitor danpemberi Hak Tanggungan kalau bukan debitor
sendiri yang memberinya,mereka menunjuk salah seorang kreditor yang akan
bertindak atas Hama mereka. Misalnya mengenai siapa yang akan menghadap PPAT
dalam pemberian Hak Tanggungan yang diperjanjikan dan siapa yang akan menerima
dan menyimpan sertifikat Hak Tanggungan yang bersangkutan. Dengan berlakunya
asas ini, St. Remy Sjahdeini memberikan tanggapan dengan menyatakan bahwa:
Perjanjian dengan hanya berupa satu Hak Tanggungan bagi
beberapa kreditor berdasarkan beberapa perjanjian kredit bilateral antara
debitor yangsama dengan masing-masing kreditor itu, hanyalah mungkin dilakukan
apabila sebelumnya (sebelum kredit diberikan oleh kreditor-kreditor itu) telah
disepakati oleh semua kreditor. Kesemua kreditor bersama-sama harus bersepakat
bahwa terhadap kredit yang akan diberikan oleh masing-masing kreditor (bank)
kepada satu debitor yang sama itu, jaminannya adalah berupa satu Hak Tanggungan
saja bagi meraka bersama-sama kredit dari kesemua kreditor diberikan
secara serentak. Bila tidak demikian halnya,para kreditor itu akan menjadi
pemegang Hak Tanggungan pertama, kedua,ketiga, dan seterusnya. Masing-masing
kreditor past akan soling mendahulu untuk memperoleh hak yang diutamakan
terhadap kreditor yang lain.
HAK
TANGGUNGAN MENGIKUTI OBJEKNYA DALAM TONGAN SIAPA PUNOBJEK HAK TANGGUNGAN ITU
BERADA
Asas Hak Tanggungan memiliki berbagai kelebihan karena
undang-undang memberikan prioritas terhadap pemegang Hak Tanggungan
dibandingkandengan pemegang hak-hak lainnya. Salah satu asas selain asas yang
telah diuraikan di atas, adalah asas Hak Tanggungan mengikuti objek di manapun
objek itu berada Hal ini sesuai ketentuan Pasal 7 UU Nomor 4 Tahun 1996
dinyatakan bahwa Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapa pun
objek tersebut berada. Menurut St. Remy Sjahdeini, hak tanggungan tidak akan berakhir
sekalipunobjek Hak Tanggungan itu beralih kepada pihak lain oleh sebab apa
pun juga. Berdasarkan asas ini, pemegang Hak Tanggungan akan selalu dapat
melaksanakan haknya dalam tangan siapa pun benda itu berpindah.Ketentuan Pasal
7 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) inimerupakan materialisasi dari asas yang
disebut
droit de suite atau zaakgevolg
Asas ini juga diambil dari hipotek
yang diatur dalam KUHPerdata Pasal 1163 ayat (2) dan Pasal 1198 KUH
Perdata.”Sejalan dengan pendapat St. Remy Sjahdeini di atas, maka menurut
MariamDaruz Badrulzaman bahwa :
Asas ini seperti halnya dalam
Hipotek, memberikan hak kebendaan(zakelijkrecht). Hak Kebendaan dibedakan
dengan hak perorangan (persoonlijkrecht). Hak kebendaan adalah hak mutlak.
Artinya, hak ini dapat dipertahankan terhadap siapa pun. Pemegang hak tersebut
berhak untuk menuntut siapa pun juga yang mengganggu haknya itu. Dilihat secara
pasif setiap orang wajib menghormati hak itu. Sedangkan hak perorangan
adalah relatif. Artinya, hak ini hanya dapat dipertahankan terhadap debitor
tertentusaja. Hak tersebut hanya dapat dipertahankan terhadap debitor itu saja.
Secara pasif dapat dikatakan bahwa seseorang tertentu wajib melakukan prestasi
terhadap pemilik dari hak itu.
DI ATAS
HAK TANGGUNGAN TIDAK DAPAT DILETAKKAN SITA OLEH PERADILAN
Alasan kehadiran asas Hak Tanggungan tidak dapat diletakkan
sita oleh peradilan merupakan respons terhadap seringnya peradilan meletakkan
sita terhadap hak atas tanah yang di atasnya diletakkan hipotek. St.
RemySjahdeini mengatakan bahwa: Memang seharusnya menurut hukum terhadap Hak
Tanggungan tidak dapat diletakkan sita. Alasannya adalah karena tujuan dari
(diperkenankannya) hak jaminan pada umumnya dan khususnya Hak Tanggungan itu
sendiri.Tujuan dari Hak Tanggungan adalah untuk memberikan jaminan yang
kuatbagi kreditor yang menjadi pemegang Hak Tanggungan itu untukdidahulukan dari
kreditor-kreditor lain. Bila terhadap Hak Tanggungan itu dimungkinkan sita oleh
pengadilan, berarti pengadilan mengabaikan bahkan meniadakan kedudukan yang
diutamakan dan kreditor pemegang Hak Tanggungan. Berdasarkan pendapat yang
dikemukakan oleh St. Remy Sjahdeini di atas,maka dalam perkembangannya sebelum
diundangkannya UU Nomor 4 Tahun 1996 telah direspons oleh Mahkamah Agung dengan
putusannyaNomor 394k/Pdt/ 1984 tanggal 31 Mei 1985 dengan amar putusannya
berbunyi bahwa barangbarang yang sudah dijadikan jaminan utang (dalam perkara
tersebut adalah jaminan utang kepada Bank Rakyat Indonesia Cabang Gresik)
tidakdapat diletakkan sita jaminan.
HAK
TANGGUNGAN HANYA DAPAT DIBEBANKAN ATAS TANAH TERTENTU
Asas yang berlaku terhadap Hak Tanggungan yang hanya dapat
dibebankan hanya atas tanah tertentu, diilhami oleh asas yang juga berlaku di
dalam hipotek, yaitu yang diatur Pasal 1174 KUH Perdata. Sementara ituasas ini
diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 11 huruf c UU Nomor 4 Tahun 1996. Dalam Pasal 8
UU Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan bahwa: Pemberi Hak Tanggungan adalah
orang-perseorangan atau badan hukumyang mempunyai kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan
untuk meletakkan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan, harus ada
padapemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan.
Berkaitan dengan ketentuan Pasal 8 di atas, maka dalam penjelasan Pasal8 ayat
(2) dinyatakan bahwa: Karena lahirnya Hak Tanggungan adalah pada saat didaftarnya
Hak Tanggungan tersebut, maka kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum
terhadap objek Hak Tanggungan diharuskan ada pada pemberi Hak Tanggungan pada
saat pembuatan buku-tanah Hak Tanggungan. Untuk ituharus dibuktikan keabsahan
kewenangan tersebut pada saat didaftarnya Hak Tanggungan yang bersangkutan.
(Ibid., hlm. 42)Berkaitan dengan ketentuan Pasal 8 UU Nomor 4 Tahun 1996 di
atas, selanjutnya ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf e menyatakan bahwa
uraianyang jelas mengenai objek Hak Tanggungan. Menurut St. Remy Sjahdeini
bahwa: Di dalam akta pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan uraian
jelasmengenai objek Hak Tanggungan, tidaklah mungkin untuk memberikan uraian
yang jelas sebagaimana yang dimaksud itu apabila objek Hak Tanggungan belum ada
dan belum diketahui ciri-cirinya.Kata-kata “uraian
yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan ” dalamPasal 11 ayat (1) huruf e
menunjukkan bahwa objek Hak Tanggungan harussecara spesifik dapat ditunjukkan
dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.”Beranjak dari uraian
yang dikemukakan oleh St. Remy Sjandeini mengenai asas tersebut, lebih lanjut
beliau mengatakan bahwa: Walaupun demikian, sepanjang dibebankan atas
“benda-benda yangberkaitan dengan tanah tersebut”, Hak Tanggungan dapat
dibebankan atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut, yang baru
akan ada,sepanjang hal itu telah diperjanjikan secara tegas. Karena belum dapat
diketahui apa wujud dari benda-benda yang berkaitan-dengan tanah itu, juga
karena baru akan ada di kemudian hari, hal itu berarti asas spesialitas tidak
berlaku sepanjang mengenai “benda-benda yang berkaitan dengan tanah “
HAK
TANGGUNGAN WAJIB DIDAFTARKAN
Dalam kaitannya dengan asas Hak Tanggungan wajib didaftar,
hal ini sesuai ketentuan Pasal 13 UU Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan: Bahwa
pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan.
Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian
Hak Tanggungan, PPAT wajibmengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang
bersangkutan danwarkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan.
Pendaftaran HakTanggungan dilakukan oleh kantor Pertanahan dengan membuatkan
buku-tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku-tanah hak atas tanah yang
menjadi objek Hak Tanggungan Berta menyalin catatan tersebut padasertifikat hak
atas tanah yang bersangkutan. Sejalan dengan ketentuan Pasal 13 di atas, St.
Remy Sjahdeini menyatakan bahwa: Adalah tidak adil bagi pihak ketiga untuk
terikat dengan pembebanan suatu Hak Tanggungan atas suatu objek Hak Tanggungan bila
pihak ketiga tidak dimungkinkan untuk mengetahui tentang pembebanan Hak
Tanggungan itu. Hanya dengan cara pencatatan pendaftaran yang terbuka bagi umum
yang memungkinkan pihak ketiga dapat mengetahui tentang adanya pembebanan Hak
Tanggungan atas suatu hak atas tanah. Lebih jauh St. Remy Sjahdeini mengatakan
bahwa asas publisitas ini juga merupakan pasal hipotek sebagaimana ternyata
dalam Pasal 1179 KUHPerdata yang dinyatakan bahwa pembukuan Hipotek harus
dilakukan dalam register-register umum yang memang khusus disediakan untuk itu.
Jika pembukuan demikian tidak dilakukan, Hipotek yang bersangkutan
tidakmempunyai kekuatan apa pun, juga tidak mempunyai kekuatan terhadap
kreditor-kreditor preferen (yang tidak dijaminkan dengan Hipotek).
HAK
TANGGUNGAN DAPAT DIBERIKAN DENGAN DISERTAI JANJI-JANJI TERTENTU
Asas Hak Tanggungan dapat diberikan dengan disertai
janji-janji tertentu diatur dalam Pasal 11 ayat (2) yang dinyatakan sebagai
berikut: Dalam Akta pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji antara
lain:
a. janji yang membatasi pemberian Hak Tanggungan untuk
menyewakan objek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu
sews dan/atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan persetujuan tertulis
lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan
b. janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan
untukmengubah bentuk atau tats susunan objek Hak Tanggungan, kecualidengan
persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang HakTanggungan
c. janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang
HakTanggungan untuk mengelola objek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua
Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputiletak objek Hak Tanggungan
apabila debitor sungguh-sungguh cedera janji
d. janji yang memberi kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan
untuk menyelamatkan objek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukanuntuk
pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya stall dibatalkannya
hak yang menjadi objek Hak Tanggungan karenatidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan
undang-undang
e. janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak
untukmenjual atas kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan apabila
debitor cedera janji
f. janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama
bahwa,objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan
g. janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan
haknyaatau objek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu
daripemegang Hak Tanggungan
h. janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh
atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk
pelunasan piutangnya apabila objek Hak Tanggungan dilepaskanhaknya oleh pemberi
Hak Tanggungan atau dicabut haknya untukkepentingan umum
i. janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh
atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan
untuk pelunasan piutangnya, jika objek Hak Tanggungan diasuransikan;
j. janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan objek
Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan. Berangkat dari
ketentuan Pasal 1 ayat (2) di atas, maka menurut St. RemySjahdeini,
janji-janji yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT itu bersifat
fakultatif dan limitatif. Bersifat fakultatif karena janji-janji itu boleh
dicantumkan atau tidak dicantumkan, balk seluruhnya maupun sebagiannya,
Bersifat tidak limitatif karena dapat pula diperjanjikan janji-janji lain,
selain dari janji-janji yang telah disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2).
HAK TANGGUNGAN
TIDAK BOLEH DIPERJANJIKAN UNTUK DIMILIKI SENDIRI OLEH PEMEGANG HAK TANGGUNGAN
APABILA CEDERA JANJI
Asas Hak Tanggungan yang mencanturnkan tidak boleh
diperjanjikan untuk dimiliki sendiri oleh pemegang Hak Tanggungan bila cedera
janji, sebenarnya beralasan dari asas yang tercantum dalam Hipotek sesuai
ketentuan Pasal 1178 KUH Perdata, yang janji demikian tersebut disebut
Vervalbeding Pengaturan asas Hak Tanggungan yang tidak bolehdiperjanjikan untuk
dimilik sendiri oleh pemegang Hak Tanggungan bila cedera janji diatur Pasal 12
U I I Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan bahwa, janji yang memberikan
kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek Hak Tanggungan
apabila debitor cedera janji, batal demi hukum. Dalam penjelasan Pasal 12 Undang-Undang
Hak Tanggungan (UUHT)dinyatakan bahwa, ketentuan ini diadakan dalam rangka
melindungi kepentingan debitor dan pemberi Hak Tanggungan lainnya, terutama
jika nilai objek Hak Tanggungan melebihi besarnya utang yang dijamin.Pemegang
Hak Tanggungan dilarang untuk secara serta merta menjadi pemilik objek Hak
Tanggungan karena debitor cedera janji. Walaupun demikian tidaklah dilarang
bagi pemegang Hak Tanggungan untuk menjadi pembeli objek Hak Tanggungan asalkan
melalui prosedur yang diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Hak Tanggungan
(UUHT).Sejalan dengan penjelasan Pasal 12 UUHT di atas, St. Remy
Sjahdeini”mengatakan: Larangan pencantuman janji yang demikian, dimaksudkan
untuk melindungi debitor, agar dalam kedudukan yang lemah dalam menghadap
kreditor (bank) karena dalam keadaan sangat membutuhkan utang (kredit)
terpaksa menerima janji dengan persyaratan yang berat dan merugikannya.
PELAKSANAAN
EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN MUDAH DAN PASTI
Pencantuman asas Hak Tanggungan ini
berkaitan dengan mencegah terjadinya cedera janji yang dilakukan pemegang Hak
Tanggungan. Oleh karena itu, apabila terjadi cedera janji, pemegang Hak
Tanggungan pertama mendapatkan prioritas pertama menjual objek Hak Tanggungan.
Hal ini sesuai ketentuan Pasal 6 UUHT dinyatakan
bahwa:Apabila debitor cedera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai
hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaansendiri melalui pelelangan
umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan
tersebut.Berkaitan dengan ketentuan Pasal 6 UUHT di atas, dalam penjelasan
Pasal6 tersebut dijelaskan sebagai berikut: Hak untuk menjual objek Hak
Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari
kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan atau pemegang
HakTanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemegang
Hak Tanggungan bahwa apabila debitor cedera janji, pemegang Hak Tanggungan
berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa
memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu daripada
kreditor-kreditor yang lain. Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemegang
Hak Tanggungan.Dengan mengacu pada ketentuan Pasal 6 di atas, maka apabila
debitor cedera janji, hal ini dapat dimintakan untuk melaksanakan eksekusi
atauyang lazim disebut parate eksekusi. Oleh karena itu, parate eksekusi yang
terdapat di dalam Hipotek berbeda dengan parate eksekusi yang terdapat didalam
Hak Tanggungan.
Pada parate eksekusi yang terdapat pada Hipotek,pemegang
Hipotek hanya mempunyai hak untuk melakukan parate eksekusi apabila sebelumnya
telah diperjanjikan hal yang demikian itu dalampemberian Hak
Hipoteknya.Sementara dalam Hak Tanggungan, hak pemegang Hak Tanggungan untuk
dapat melakukan parate eksekusi adalah hak yang diberikan oleh Pasal 6UUHT atau
dengan kata lain, diperjanjikan atau tidak diperjanjikan, hak itu demi hukum
dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan.Sertifikat Hak Tanggungan yang merupakan tanda
bakti adanya Hak Tanggungan yang diberikan oleh Kantor Pertanahan dan yang
memuatirahirah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
ESA”, mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlalu sebagai pengganti grosse acte
Hipotek sepanjang mengenai tanah.”
Hak tanggungan tidak dapat berdiri sendiri tanpa didukung
oleh suatu perjanjian (perjanjian kredit) antara debitor dan kreditor. Dalam
perjanjian itu diatur tentang hubungan hukum antara kreditor dan debitor, baik
menyangkut besarnya jumlah kredit yang diterima oleh debitor, jangka waktu
pengembalian kredit, maupun jaminan yang nantinya akan diikat dengan hak
tanggungan. Oleh karena hak tanggungan tidak dapat dilepaskan dari perjanjian
kredit, itulah sebabnya maka hak tanggungan dikatakan accessoir (mengikuti) perjanjian
pokoknya.
Kredit yang diberikan oleh kreditor
mengandung resiko, maka dalam setiap pemberian kredit, bank tidak diperkenankan
memberikan kredit tanpa ada suatu perjanjian tertulis. Itu sebabnya diperlukan
suatu jaminan kredit dengan disertai keyakinan akan kemampuan debitor melunasi
utangnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 8 UU Perbankan No.7/1992 yang
menyatakan dalam memberikan kredit, bank umum wajib mempunyai keyakinan atas
kemampuan dan kesanggupan debitor untuk melunasi hutangnya sesuai yang
diperjanjikan.
Dalam menjalankan suatu perjanjian
khususnya dalam perjanjian kredit, para pihak (debitor, kreditor) selalu
dibebani dua hal yaitu hak dan kewajiban Oleh Subekti (1979:29) mengatakan
suatu perikatan yang dilahirkan oleh suatu perjanjian, mempunyai dua sudut:
sudut kewajiban-kewajiban (obligations) yang dipikul oleh suatu pihak dan sudut
hak-hak atau manfaat, yang diperoleh oleh lain pihak, yaitu hak-hak menurut
dilaksanakannya sesuatu yang disanggupi dalam perjanjian itu.Jadi hak tanggungan
merupakan jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberi
kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor
lainnya.
Maksud dari kreditor diutamakan dari
kreditor lainnya yaitu apabila debitor cidera janji, kreditor pemegang hak
tanggungan dapat menjual barang agunan melalui pelelangan umum untuk pelunasan
utang debitor. Kedudukan diutamakan tersebut tentu tidak mempengaruhi pelunasan
utang debitor terhadap kreditor-kreditor lainnya. Hukum mengenai perkreditan modern
yang dijamin dengan hak tanggungan mengatur perjanjian dan hubungan
utang-piutang tertentu antara kreditor dan debitor, yang meliputi hak kreditor
untuk menjual lelang harta kekayaan tertentu yang ditunjuk secara khusus
sebagai jaminan (obyek hak tanggungan) dan mengambil pelunasan piutangnya dari
hasil penjualan tersebut jika debitor cidera janji.
Kreditor pemegang hak tanggungan
mempunyai hak mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain (“droit de
preference”) untuk mengambil pelunasan dari penjualan tersebut. Kemudian hak
tanggungan juga tetap membebani obyek hak tanggungan ditangan siapapun benda
itu berada, ini berarti bahwa kreditor pemegang hak tanggungan tetap berhak
menjual lelang benda tersebut, biarpun sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain
(“droit de suite”) (Boedi Harsono, 1999:402).
Dalam hal terjadinya pengalihan barang jaminan kepada pihak
lain tanpa seizing pihak kreditor maka kreditor dapat mengajukan action
pauliana yaitu hak dari kreditor untuk membatalkan seluruh tindakan kreditor
yang dianggap merugikan. Dengan demikian, dalam perjanjian tanggungan, pihak
kreditor tetap diberikan hak-hak yang dapat menghindarkannya dari
praktek-praktek “nakal” debitor atau kelalaian debitor.
1. Hak Milik
Hak milik adalah hak turun-temurun , terkuat dan terpenuh
yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 , bahwa “semua hak tanah mempunyai fungsi
sosial”. Sifat-sifat hak milik yang membedakannya dengan hak-hak lainnya
adalah hak yang “terkuat dan terpenuh”, maksudnya untuk menunjukkan bahwa
diantara hak-hak atas tanah yang dipunyai orang, hak miliklah yang paling kuat
dan penuh Pengaturan mengenai hak milik tercantum dalam Pasal 20-27 UUPA. Hak
milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Yang dapat menjadi subjek
hak milik:
- WNI;
- Badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan
syarat-syaratnya ditetapkan oleh pemerintah;
- Orang-orang asing yang sesudah berlakunya Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau
percampuran harta karena perkawinan.
Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan
Peraturan Pemerintah, selain itu bisa terjadi karena Penetapan Pemerintah atau
ketentuan Undang-Undang. Setiap peralihan, hapusnya dan pembeban hak milik
dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud
dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Hal ini dibuktikan dengan
penerbitan sertifikat oleh Kantor Pertanahan setempat (Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997). Hak milik dapat dijadikan jaminan utang dengan
dibebani hak tanggungan.
Hak milik hapus bila:
a) Tanahnya jatuh kepada negara,
- karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18;
- karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya;
- karena ditelantarkan;
- karena ketentuan pasal ayat (3) dan 26 ayat (2).
b) Tanahnya musnah.
2. Hak Guna Usaha (HGU)
Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang
dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu paling lama 25 tahun. Hak Guna
Usaha merupakan hak khusus untuk mengusahakan tanah yang bukan miliknya sendiri
guna perusahaan, pertanian, perikanan dan peternakan Hak guna usaha dapat
beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Pengaturan HGU terdapat pada Pasal
28-34 UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Pasal 2-18.
Peralihan Hak Guna Usaha terjadi karena:
· jual beli;
· tukar menukar;
· penyertaan dalam modal;
· hibah;
· pewarisan.
Subjek HGU:
- WNI;
- Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia
Terjadinya hak guna usaha karena penetapan Pemerintah. Hak
guna usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan
dan penghapusan hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang
dimaksud dalam Pasal 19 Undang Nomor 5 Tahun 1960. Hal ini dibuktikan dengan
penerbitan sertifikat oleh Kantor Pertanahan setempat (Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997). Hak guna usaha dapat dijadikan jaminan utang
dengan dibebani hak tanggungan. Tanah yang dapat diberikan dengan hak
guna usaha adalah:
· Tanah negara;
· Tanah negara yang merupakan kawasan hutan, setelah tanah
yang bersangkutan dikeluarkan dari statusnya sebagai kawasan hutan;
· Tanah yang telah dikuasai dengan hak tertentu sesuai ketentuan
yang berlaku, setelah terselesaikannya pelepasan hak tersebut sesuai dengan
tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kewajiban pemegang HGU:
o Membayar uang pemasukan kepada
Negara;
o Melaksanakan usaha pertanian,
perkebunan, perikanan dan/atau peternakan sesuai peruntukan dan persyaratan
sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya;
o Mengusahakan sendiri tanah Hak Guna
Usaha dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang
ditetapkan oleh instansi teknis;
o Membangun dan memelihara prasarana
lingkungan dan fasilitas tanah yang ada dalam lingkungan areal Hak Guna
Usaha;
o Memelihara kesuburan tanah, mencegah
kerusakan sumber daya alam dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
o Menyampaikan laporan tertulis setiap
akhir tahun mengenai pengunaan Hak Guna Usaha;
o Menyerahkan kembali tanah yang
diberikan dengan Hak Guna Usaha kepada Negara sesudah Hak Guna Usaha tersebut
hapus;
o Menyerahkan sertipikat Hak Guna
Usaha yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan;
o Pemegang Hak Guna Usaha dilarang
menyerahkan pengusahaan tanah Hak Guna Usaha kepada pihak lain, kecuali dalam
hal-hal diperbolehkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
o Jika tanah Hak Guna Usaha karena
keadaan geografis atau lingkungan atau sebab-sebab lain letaknya sedemikian
rupa sehingga mengurung atau menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari
lalu lintas umum atau jalan air, maka pemegang Hak Guna Usaha wajib memberikan
jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang
tanah yang terkurung itu.
Hak pemegang HGU:
o Pemegang Hak Guna Usaha berhak
menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha untuk
melaksanakan usaha di bidang pertanian, perkebunan, perikanan dan atau
peternakan.
o Penguasaan dan penggunaan sumber air
dan sumber daya alam lainnya di atas tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha
oleh pemegang Hak Guna Usaha hanya dapat dilakukan untuk mendukung usaha di
bidang pertanian, perkebunan, perikanan dan atau peternakan dengan mengingat
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kepentingan masyarakat
sekitarnya.
Hak Guna Usaha diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh
Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Hak guna usaha diberikan untuk jangka waktu
paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 25 tahun. Dengan
berlakunya UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal maka Jangka Waktu HGU
diperpanjang, berdasarkan Pasal 22 ayat (1) huruf a, yaitu: “Hak Guna
Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun dengan cara
dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun
dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun”. Hak guna usaha hapus
karena:
- Jangka waktunya berakhir
- Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu
syarat tidak dipenuhi;
- Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya
berakhir;
- Dicabut untuk kepentingan umum;
- Ditelantarkan;
- Tanahnya musnah;
- Ketentuan dalam pasal 30 ayat (2) Undang Nomor 5 Tahun
1960.
3. Hak Guna Bangunan (HGB)
Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu
paling lama 30 tahun. Tidak mengenai tanah pertanian, oleh karena itu dapat
diberikan atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara maupun tanah milik
seseorang. Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Pengaturan mengenai HGB terdapat dalam Pasal 35-40 UUPA dan PP No. 40 Tahun
1996 Pasal 19-38.
Peralihan Hak Guna Bangunan terjadi karena:
o jual beli;
o tukar menukar;
o penyertaan dalam modal;
o hibah;
o pewarisan.
Subjek HGB:
- WNI;
- Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia
Timbulnya HGB:
- Mengenai tanah yang dikuasai oleh Negara; karena penetapan
Pemerintah.
- Mengenai tanah milik; karena perjanjian otentik antara
pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh hak guna
bangunan itu, yang bermaksud menimbulkan hak tersebut.
Hak guna bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya,
demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut harus didaftarkan
menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 Undang Nomor 5 Tahun
1960. Hal ini dibuktikan dengan penerbitan sertifikat oleh Kantor Pertanahan
setempat (Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997). Hak guna
bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Tanah
yang dapat diberikan dengan hak guna bangunan adalah:
- Tanah negara;
- Tanah hak pengelolaan;
- Tanah hak milik.
- Kewajiban pemegang HGB:
- Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya
ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya;
- Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan
persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian
pemberiannya;
- memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di
atasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup;
- Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna
Bangunan kepada Negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik
sesudah Hak Guna Bangunan itu hapus;
- Menyerahkan sertipikat Hak Guna Bangunan yang telah hapus
kepada Kepala Kantor Pertanahan;
- Jika tanah Hak Guna Bangunan karena keadaan geografis atau
lingkungan atau sebab-sebab lain letaknya sedemikian rupa sehingga mengurung
atau menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari lintas umum atau jalan air,
pemegang Hak Guna Bangunan wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau
kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung itu.
Hak pemegang HGB:
- Pemegang Hak Guna Bangunan berhak menguasai dan
mempergunakan tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan selama waktu
tertentu untuk mendirikan dan mempunyai bangunan untuk keperluan pribadi atau
usahanya serta untuk mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain dan
membebaninya.
Mengenai pemberian hak, Pemegang Hak Guna Bangunan berhak
menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan
selama waktu tertentu untuk mendirikan dan mempunyai bangunan untuk keperluan
pribadi atau usahanya serta untuk mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain
dan membebaninya.
Hak guna bangunan diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat
diperpanjang paling lama 20 tahun. Dengan berlakunya UU No. 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal maka Jangka Waktu HGB diperpanjang, berdasarkan Pasal
22 ayat (1) huruf b, yaitu: “Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan
jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di
muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30
(tiga puluh) tahun”. Hak guna bangunan hapus karena:
- Jangka waktunya berakhir;
- Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu
syarat tidak dipenuhi;
- Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya
berakhir;
- Dicabut untuk kepentingan umum;
- Ditelantarkan;
- Tanahnya musnah;
- Ketentuan dalam pasal 36 ayat (2) Undang Nomor 5 Tahun
1960.
4. Hak Pakai
Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut
hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang
lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian
dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian
pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan
ketentuan-ketentuan No. 5 Tahun 1960. Pengaturan mengenai Hak Pakai terdapat
dalam Pasal 41-43 UUPA dan PP No. 40 Tahun 1996 Pasal 39-59.
Hak Pakai diberikan selama jangka waktu yang tertentu atau
selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu. Hak Pakai dapat
diberikan dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa
apapun. Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung
unsur-unsur pemerasan.
Mengenai peralihan hak:
- Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara
maka hak pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang
berwenang;
- Hak pakai atas tanah milik hanya dapat dialihkan kepada
pihak lain, jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.
Subjek hak pakai:
§ WNI;
§ Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
§ Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia;
§ Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di
Indonesia;
§ Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan
Pemerintah Daerah;
§ Badan-badan keagamaan dan sosial;
§ Perwakilan negara asing dan perwakilan badan
Internasional.
§ Terjadinya hak pakai karena pemberian oleh pejabat yang
berwenang memberikan atau dalam perjanjian dengan pemilik tanah.
Hak Pakai Hak Pakai atas tanah Negara dan atas tanah Hak
Pengelolaan wajib didaftar dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan. Sebagai
tanda bukti hak kepada pemegang Hak Pakai diberikan sertifikat hak atas tanah
oleh Kantor Pertanahan setempat (Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997). Hak Pakai atas tanah Negara dan atas tanah Hak Pengelolaan dapat
dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.
Tanah yang dapat diberikan hak pakai adalah:
- Tanah negara;
- Tanah hak pengelolaan;
- Tanah hak milik.
Kewajiban pemegang hak pakai:
- Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya
ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya, perjanjian penggunaan tanah Hak
Pengelolaan atau dalam perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak
Milik;
- Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan
persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberiannya, atau
perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau perjanjian pemberian Hak Pakai
atas tanah Hak Milik;
- Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di
atasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup;
- Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Pakai
kepada Negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sesudah Hak
Pakai tersebut hapus;
- Menyerahkan sertipikat Hak Pakai yang telah hapus kepada
Kepala Kantor Pertanahan;
- Jika tanah Hak Pakai karena keadaan geografis atau
lingkungan atau sebab-sebab lain letaknya sedemikian rupa sehingga mengurung
atau menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalan
air, pemegang Hak Pakai wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau
kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung itu.
Pemegang Hak Pakai berhak menguasai dan memperguna-kan tanah
yang diberikan dengan Hak Pakai selama waktu tertentu untuk keperluan pribadi
atau usahanya serta untuk memindahkan hak tersebut kepada pihak lain dan
membebaninya, atau selama digunakan untuk keperluan tertentu.
Pemegang Hak Pakai berhak menguasai dan mempergunakan tanah
yang diberikan dengan Hak Pakai selama waktu tertentu untuk keperluan pribadi
atau usahanya serta untuk memindahkan hak tersebut kepada pihak lain dan
membebaninya, atau selama digunakan untuk keperluan tertentu. Hak Pakai atas
tanah Hak Milik mengikat pihak ketiga sejak saat pendaftarannya dalam buku
tanah pada Kantor Pertanahan.
Jangka waktu:
- Hak Pakai atas tanah Negara dan atas tanah Hak Pengelolaan
diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang untuk
jangka waktu paling lama 20 tahun atau diberikan untuk jangka waktu yang tidak
ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu;
- Hak Pakai yang diberikan untuk jangka waktu yang tidak
ditentukan selama dipergunakan untuk keperluan tertentu diberikan kepada:
• Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan
Pemerintah Daerah;
• Perwakilan negara asing dan perwakilan badan
Internasional;
• Badan Keagamaan daan badan sosial.
Hak Pakai atas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu
paling lama dua puluh lima tahun dan tidak dapat diperpanjang. Dengan
berlakunya UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal maka Jangka Waktu Hak
Pakai diperpanjang, berdasarkan Pasal 22 ayat (1) huruf c, yaitu:
“Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh)
tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45
(empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima)
tahun”.
Hak pakai hapus karena:
- Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam
keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian
pemberiannya;
- Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak
Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sebelum jangka waktunya berakhir
karena:
§ tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak
dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50,
Pasal 51 dan Pasal 52; atau
§ tidak dipenuhinya syarat-syarat atau
kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian Hak Pakai antara
pemegang Hak Pakai dan pemegang Hak Milik atau perjanjian penggunaan Hak
Pengelolaan; atau
§ putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap.
- Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum
jangka waktu berakhir;
- dicabut berdasarkan Undang-undang Nomor 20 tahun
1961;
- Ditelantarkan;
- Tanahnya musnah;
- Hapus karena hukum (pemegang hak tidak lagi memenuhi
syarat subyek yang berhak/dapat memegang Hak Pakai).
5. Hak Atas Satuan Rumah Susun
Dalam pasal 12 ayat 1 Undang – Undang Nomor 16 Tahun 1985,
ditetapkan bahwa rumah susun berikut tanah tempat bangunan itu berdiri serta
benda lainnya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dapat
dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan. Ketentuan tersebut
mengatur hal baru karena sebelum adanya UURS, objek utama dari hak jaminan
adalah tanah. Dalam keadaan tertentu, jika dikehendaki para pihak, hak jaminan
yang dibebankan atas suatu bidang tanah dapat meliputi juga bangunan yang ada
di atasnya.
Dalam Pasal 12 tersebut, yang merupakan obyek pokok hak
jaminan yang dibebankan bukan tanahnya, melainkan bangunan rumah susunnya.
Pasal 12 UURS juga memuat ketentuan yang penting bagi Hukum Jaminan Indonesia,
bahwa Hak Tanggungan dapat juga dibebankan atas tanah dimana rumah susun itu
dibangun beserta rumah susun yang akan dibangun, sebagai jaminan kredit yang
dimaksudkan untuk membiayai pelaksaan pembangunan rumah susun yang telah
direncanakan di atas tanah yang bersangkutan dan yang pemberian kreditnya
dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pelaksanaan pembangunan rumah susun
tersebut.
Keistimewaan lembaga ini adalah bahwa bangunan yang pada
saat hak tanggungan dibebankan belum ada dapat ikut terbebani hak tanggungan,
masuk akal kiranya bahwa yang sudah ada juga dapat ikut terbebani. Tetapi
semuanya itu dapat diperjanjikan secara tegas dalam akta pemberian hak
tanggungan yang bersangkutan, karena tidak terjadi dengan sendirinya seperti
dalam hukum yang menggunakan asas pendekatan (accessie).
Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa hukum tanah kita menggunakan asas
pemisahan horizontal, sehingga selain harus diperjanjikan, bangunan yang dapat
ikut terbebani hak tanggungan tersebut, menurut kenyataannya harus bersifat
permanen dan milik dari yang punya tanah.
Hak milik atas satuan rumah susun juga dapat dijadikan
jaminan kredit. Kemungkinan tersebut ditegaskan dalam Pasal 13 Undang – Undang
Nomor 16 Tahun 1985 yang menyatakan, bahwa hal milik atas satuan rumah susun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 3 dapat dijadikan jaminan hutang dengan
dibebani Hak Tanggungan jika tanahnya hak milik atau Hak Guna Bangunan, atau
Fidusia jika tanahnya Hak Pakai atas tanah negara.
Dari ketentuan tersebut dapat dibaca bahwa yang menjadi obyek pokok jaminan Hak
Tanggungan bukan tanahnya melainkan hak milik atas satuan rumah susunnya,
sehingga Hak Tanggungan atau Fidusia yang dibebankan meliputi selain satuan
rumah susun yang bersangkutan, juga bagian bersama, benda bersama, dan tanah
bersama sebesar bagian pemilik hak milik atas satuan rumah susun yang
dijaminkan. Ketentuan ini diadakan untuk memungkinkan diperolehnya Kredit
Pemilik Rumah (KPR) guna membayar lunas harga satuan rumah susun yang dibeli
pengembaliannya dapat dilakukan secara angsuran KPR tersebut baru dapat
diberikan setelah rumah susun yang bersangkutan selesai dibangun dan telah pula
dilakukan pemisahan dalam satuan – satuan rumah susun yang bersertifikat.
Menurut ketentuan Pasal 12 dan 13 Undang – Undang No.16 Tahun 1985 Tentang
Rumah Susun (“UURS”) bahwa rumah susun dan satuan rumah susun dapat dijadikan
kredit dengan dibebani Hak Tanggungan. Mengenai tata cara pembebanan dan
penerbitan tanda buktinya, diuraikan sebagai berikut.
Pembebanan Hak Tanggungan diatur dalam pasal 14 dan 15 UURS,
dimana dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”) dan wajib
didaftarkan pada Kantor Agraria (sekarang kantor pertanahan) Kabupaten /
Kotamadya untuk dicatat pada buku tanah dan sertifikat hak bersangkutan. Tata
caranya sama dengan pembebanan Hak Tanggungan yang obyek pokoknya tanah yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah.
Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta
Pembebanan Hak Tanggungan (“APHT”) oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang
– undangan yang belaku.
Selanjutnya pembebanan Hak Tanggungan tersebut dalam rangka
memenuhi syarat publisitas, yang merupakan salah satu syarat bagi yang sahnya
dan kelahiran Hak Tanggungan yang diberikan wajib didaftarkan pada Kantor
Pertanahan. Berdasarkan Pasal 13 ayat 2 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996
Tentang Hak Tanggungan (“UUHT”) juncto Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 Tentang Pendafataran Tanah, maka PPAT yang membuat pembebanan Hak
Tanggungan tersebut selambat – lambatnya 7 (tujuh) hari sejak ditandatanganinya
pembebanan Hak Tanggungan tersebut, wajib menyampaikan APHT yang dibuatnya
berikut dokumen – dokumen yang bersangkutan seperti sertifikat tanahnya (kalau
yang dijaminkan rumah susun atau tanah tempat akan dibangunnya rumah susun)
atau sertifikat HMSRS (kalau yang dijaminkan satuan rumah susunnya) kepada
Kantor Pertanahan untuk didaftar. Dan PPAT wajib menyampaikan secara tertulis
mengenai telah disampaikannya akta tersebut kepada para pihak yang
bersangkutan. Pendaftaran Hak Tanggungan tersebut dilakukan dengan pambuatan
Buku Tanah Hak Tanggungannya, diikuti dengan penerbitan sertifikat Hak
Tanggungan serta pencatatan adanya Hak Tanggungan pada Buku Tanah dan
sertifikat tanah rumah susun atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (“HMSRS”)
yang dijadikan jaminan.
Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan tersebut Kantor
Pertanahan menerbitkan sertipikat Hak Tanggungan yang terdiri dari salinan Buku
Tanah Hak Tanggungan dan salinan APHT, yang membuktikan pemberian Hak
Tanggungan tersebut. Kecuali diperjanjikan lain, sertipikat hak atas tanah atau
HMSRS yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan dikembalikan kepada
pemegang hak atas tanah / pemegang HMSRS yang bersangkutan. Sedangkan
sertifikat hak tanggungannya diserahkan kepada pemegang Hak Tanggungan.
Ada 6 (enam) cara berakhirnya atau
hapusnya Hak Tanggungan, keenam cara tersebut disajikan sebagai berikut:
Ø dilunasinya hutang atau dipenuhinya prestasi secara suka
rela oleh debitur. Disini tidak terjadi cedera janji atau sengketa.
Ø debitur tidak memenuhi tepat pada waktu, yang berakibat
debitur akan ditegur oleh kreditur untuk memenuhi prestasinya. Teguran ini
tidak jarang disambut dengan dipenuhinya prestasi oleh debitur dengan
suka rela. Sehingga dengan demikian utang debitur lunas dan perjanjian utang
piutang berakhir.
Ø Debitur cedera janji. Dengan adanya cedera cedera janji
tersebut, maka kreditur dapat mengadakan parate eksekusi dengan
menjual lelang barang yang dijaminkan tanpa melibatkan pengadilan. Utang
dilunasi dari hasil penjualan barang tersebut. dengan demikian, perjanjian
utang piutang berakhir.
Ø Debitur cedera janji, maka kreditur dapat mengajukan
sertifikat Hak Tanggungan ke pengadilan untuk dieksekusikan berdasarkan pasal
224 HIR yang diikuti pelelanngan umum. Dengan dilunasi utang dari hasil
penjualan lelang, maka perjanjian utang piutang berakhir. Disini tidak terjadi
gugatan.
Ø Debitur cedera janji dan tetap tidak mau memenuhi prestasi
maka debitur digugat oleh kreditur, yanng kemudian diikuti oleh putusan
pengadilan yang memenangkan kreditur (kalau terbukti). Putusan tersebut dapat
dieksekusi secara suka rela seperti yang terjadi pada cara yang kedua dengan
dipenuhinya prestasi oleh debitur tanpa pelelangan umum dan dengan demikian
perjanjian utang piutang berakhir.
Ø Debitur tidak mau melaksanakan putusan penngadilan yang
mengalahkannya dan menghukum melunasi utangnya maka putusan pengadilan
dieksekusi secara paksa dengan pelelangan umum yang hasilnya digunakan untuk
melunasi hutang debitur, dan mengakibatkan perjanjian utang piutang berakhir.[1]
Walaupun hak atas tanah itu hapus, namun pemberian Hak
Tanggungan tetap berkewajiban untuk membayar hutangnya. Hapusnya Hak Tanggungan
yang dilepas oleh pemegang Hak Tanggungan dilakukan dengan pemberian pernyataan
tertulis, mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak
Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan. Hapusnya Hak Tanggungan karena
pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan pringkat oleh Ketua Pengadilan
Negeri terjadinya karen permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak
Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari
beban Hak Tanggungan.
Selain itu, sebab-sebab yang menghapus Hak Tanggungan
ditentukan dalam Pasal 18 ayat (1) UUHT. Menurut Pasal 18 ayat (1) UUHT
tersebut, Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut :
a) Hapusnya utang yang
dijamin dengan Hak Tanggungan;
Karena Hak Tanggungan merupakan jaminan utang yang
pembebanannya adalah untuk kepentingan kreditur (pemegang Hak Tanggungan)
adalah logis bila Hak Tanggungan dapat (dan hanya dapat) dihapuskan oleh
kreditur (pemegang Hak Tannggungan) sendiri. Sedangkan pemberi Hak Tanggungan
tidak mungkin dapat membebaskan Hak Tanggungan itu.
Sesuai dengan sifat Hak Tannggungan
yang accesoir, adanya Hak Tanggungan bergantung kepada adanya
piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu. Oleh karena itu,
apabila piutang itu hapus karena pelunasan atau karena sebab-sebab lainnya,
dengan sendirinya Hak Tanggungan yang bersangkutan menjadi hapus juga.
b) Dilepaskannya Hak
Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
Mengenai hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskannya oleh
pemegang Hak Tanggungan, ketentuan Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Hak
Tanggungan menentukan sebagai berikut:
hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskannya oleh
pemegangnya dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai
dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada
pemberi Hak Tanggungan.
Hal ini pokoknya sejalan dengan ketentuan Pasal 1381 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa:
Perikatan-perikatan hapus:
1. Karena pembayaran;
2. Karena penawaran pembayaran tunai,
diikkuti dengan penyimpanan atau penitipan;
3. Karena pembaruan utang;
4. Karena perjumpaan utang atau kompensasi;
5. Karena percampuran utang;
6. Karena pembebasan utang;
7. Karena musnahnya barang yang terutang;
8. Karena kebatalan atau pembatalan;
9. Karena berlakunya suatu syarat batal;
10. Karena lewatnya waktu.
Tanpa adanya pernyataan bebas dari kreditot terhadap
debitor, maka utang debitor masih tetap harus dipenuhi oleh debitor kepada
kreditor. Demikian pula halnya suatu Hak Tanggungan, tanpa adanya pernyataan
pelepasan Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan, maka Hak Tanggungan
tidak pernah hapus.
Tampak jelas, bahwa suatu Hak Tanggungan yang telah
diberikan sebelum dilepaskan oleh pemegang Hak Tanggungan tidak akan hapus dan
akan terus berlaku untuk menjamin pelunasan utang yang masih akan ada di
kemudian hari selama dan sepanjang perikatan pokok antara debitor dan
kreditor pemegang Hak Tanggungan yang (akan) lahir dari perjanjian antara
mereka tidak atau belum dihapuskan.
Dalam konteks ini pun, untuk kepentingan praktis, maka
pernyataan tertulis kreditor pemegang Hak Tanggungan mengenai maksudnya untuk
melepaskan Hak Tanggungan harus disampaikan agar pencoretan Hak Tanggungan
dapat dilakukan.
c) Pembersihan Hak
Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;
Mengenai hapusnya Hak Tanggungan sebagai akibat pembersihan
Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri,
dilaksanakan menurut ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Hak Tanggungan
yang berbunyi:
Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan
berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi karena
permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agar
hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban Hak Tanggungan
sebagaimana diatur dalam Pasal 19.
Dari konteks rumusan yang diberikan dalam Pasal 18 ayat (3)
Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut dapat diketahui bahwa hapusnya Hak
Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi
karena terdapat lebih dari satu Hak Tanggungan yang diletakkan atas bidang
tanah tersebut. Selanjutnya, dari rumusan Pasal 19 Undang-Undang Hak
Tanggungan yang menyatakan bahwa:
1) Pembeli objek Hak
Tanggungan, baik dalam suatu pelelangan umum atas perintah Ketua Pengadilan
Negeri maupun dalam jual beli sukarela, dapat meminta kepada pemegang Hak
Tanggungan agar benda yang dibelinya dibersihkan dari segala beban Hak
Tanggungan yang melebihi harga pembelian.
2) Pembersihan obyek Hak
Tanggungan agar benda yang dibelinya itu dibersihkan dari segala beban Hak
Tanggungan yang melebihi harga pembelian.
3) Apabila obyek Hak
Tanggungan dibebani lebih dari satu Hak Tanggungan dan tidak terdapat
kesepakatan diantara para pemegang Hak Tanggungan tersebut mengenai pembersihan
obyek Hak Tanggungan dari beban yang melebihi harga pembeliannya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) pembeli benda tersebut dapat mengajukan permohonan
kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak obyek Hak
Tanggungan yang bersangkutan untuk menetapkan pembersihan itu dan sekalligus
menetapkan ketentuan mengenai pembagian hasil penjualan lelang diantara para
yang berpiutang dan peringkat mereka menurut perundang-undangan yang berlaku.
4) Permohonan pembersihan
obyek Hak Tanggungan dari Hak Tanggungan yang membebaninya sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) tidak dapat dilakukan oleh pembeli benda tersebut, apabila
pembelian demikian itu dilakukan dengan jual beli sukarela dan dalam Akte
Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan para pihak denga telah tegas
memperjanjikan bahwa obyek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari beban Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f.
Dapat diketahui bahwa permintaan penghapusan tersebut dapat
dimintakan oleh setiap pembeli hak atas tanah, yang diatasnya terletak beban
berupa Hak Tanggungan yang jumlahnya lebih dari satu, dengan ketentuan bahwa:
1. Jika pembelinya dilakukan melalui
pelelangan, maka pembersihan harus dikabulkan oleh Ketua Pengadilan Negeri;
2. Jika pembelinya dilakukan melalui
penjualan sukarela, maka pembersihan dikabulkan jika dalam perjanjian pemberian
Hak Tanggungan yang selanjutnya tidak tercantum janji untuk tidak akan
dibersihkan dari beban Hak Tanggungan, hingga seluruh kewajiban
debitor dipenuhi. Dengan demikian berarti dalam hal perjanjian
pemberian atau pembebanan Hak Tanggungan dimuat janji bahwa objek Hak
Tanggungan tidak akan dibersihkan dari beban Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f Undang-Undang Hak
Tanggungan, maka pembeli objek Hak Tanggungan melalui penjualan sukarela
tidak dapat meminta agar hak atas tanahnya dibersihkan.
Pasal 11
(2) Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan
janji- janji, antara lain:
f. janji yang diberikan oleh pemegang Hak
Tanggungan pertama bahwa objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak
Tanggungan;
dari ketentuan tersebut diata , dapat diketahui bahwa hanya
pembeli kebendaan yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan melalui pelelangan
(umum) yanng dapat secara mutlak meminta pembersihan Hak Tanggungan dan
sekaligus meminta kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk membagi hasil penjualan
kebendaan tersebut manakala terjadi sengketa mengenai pembersihan objek Hak
Tanggungan tersebut. Secara teoretis masalah perolehan pembuktian dapat muncul
dari pemegang Hak Tanggungan peringkat ke-2 dan seterusnya, manakala hasil
penjualan tidak mencukupi untuk melunasi piutang mereka. Untuk itu maka, khusus
bagi pembeli melaluui pelelanngan umum, mereka ini diberikan suatu kepastian
bahwa kebendaan yang dibeli adalah bebas dari segala beban, maka itu mereka
berhak untuk menuntut pembebasan tersebut, meskipun hal tersebut mungkin dapat
merugikan pemegang Hak Tanggungan peringkat ke-2 dan seterusnya.
· Tujuan diadakannya lembaga
pembersihan
Lembaga pembersihan ini diadakan untuk melindungi
kepentingan pembeli obyek Hak Tanggungan agar benda yang dibelinya bebas dari
Hak Tanggungan yang semula membebaninya, jika harga pembelian itu tidak
mencukupi untuk melunasi utang yang dijamin (lihat Penjelasan Pasal 19 ayat (1)
UUHT).
Jika obyek Hak Tanggungan akan dijual, pembeli obyek Hak
Tanggungan tentu tidak tertarik untuk memebeli obyek Hak Tanggungan ittu,
karena pemegang Hak Tanggungan berdasarkan hak kebendaannya senantiasa berhak
mengejar pembeli agar membayar kekurangan yang dideritanya akibat dari harga
jual yang lebih rendah dari piutangnya.
Di dalam konteks ini ada konflik antara dua asas, yaitu hak
kebendaan dari Hak Tanggungan dan penjualan obyek Hak Tanggungan. Dari konflik
inilah lahir konsep “pembersihan” (zuivering) sebagai upaya hukum untuk
membebaskan obyek Hak Tanggungan dari tagihan yang melekat diatas obyek itu,
karena harga jualnya lebih rendah dari jumlah kredit yang dijamin Hak
Tanggungan itu[4].
· Tata
cara pembersihan
UUHT
menentukan tata cara pembersihan itu sebagai berikut:
a. Obyak
Hak Tanggungan dibebani satu Hak Tanggungan
b. Obyek
Hak Tanggungan dibebani lebih dari satu Hak Tanggungan, maka ditempuh
tatacara sebagai berikut:
- Dalam
hal tidak terdapat kesepakatan diantara pemegang Hak Tanggungan, maka pembeli
menngajukan ke Ketua Pengadilan Negeri di dalam wilayah mana obyek Hak
Tanggungan itu terletak, mengenai:
· Pembersihan;
· Pembagian
hasil penjualan lelang diantara pemegang Hak Tanggungan;
· Peringkat
pemegang Hak Tanggungan.
d) Hapusnya
hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
Alasan
terakhir hapusnya Hak Tanggungan yang disebabkan karena hapusnya hak atas tanah
yang dibebani Hak Tanggungan tidak lain dan tidak bukan adalah sebagai
akibat tidak terpenuhinya syarat objektif sahnya perjanjian, khususnya yang
berhubungan dengan kewajiban adanya objek tertentu, yang salah satunya meliputi
keberadaan dari bidang tanah tertentu yang dijaminkan.
Selain
itu, mengenai hapusnnya Hak Tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang
dibebani Hak Tanggungan adalah logis, karena keberadaan suatu Hak Tanggungan
hanya mungkin bila telah atau masih ada objek yang dibebani dengan Hak
Tanggungan itu. Objek dari Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang berupa
Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah negara.
Karena itu Hak Tanggungan akan hapus apabila hak-hak atas tanah itu hapus atau
berakhir.
Perlu
diperhatikan bahwa khusus untuk Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai untuk
rumah tinggal yang sedang dibebani Hak Tanggungan dan pemiliknya bermaksud
untuk meningkatkan statusnya menjadi Hak Milik berdasarkan ketentuan
Peraturan Mentri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 tahun
1998 tentang Perubahan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah untuk rumah
tinggal yang dibebani Hak Tanggungan menjadi Hak Milik, berlaku ketentuan
sebagaimana dibawah ini.
1. Perubahan
hak tersebut dimohonkan oleh pemegang hak atas tanah dengan persetujuan dari
pemegang Hak Tanggungan.
2. Perubahan
hak tersebut mengakibatkan Hak Tanggungan dihapus.
3. Kepala
Kantor Pertanahan karena jabatannya, mendaftar hapusnya Hak Tanggungan
yang membebani Hak Guna Bangunan atas Hak Pakai yang diubah menjadi Hak Milik
bersamaan dengan pendaftaran Hak Milik yang bersangkutan.
4. Untuk
melindungi kepentingan kreditur/ bank yang semula dijammin dengan Hak
Tanggungan atas Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang menjadi hapus.
sebelum perubahan hak didaftar, pemegang hak atas tanah dapat memberikan SKMHT
dengan objek Hak Millik yang diperolehnya sebagai perubahan dari Hak Guna Bangunan
atau Hak Pakai tersebut.
5. Setelah
perubahan hak dilakukan, pemegang hak atas tanahdapat membuat Akta Pemberian
Hak Tanggungan (APHT) atas Hak Milik yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku dengan hadir sendiri atau melalui SKMHT.
6. Berdasarkan
ketentuan PMNA/KBPN tersebut saat hapusnya Hak Tannggungan adalah pada saat
pendaftaran Hak Milik. Oleh karena itu, sebelum perubahan hak didaftar,
pemegang hak atas tanah sebaiknya memberikan SKMHT dengan objek Hak Milik yang
diperolehnya, karen asetelah Hak Milik terdaftar, Hak Tanggungan tersebut
menjadi hapus. Pada saat hapusnya Hak Tanggungan itu kreditur menjadi kreditur
konkuren yang hanya dijamin dengan SKMHT. Namun, kemudian kreditur dapat
membuat APHT berdsarkan SKMHT itu. Hak Tanggungan itu lahir pada tanggal buku
tanah Hak Tanggungan , yaitu tanggal hari ketujuh setelah penerimaan
secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya.
Terhadap
ketentuan PMNA/KBPN terdapat beberapa hal yanng perlu diperhatikan, yaitu:
1. Jangka
waktu SKMT. Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) PMNA/KBPN tersebut, jangka waktu SKMHT
terbatas yaitu sebagaimana termuat dalam Pasal 15 ayat (4) dan (5) UUHT.
2. Peringkat
SKMHT. Tidak diatur mengenai peringkat apabila ada beberapa SKMHT. Akan tetapi,
mengingat bahwa SKMHT dibuat untuk objek tanah Hak Milik yang bidang tanahnya
adalah sama dengan bidang tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai sebelumnya dan
utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan adalah sama dengan hutang yang dijamin
sebelumnya dan krediturnya adalah tetap, peringkat Hak Tanggungan pada saat
dibuat SKMHT, seyogyanya adalah sesuai dengan peringkat yang termuat dalam
sertifikat Hak Tanggungan yang semula membebani tanah Hak Guna Bangunan
atau Hak Pakai. Kreditur pemegang SKMHT ini haruslah kreditur yang semula
pemeganng Hak Tanggungan, sebab ketentuan PMNA/KBPN ini dibuat untuk memberikan
kepastian hukum bagi pemegang Hak Tanggungan yang tanahnya sedang dimohonkan
perubahan hak atas tanah.
3. Atas
perubahan hak, bagi kreditur perlu memperhatikan bahwa terdapat periode dimana
kreditur tidak lagi menjadi kreditur preferen, yaitu sejak Hak Tanggungan hapus
(pada saat Hak Milik terdaftar) sampai saat Hak Tanggungan terdaftar. Pada
periode tersebut, kreditur hanya berkedudukan sebagai kreditur pemegang SKMHT.
Mengingat bahwa APHT hanya dapat dibuat setelah Hak Milik terdaftar, periode
tersebut memakan waktu sesuai dengan ketentuan lahirnya Hak Tanggungan, yaitu
tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang
diperlukan bagi pendaftarannya.
4. ketentuan
PMNA/KBPN tersebut hanya berlaku khusus untuk tanah Hak Guna Bangunan atau Hak
Pakai untuk rumah tinggal yang sedang dibebani Hak Tanggungan.
C. Tata
Cara Penghapusan Hak Tanggungan
Sebagaimana
telah dikemukakan diatas bahwa Hak Tanggungan dapat dengan sengaja dihapuskan,
baik dari kehendak dari pemegang Hak Tanggungan itu sendiri maupun karena
pembersihan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri. Hapusnya Hak
Tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya dilakukan dengan pemberian
pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh
pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan.
Tidak
ada penjelasan lebih lanjut mengenai proses apa yang harus dilakukan
setelah pemberi Hak Tanggungan menerima pemberian pernyataan tertulis tersebut.
Menurut penulis, karena pemberian Hak Tangggungan wajib didaftarkan pada kantor
pertanahan dan lahirnya Hak Tanggungna adalah pada hari didaftarkannya Hak
Tanggungan itu pada buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan
tersebut serta dengan pendaftaran Hak Tanggungan itu, Hak Tanggungan itu
berlaku terhadap pihak ketiga. Karena itu, setelah pemberi Hak Tanggungan
menngajukan surat permohonan kepada Kantor Pertanahan dengan dilampiri surat
pernyataan tertulis tersebut agar Hak Tanggungan tersebut dicatat pada
buku-tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan bahwa Hak
Tanggungna itu telah dilepaskan oleh pemegangnya. Hanya dengan demikian, Hak
Tanggungan itu menjadi hapus dan tidak mengikat lagi baggi pihak ketiga.
Hapusnya
Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan
peringkat oleh Ketua Penngadilan Negeri terjadi dengan diajukannya permohonan
oleh pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agar hak atas
tanah yang dibelinnya itu dibersihkan dari beban Hak Tanggungan tersebut.
[12] G.
Eksekusi Hak Tanggungan dan Penjualan di Bawah Tangan
A. Eksekusi Hak Tanggungan
Apabila debitor cidera janji, obyek HT oleh kreditor
pemegang HT dijual melalui pelelangan umum menurut cara yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kreditor pemegang HT berhak
mengambil seluruh atau sebagian dari hasil pelelangan tersebut untuk pelunasan
piutangnya yang dijamin dengan HT tersebut, dengan hak mendahului daripada
kreditor-kreditor yang lain. Inilah yang disebut eksekusi HT.
Kreditor berhak mengambil pelunasan piutang yang dijamin
dari hasil penjualan obyek HT, dengan hak mendahului daripada kreditor lain
yang mempunyai peringkat yang lebih rendah atau yang bukan kreditor pemegang
HT. dalam hal hasil penjualan itu lebih besar daripada piutang tersebut yang
setinggi-tingginya sebesar nilai tanggungan, sisanya menjadi hak pemberi HT
untuk memenuhi kewajibannya yang lain.
Hak Tanggungan bertujuan untuk menjamin utang yang diberikan
pemegang Hak Tanggungan kepada debitor. Apabila debitor cidera janji, tanah
(hak atas tanah) yang dibebani dengan Hak Tanggungan itu berhak dijual oleh
pemegang HT tanpa persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan dan pemberi Hak
Tanggungan tidak dapat menyatakan keberatan atas penjualan tersebut.
Agar pelaksanaan penjualan itu dapat dilakukan secara jujur
(fair), UUHT mengharuskan agar penjualan itu dilakukan melalui pelelangan umum
menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perUndang-Undangan yang
berlaku. Dengan ditentukannya oleh pasal 20 ayat (1) UUHT.
Pasal 6 UUHT memberikan kewenangan kepeda pemegang Hak
Tanggungan pertama untuk menjual Objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri.
Dengan demikian pemegang Hak Tanggungan pertama tidak perlu meminta persetujuan
terlebih dahulu dari pemberi Hak Tanggungan dan tidak perlu pula meminta
Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Setempat untuk melakukan eksekusi tersebut.
B. Penjualan di Bawah Tangan
Pada prinsipnya setiap eksekusi harus dilakukan melalui
pelelangan umum, karena dengan cara demikian diharapkan dapat diperoleh harga
yang paling tinggi untuk obyek HT yang dijual. Dalam keadaan tertentu apabila
melalui pelelangan umum diperkirakan tidak menghasilkan harga tertinggi, atas
kesepakatan pemberi dan pemegang HT dan dipenuhinya syarat-syarat tertentu,
dimungkinkan eksekusi dilakukan dengan cara penjualan obyek HT oleh kreditor
pemegang HT di bawah tangan, jika dengan cara demikian itu akan dapat diperolah
haraga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Hal ini ditentukan dalam Pasal
20 ayat (2) UUHT.
Penjualan obyek HT “di bawah tangan” artinya penjualan yang
tidak melalui pelelangan umum. Namun penjualan tersebut tetap wajib dilakukan
menurut ketentuan PP 24/1997 tentang Pendaftaran tanah. Yaitu dilakukan di
hadapan PPAT yang membuat aktanya dan diikuti dengan pendaftarannya di kantor
Pertanahan.
Dengan ketentuan seperti ini berarti Bank tidak mungkin
melakukan penjualan di bawah tangan terhadap objek Hak Tanggungan atau agunan
kredit itu apabila debitor tidak menyetujuinya karena penjualan di bawah tangan
seperti ini hanya dapat dilakukan bila ada kesepakatan antara pemberi dan
pemegang Hak Tanggungan. Dikuatirkan jual beli di bawah tangan dianggap
merupakan transaksi yang melanggar hukum sehingga dapat terancam batal demi
hukum atau dapat dibatalkan oleh hakim (atas permintaan pihak-pihak tertentu,
termasuk atas permintaan pemberi Hipotik itu sendiri), karena di dalam
ketentuan Hipotik tidak secara tegas menentukan boleh atau tidak dilakukan
penjualan dibawah tangan atas objek Hipotik. Hal inlah yang menimbulkan banyak
keraguan didalam masyarakat.
Berdasarkan surat kuasa untuk menjual dibawah tangan dari pemberi Hak
Tanggungan sebenarnya jual-beli itu sah saja akan tetapi apabila ternyata
penjualan itu terjadi dengan harga yang jauh di bawah harga wajar, pemberi hak
tanggungan dan debitor itu sendiri (dalam hal debitor bukan pemilik objek Hak
Tanggungan) dapat mengajukan gugatan terhadap bank. Gugatan itu sendiri bukan
diajukan terhadap pelaksanaan penjualannya, tetapi berdasarkan dalih bahwa
penjualan objek Hak Tanggungan harus dilakukan melalui pelelangan umum. Harga
penjualan itu yang dinilai tidak wajar, dan dalih dapat diajukan oleh penggugat
adalah bahwa bank telah melakukan perbuatan melawan hukum atau bertentangan
dengan kepatutan atau bertentangan dengan keadilan atau bertentangan dengan
asas I’tikad baik.
Sesuai dengan asas kepatutan dan I’tikad baik, bank tidak
menentukan sendiri harga jual atas barang-barang agunan dalam rangka
penyelesaian kredit macet nasabah debitur. Penaksiran harga dilakukan oleh
suatu perusahaan penilai yang independen dan telah mempunyai reputasi baik. Dalam
hal penjualan dilakukan dibawah tangan, dan harga tidak ditetapkan sendiri oleh
bank, tetapi berdasarkan kesepakatan antara pemegang dan pemberi Hak Tanggungan
atau berdasarkan penilaian harga oleh suatu perusahaan penilai yang
independent.
Menurut Pasal 20 ayat (3) UUHT, pelaksanaan penjualan di
bawah tangan hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak
diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan pemegang Hak Tanggungan kepada
pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua)
surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan atau media massa setempat,
serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.Maksud dari ketentuan pasal
tersebut adalah untuk melindungi pihak-pihak yang berkepentingan, misalnya
pemegang Hak Tanggungan kedua, ketiga, dan kreditor lain dari pemberi Hak
Tanggungan. Pengumuman melalui media massa selain surat kabar, dapat dilakukan
misalnya melalui radio atau televisi.
Apabila pemberi Hak Tanggungan atau debitor (dalam hal
debitor bukan pemilik objek Hak Tanggungan) ingin menghindari penjualan umum
(pelelangan) atas objek Hak Tanggungan, hal itu hanya dapat dilakukan apabila
pemberi Hak Tanggungan atau debitor melakukan pelunasan hutang yang dijamin
dengan Hak Tanggungan beserta biaya-biaya eksekusi yang telah dikeluarkan.
Pelunasan itu masih tetap dapat dilakukan sampai saat pengumuman untuk lelang
dikeluarkan.
C. Sanksi-sanksi administrative
Untuk menjamin kepastian hukum serta memberikan perlindungan
kapada pihak-pihak yang berkepentingan, ditetapkan sanksi administratif yang
dapat dikenakan kepada para pelaksana yang bersangkutan, atas pelanggaran atau
kelalaian dalam memenuhi berbagai ketentuan pelaksanaan tugasnya masing-masing.
Selain itu apabila mamanuhi syarat yang diperlukan, yang bersangkutan masih
dapat digugat secara perdata dan/atau dituntut pidana.
Sanksi administratif itu dapat berupa tegoran lisan, tegoran
tertulis, pemberhentian sementara dari jabatan atau pemberhentian tetap dari
jabatan, disesuaikan dengan berat ringannya pelanggaran atau kelalaian. Sanksi
ini tertuju kepada PPAT dan notaris.
Diposkan oleh Arkemo Tumanggor di 06.54