• Home
  • TwitterFacebookGoogle PlusLinkedInRSS FeedEmail

Legal Studies

Yakin Usaha Sampai

  • Home
  • Pofil
    • Fecebook
    • Instagram
    • Youtube
  • Hukum Perdata
    • Gugatan
      • Gugatan PMH
      • Gugatan Wanprestasi
    • Permohonan
      • Permohonan Penetapan Ahli Waris
      • Permohonan Perwalian
    • Banding
      • Memori Banding
      • Kontra Memori Banding
    • Kasasi
      • Memori Kasasi
      • Kontra Memori Kasasi
    • Peninjauan Kembali
  • Jenis-Jenis Surat
    • Surat Kuasa
      • Surat Kuasa Khusus
      • Surat Kuasa Umum
    • Surat Tugas
    • Surat Pernyataan
    • Surat Peringatan/Somasi
  • Lain-Lain
    • Hukum Ketenagakerjaan
      • Jabatan Yang Dilarang Untuk TKA
      • Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
    • Health
      • Childcare
      • Doctors
    • Uncategorized

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Showing posts with label Hak Tanggungan. Show all posts
Showing posts with label Hak Tanggungan. Show all posts

Wednesday, 30 December 2015

HAK TANGGUNGAN

12/30/2015  Hak Tanggungan  No comments

Fakultas Hukum Universitas Nasional

HAK TANGGUNGAN
OLEH:
LA ODE SUDARMIN







1.A. PENGERTIAN HAK TANGGUNGAN DARI BEBERAPA REFRENSI MAUPUN MENURUT PENDAT PARA AHLI
1.[1]PENGERTIAN HAK TANGGUNGAN
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sebagai induk peraturan perundang-undang tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan tanah, tidak mengatur secara tegas tentang Hak Tanggungan. Berdasarkan ketentuan Pasal 51 UUPA dinyatakan bahwa :
“Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan sebagaimana diatur dalam Pasal 25, 33 dan 39 diatur dengan undang-undang”.
Selanjutnya ketentuan Pasal 1 angka 1 UUHT pengertian Hak Tanggungan adalah:
“Hak Tanggungan adalah hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang selanjunya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah yang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah-tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya”
2. [2] Menurut Kartini Muljadi- Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan
Adalah suatu bentuk jaminan pelunasan hutang, dengan hak mendahulu, dengan objek (Jaminannya) berupa hak-hak atas tanah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun. 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau Undang-Undang Pokok Agraria.
3. [3] Hak Tanggungan adalah : Penguasaan atas tanah, berisi kewenangan bagi kreditur untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan. Tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitur cedera janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagian sebagai pembayaran lunas hutang debitur kepadanya.
4. [4] Menurut Sutarno SH.MM ,
Hak Tanggungan adalah jaminan yang adanya karena diperjanjikan terlebih dahulu antara Kreditor dengan Debitor, jaminan yang adanya atau lahirnya karena perjanjian ini akan menimbulkan jaminan khusus yang berupa jaminan kebendaan yaitu Hak Tanggungan/Hypotheek.Sebagaimana disebutkan bahwa Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang, keberadaan Hak Tanggungan memberikan suatu rasa aman kepada kreditur, karena kreditur berada pada posisi yang diutamakan dari pada kreditur lainnya, dalam arti apabila debitur-debitur tidak dapat melaksanakan kewajibannya (wanprestasi) kreditur pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak untuk menjual barang jaminan melalui suatu pelelangan umum terhadap tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan Peraturan Perundang - Undangan, kedudukan yang diutamakan ini dikecualikan apabila dalam hal-hal adanya piutang Negara yang harus diutamakan menurut ketentuan Peraturan Perundang - Undangan. 
KESIMPULAN PENGERTIAN HAK TANGGUNGAN
 Merurut analisis kami dari pengertian hak tanggungan ditas maka dapat di simpulkan bahwa hak tanggungan ialah suatu jaminan atas tanah sebagai syarat dalam fasilitas pembiayaan dengan jaminan sertifikat tanah
[5] B. CIRI CIRI HAK TANGGUNGAN
Ciri Ciri Hak Tanggungan
H. Salim, HS, S.H.,M.S., mengemukakan ciri daripada Hak Tanggungan , yaitu :
1.      Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada pemegangnya atau yang dikenal dengan droit de preference 
2.      Selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapapun benda itu berada atau disebut dengan droit de suite. Keistimewaan ini ditegaskan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 . Biarpun Objek Hak Tanggungan sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain, kreditur pemegang hak tanggungan tetap masih berhak untuk menjualnya melalui pelelangan umum jika debitur cedera janji.
3.      Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan; dan 
4.      Mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya. Dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 memberikan kemudahan dan kepastian kepada kreditur dalam pelaksanaan eksekusi. Selain ciri-ciri diatas, keistimewaan kreditur pemegang Hak Tanggungan juga dijamin melalui ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996. 
[6] CIRI-CIRI DAN SIFAT HAK TANGGUNGAN
Dalam Penjelasan Umum Undang-undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996 dikemukakan bahwa sebagai lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat, Hak Tanggungan harus mengandung ciri-ciri:
Droit de preferent
            Artinya memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya (Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 ayat 1). Dalam hal ini pemegang Hak Tanggungan sebagai kreditur memperoleh hak didahulukan dari kreditur lainnya untuk memperoleh pembayaran piutangnya dari hasil penjualan (pencairan) objek jaminan kredit yang diikat dengan Hak Tanggungan tersebut. Kedudukan kreditur yang mempunyai hak didahulukan dari kreditur lain (kreditur preferen) akan sangat menguntungkan kepada pihak yang bersangkutan dalam memperoleh pembayaran kembali (pelunasan) pinjaman uang yang diberikannya kepada debitur yang ingkar janji (wanprestasi).
Droit de suite
Artinya selalu mengikuti jaminan hutang dalam tangan siapapun objek tersebut berada (Pasal 7). Dalam Pasal 7 UUHT disebutkan bahwa Hak tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek itu berada. Sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Meskipun objek dari Hak Tanggungan sudah berpindah tangan dan menjadi milik pihak lain, kreditur masih tetap dapat menggunakan haknya melalui eksekusi, jika debitur cidera janji.
Memenuhi asas spesialitas dan publisitas
            Sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Berdasarkan hal tersebut maka sahnya pembebanan Hak Tanggungan disyaratkan wajib disebutkan dengan jelas piutang mana dan berapa jumlahnya yang dijamin serta benda-benda mana yang dijadikan jaminan (syarat spesialitas), dan wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan sehingga terbuka untuk umum (syarat publisitas).
Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya
Salah satu ciri Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya jika debitur cidera janji. Meskipun secara umum ketentuan mengenai eksekusi telah diatur dalam hukum acara perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus mengenai eksekusi Hak Tanggungan dalam Undang-undang ini, yaitu yang mengatur mengenai lembaga parate executie sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 HIR dan Pasal 258 Reglemen Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura. M. Bahsan , Op.Cit, hal.23-25
Hak Tanggungan memiliki sifat tidak dapat dibagi-bagi kecuali jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), seperti ditetapkan dalam Pasal 2 UUHT. Dengan sifatnya yang tidak dapat dibagi-bagi, maka Hak Tanggungan akan membebani secara utuh objek Hak tanggungan. Hal ini mengandung arti bahwa apabila hutang (kredit) yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan baru dilunasi sebagian, maka Hak Tanggungan tetap membebani seluruh objek Hak Tanggungan. Subekti, Op.Cit, hal. 41
Klausula “kecuali jika diperjanjikan dalam APHT” dalam Pasal 2 UUHT, dicantumkan dengan maksud untuk menampung kebutuhan perkembangan dunia perbankan, khususnya kegiatan perkreditan. Dengan menggunakan klausula tersebut, sifat tidak dapat dibagi-bagi dari Hak Tanggungan dapat disimpangi, yaitu dengan memperjanjikan bahwa apabila Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, maka pelunasan kredit yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran. Besarnya angsuran sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari objek Hak Tanggungan, yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut. Dengan demikian setelah suatu angsuran dibayarkan, Hak Tanggungan hanya akan membebani sisa objek Hak tanggungan untuk menjamin sisa kredit yang belum dilunasi (Penjelasan Pasal 2 ayat (1) jo ayat (2) UUHT).
Sifat lain dari Hak Tanggungan adalah Hak tanggungan merupakan accecoir dari perjanjian pokok, artinya bahwa perjanjian Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri, tetapi keberadaannya adalah karena adanya perjanjian lain yang disebut dengan perjanjian pokok. Perjanjian pokok bagi perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian hutang piutang yang menimbulkan hutang yang dijamin itu.
Sutan Remi Syahdeini, 1996, Hak Tanggungan: Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah-masalah yang dihadapi Oleh Pihak Perbankan, suatu Kajian Mengenai UUHT, Airlangga University Press, Surabaya, hal. 20
Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam butir 8 Penjelasan Umum UUHT yang memberikan penjelasan bahwa karena Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikatan atau accecoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian hutang piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaanya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya

[7] SIFAT HAK TANGGUNGAN
Hak tanggungan sebagai hak jaminan diatur dalam undang-undang nomor 4 tahun 1996 mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
1.    Hak tanggungan memberikan hak preferent (droit de preference) atau kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya (pasal 1 ayat 1)
Artinya apabila debitur cidera janji atau lalai membayar hutangnya maka seorang kreditur pemegang hak tanggungan mempunyai hak untuk menjual jaminan dan kreditur pemegang jaminan diutamakan untuk mendapatkan pelunasan hutang dari hasil penjualan jaminan tersebut.
2.    Hak tanggungan tidak dapat dibagi-bagi (pasal 2)
Artinya hak tanggungan membebani secara utuh objek hak tanggungan dan setiap bagian daripadanya. Pelunasan sebagian hutang dari hutang yang dijamin tidak terbebasnya sebagian objek hak tanggungan untuk sisa utang yang belum dilunasi
3.    Hak tanggungan mempunyai sifar Droit De Suite (pasal 7)
Sifat droit de suite disebut juga zaaksgevolgs artinya pemegang hak tanggungan mempunyai hak memiliki objek tanggungan meskipun objek hak tanggungan telah berpindah dan menjadi pihak lain.
4.    Hak Tanggungan mempunyai sifat Accesoir
Artinya seperti perjanjian jaminan lainnya Hak tanggungan bersifat accesoir artinya hak tanggungan bukanlah hak yang berdiri sendiri tapi lahirnya atau keberdaannya atau eksistensinya atau hapusnya tergantung perjanjian pokonya yaitu perjanjian kredit atau perjanjian lainnya
5.    Hak tanggungan untuk menjamin utang yang telah ada atau aka nada
Fungsi hak tanggungan adalah untuk menjamin utang yang besaranya diperjanjikan dalam perjanjian kredit atau perjanjian utang. Utang yang dijamin hak tanggungan harus memenuhi syarat pasal 3 Undang-undang Hak tanggungan.

6.    Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan kepada hak atas tanah saja
Pada dasarnya hak tanggungan hanya dibebankan pada hak atas tanah saja. Hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan sesuai dengan undang-undang pokok agraria yaitu hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai atas tanah Negara yang menurut sifatnya dapat dipindahtangankan (pasal 4 ayat 1UUHT).
Asas ini perwujudan dari system hokum tanah nasional yang didasarkan pada hokum adat yang menggunakan asas pemisahan horizontal
7.    Hak Tanggungan dapat dibebankan pada hak atas tanah berikut benda diatasnya dan dibawah tanah
Meskipun hokum tanah nasional menganut asas pemisahan horizontal namun tidak berlaku mutlak, untuk memenuhi perkembangan dan kebutuhan masyarakat pembebanan hak tanggungan dimungkinkan meliputi benda yang ada di atas tanah dan merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan bangunan dibawah permukaan tanah.
8.    Hak tanggungan berisi hak untuk melunasi hutang dari hasil penjualan benda jaminan dan tidak memberikan hak bagi kreditur untuk memiliki benda jaminan
Sifat ini sama dengan ketentuan dalam hipotik pasal 1178 ayat 1 KUHPerdata, janji disebut vervalbending. Undang-undang Hak tanggungan mengikuti sifat dari hipotik ini dan mencantumkan dalam pasal 12 UUHT.
9.    Hak tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial
Kreditur sebagai pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk mengeksekusi benda jaminan jika debitur cidera janji. Dasar hokum untuk mengajukan eksekusi adalah pasal 6 UUHT dan penjelasan yang menegaskan “apabila debitur cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut” hak untuk menjual dengan kekuasaan sendiri ini merupakan perwujudan dari kedudukan yang diutamakan.
10. Hak tanggungan mempunyai sifat spesialitas dan publisitas
Sifat spesialtas ini disebut juga pertelaan adalah uraian jelas dan terinci mengenai objek hak tanggungan yang meliputi rincian mengenai sertifikat hak atas tanah misalnya hak atas tanah milik atau guna bangunann atau hak guna usaha, tanggal penerbitannya tentang luasnya, letaknya, batas-batasnya, dan lain sebagainya.
11. Objek hak tanggungan berupa hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang pokok-pokok agraria yang meliputi hak milik, hak guna bangunan dan hak guna usaha

[8] C. ASAS ASA HAK TANGGUNGAN
HAK TANGGUNGAN MEMBERIKAN KEDUDUKAN HAK YANG DIUTAMAKAN
Asas ini menyebutkan bahwa pemegang hak tanggungan diberikan kedudukan yang diutamakan terhadap kreditur lainnya.  Yang dimaksudkan dengan memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor lain, adalah : “Bahwa jika debitor cidera janji, maka kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain”. Jadi hak mendahulukan dimaksudkan adalah bahwa kreditor pemegang Hak Tanggungan didahulukan dalam mengambil pelunasan atas hasil penjualan eksekusi obyek Hak Tanggungan. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang Negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku .
Kedudukan preferen berkaitan dengan hasil eksekusi, hal ini nampak jelas bila dihubungkan dengan  Pasal 1132 BW yang pada asasnya para kreditor berbagi pond’s-pond’s atas hasil eksekusi harta benda milik debitor. Dengan adanya pembebanan  Hak Tanggungan tersebut maka kreditor menjadi preferen atas hasil penjualan benda tertentu milik debitor, dan ia berhak mengambil lebih dahulu uang hasil eksekusi Hak Tanggungan. Meskipun pada Penjelasan Umum UUHT tersebut tidak disebutkan apakah piutang-piutang Negara yang berkaitan dengan obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan saja, ataukah mengenai semua piutang-piutang Negara yang menjadi kewajiban debitor yang bersangkutan.
HAK TANGGUNGAN TIDAK DAPAT DIBAGI-BAGI
Hak Tanggungan memiliki sifat yang tidak dapat dipungkiri yakni Pertama Tidak dapat dibagi-bagi (ondeelbaar), berarti Hak Tanggungan membebani secara utuh obyeknya dan setiap bagian daripadanya. Pelunasan sebagian utang yang dijamin tidak membebaskan sebagian obyek dari beban Hak Tanggungan, tetapi Hak Tanggungan tetap membebani seluruh obyeknya untuk sisa utang yang belum dilunasi.
Hak Tanggungan memiliki sifat yang tidak dapat dibagi-bagi, hal ini sesuaiketentuan dalam Pasal 2 UU Nomor 4 Tahun 1996, dinyatakan bahwa:
Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali  jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) Apabila hak tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, dapat diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan, bahwa pelunasan utang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanahyang merupakan bagian dari objek Hak Tanggungan, yang akan dibebankan dari Hak Tanggungan tersebut, sehingga kemudian Hak Tanggungan itu hanya membebani sisa objek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa utang yang belum dilunasi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU Nomor 4 Tahun 1996 di atas, dalam penjelasannya dinyatakan bahwa:
Yang dimaksud dengan sifat tidak dapat dibagi-bagi dari Hak Tanggungan adalah bahwa Hak Tanggungan membebani secarautuh objek Hak Tanggungan dan setiap bagian daripadanya, dilunasinya sebagian dari utang yang dijamin tidak berarti  terbebasnya sebagian objek Hak Tanggungan dari beban Hak Tanggungan untuk sisa utang yang belum dilunasi.
Ketentuan ini merupakan pengecualian dari asas yang ditetapkan
pada ayat (1) untuk menampung kebutuhan perkembangan dunia perkreditan,antara lain untuk mengakomodasi keperluan pendanaan pembangunan kompleks perumahan yang semula menggunakankredit untuk pembangunan seluruh kompleks kemudian akan dijual kepada pemakai satu per satu, sedangkan untuk pembayarannya pemakai akhir ini juga menggunakan kredit dengan jaminan rumahyang bersangkutan.
Sesuai ketentuan ayat ini apabila Hak Tanggungan itu dibebankan pada beberapa hak atas tanah yang terdiri dari beberapa bagian yang masing-masing merupakan suatu kesatuan yang berdiri sendiri dan dapat dinilai secara tersendiri, asas tidak dapat dibagi-bagi ini dapat disimpangi asal hal itu diperjanjikansecara tegas dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.
HAK TANGGUNGAN HANYA DIBEBANKAN PADA HAK ATAS TANAH YANG TELAH ADA
Secara yuridis formal asas yang menyatakan bahwa Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada diatur dalam : Pasal 8 ayat (2) dinyatakan bahwa kewenangan untuk melakukan perbuatan hukumterhadap objek Hak Tanggungan harus ada pada pemberi Hak Tanggunganpada saat pendaftaran Hak Tanggungan. Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yang telah dimiliki oleh pemegang Hak Tanggungan. Oleh karena itu, hak atas tanah yang baru akan dipunyai oleh seseorang di kemudian hari tidak dapat dijaminkan dengan Hak Tanggungan bagi pelunasansuatu utang. Begitu juga tidaklah mungkin untuk membebankan Hak Tanggungan pada suatu hak atas tanah yang baru akan ada di kemudian hari. Asas,ini juga merupakan asas yang sebelumnya sudah dikenal di dalamhipotek. Menurut Pasal 1175 KUH Perdata, hipotek hanya dapat dibebankan atas benda-benda yang sudah ada. Hipotek atas benda-benda baru akan ada di kemudian hari adalah batal .
HAK TANGGUNGAN DAPAT DIBEBANKAN SELAIN ATAS TANAHNYA JUGABENDA-BENDA YANG  BERKAITAN DENGAN TANAH TERSEBUT
Dalam kenyataannya Hak Tanggungan dapat dibebankan bukan saja padatanahnya, tetapi juga segala benda yang mempunyai keterkaitan dengan tanah tersebut. Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 4 ayat (4) UU Nomor 4 Tahun 1996, dinyatakan:
Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (4) di atas, dapat disimpulkan bahwayang dapat dijadikan jaminan selain benda-benda yang berkaitan dengan tanah, juga benda-benda yang bukan dimiliki oleh pemegang hak atas tanah tersebut
HAK TANGGUNGAN DAPAT DIBEBANKAN JUGA ATAS BENDA-BENDA YANGBERKAITAN DENGAN TANAH YANG BARU AKAN ADA DI KEMUDIAN HARI
Meskipun Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah yang telah ada, sepanjang Hak Tanggungan itu dibebankan pula atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah, ternyata pada Pasal 4 ayat (4) memungkinkan Hak Tanggungan dapat dibebankan pula atas benda-benda yang berkaitandengan tanah tersebut, sekalipun benda-benda tersebut belum ada, tetapi baru akan ada di kemudian hari.
lebih jauh St. Remy Sjandeini mengatakan bahwa dalam pengertian “yangbaru akan ada” ialah benda-benda yang pada saat Hak Tanggungan dibebankan belum ada sebagai bagian dari tanah (hak atas tanah) yangdibebani Hak Tanggungan tersebut. Misalnya karena benda-benda tersebut baru ditanam (untuk tanaman) atau baru dibangun (untuk bangunan dan hasil karya) kemudian setelah Hak Tanggungan itu dibebankan atas tanah(hak atas tanah) tersebut. Sejalan dengan asas yang berlaku di dalam Hak Tanggungan di atas, dalamkenyataannya hal tersebut sama dengan ketentuan dalam Pasal 1165 KUH IPerdata bahwa setiap hipotek meliputi juga segala apa yang menjadi satudengan benda itu karena pertumbuhan atau pembangunan. Dengan katalain, tanpa harus diperjanjikan terlebih dahulu, segala benda yang berkaitandengan tanah yang baru akan ada di kemudian hari demi hukum terbebanipula dengan hipotek
PERJANJIAN HAK TANGGUNGAN ADALAH PERJANJIAN ACCESOIR
Hak Tanggungan hanya merupakan ikatan (“accessoir”) dari perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang. Keberadaan, berakhir dan hapusnya Hak Tanggungan dengan sendirinya tergantung pada utang yang dijamin pelunasannya tersebut.
Perjanjian Hak Tanggungan bukanlah merupakan perjanjian yang berdiri sendiri, akan tetapi mengikuti perjanjian yang terjadi sebelumnya yangdisebut perjanjian induk. Perjanjian induk yang terdapat pada Hak Tanggungan adalah perjanjian utang-piutang yang menimbulkan utang yang dijamin. Perjanjian yang mengikuti perjanjian induk ini dalam terminologi hukum. Belanda disebut perjanjian accessoir Penegasan terhadap asas accesoir ini, dijelaskan dalam poin 8 penjelasanUU Nomor 4 Tahun 1996 yang menyatakan bahwa:
Oleh karena Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutanatau accessoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan padasuatu perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain, maka kelahirandan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya.
Selain penegasan yang termuat dalam penjelasan umum poin 8 di atas,secara tegas diatur dalam Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (1) UUNomor 4 ‘Tahun 1996. Dalam Pasal 10 ayat (1) dinyatakan bahwa perjanjianuntuk memberikan Hak Tanggungan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian Utang-piutang yang bersangkutan, sedangkan Pasal 18 ayat (1) huruf a menyatakan bahwa Hak Tanggungan hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan.
HAK TANGGUNGAN DAPAT DIJADIKAN JAMINAN UNTUK UTANG YANG AKAN ADA 
Salah satu keistimewaan dari Hak Tanggungan adalah diperbolehkannya menjaminkan utang yang akan ada. Hal ini sesuai ketentuan dalam
Pasal 3ayat (1) UUHT yang menyatakan bahwa: Utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dapat berupautang yang telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu atau jumlah yang pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian utang-piutang atauperjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang-piutang yang bersangkutan. Berkaitan dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUHT di atas, St. RemySjahdeini mengatakan bahwa Seperti yang dikemukakan dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) UUHT, dapat dijadikannya Hak Tanggungan untuk menjamin utang yang baru akan ada dikemudian hari adalah untuk menampung kebutuhan dunia perbankan berkenaan dengan timbulnya utang dari nasabah bank sebagai akibat dilakukannya pencairan atas suatu garansi bank. Juga untuk menampung timbulnya utang sebagai akibat pembebanan bunga atas pinjaman pokokdan pembebanan ongkos-ongkos lain yang jumlahnya baru dapat ditentukankemudian.Sehubungan dengan terjadinya Hak Tanggungan terhadap utang yang baruada, St. Remy Sjahdeini memberikan contoh, yaitu utang yang timbulsebagai akibat nonpayment L/C ekspor oleh opening bank di luar negeri atas penyerahan dokumen-dokumen ekspor yang mengandung discrepancies (dokumen-dokumen yang diserahkan tidak sesuai dengansyarat-syarat yang ditentukan dalam L/C), sedangkan sementara itu negotiating/paying bank (I i dalam negeri telah mengambil alih dokumen-dokumen tersebut dan telah membayarkan utangnya kepada eksportir. Apabila karena nonpayment tersebut eksportir tidak mampu dengan seketika membayar kembali dana yang telah dibayarkan oleh negotiating/paying bank kepadanya itu dan terpaksa diutang, utang yang timbul adalah utang yang muncul kemudian setelah Hak Tanggungan dibebankan.Selain persyaratan yang telah dikemukakan di atas, masih terdapat persyaratan yang lain, yaitu utang yang baru akan ada di kemudian hariharus telah diperjanjikan terlebih dahulu. St. Remy Sjahdeini menyatakan Mengingat ketentuan Pasal 3 ayat (1) di atas, adalah mutlak bahwa bankclan nasabah harus terlebih dahulu telah diperjanjikan di muka atas utangyang baru akan ada di kemudian hari yang timbul sebagai akibat pencairan bank garansi yang merupakan  fasilitas dari bank yang telah diterima olehnasabah atau yang timbul sebagai akibat terjadinya payment atas L/Ceskspor yang diterima nasabah dari luar negeri melalui bank yangbersangkutan. Dengan kata lain, selain dari adanya garansi bank (Jaminanbank), dan Letter of Credit yang diteruskan oleh bank kepada eksportir,mutlak harus ada pula perjanjian kredit antara bank dan nasabah untuk menampung timbulnya utang nasabah debitor apabila garansi bank dicairkan atau apabila terjadinya payment terhadap L/C tersebut. Dengan demikian, perjanjian kredit tersebut merupakan stand-by-loan agreement. Sementara itu, sikap hipotek sama dengan sikap yang terdapat dalam UUHT mengenai dapatnya Hak Tanggungan dibebani terhadap utang yang akanadadi kemudian hari. Hal ini diatur dalam Pasal 1176 KUH Perdata dinyatakanbahwa: Suatu hipotek hanyalah sah, sekadar jumlah utang untuk mana istilah diberikan, adalah tentu dan ditetapkan dalam kata. Jika utang bersyarat ataupun jumlahnya tidak tertentu maka pemberian hipotek senantiasa adalah sah sampai jumlah harga-taksiran, yang para pihak diwajibkan menerangkannya di dalam aktanya. Beranjak dari ketentuan Pasal 1176 KUH Perdata di atas, maka penegasan dapat dilihat dalam Putusan H.R. 30 Januari 1953 N.J. 1953, 578 yangmembenarkan bahwa hipotek boleh diberikan untuk menjamin utang yangpada saat hipotek itu dipasang, belum seluruhnya diserahkan oleh kreditor kepada debitor atau digunakan oleh kreditor kepada debitor atau digunakan debitor.
HAK TANGGUNGAN DAPAT MENJAMIN LEBIH DARI SATU UTANG
Kelebihan dari Hak Tanggungan adalah berlakunya asas bahwa HakTanggungan dapat menjamin lebih dari satu utang. Hal ini sesuai ketentuandalam Pasal 3 ayat (2) dinyatakan bahwa:Hak Tanggungan dapat diberikan untuk suatu utang yang berasal dari satu hubungan hukum atau untuk satu utang atau lebih yang berasal dari beberapa hubunganhukum.Dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 3 ayat (2) di atas, maka dalampenjelasan Pasal 3 ayat (2) dinyatakan bahwa: Sering kali terjadi debitor berutang kepada lebih dari satu kreditor masing-masing didasarkan pada perjanjian utang-piutang yang berlainan, misalnya kreditor adalah suatu bank dan suatu badan afiliasi bank yang bersangkutan. Piutang pada kreditor tersebut dijamin dengan suatu Hak Tanggungan kepada semua kreditor dengan satu akta pemberian Hak Tanggungan. Hak Tanggungan tersebut dibebankan atas tanah yang sama.Bagaimana hubungan para kreditor satu dengan yang lain, diatur olehmereka sendiri, sedangkan dalam hubungannya dengan debitor danpemberi Hak Tanggungan kalau bukan debitor sendiri yang memberinya,mereka menunjuk salah seorang kreditor yang akan bertindak atas Hama mereka. Misalnya mengenai siapa yang akan menghadap PPAT dalam pemberian Hak Tanggungan yang diperjanjikan dan siapa yang akan menerima dan menyimpan sertifikat Hak Tanggungan yang bersangkutan. Dengan berlakunya asas ini, St. Remy Sjahdeini memberikan tanggapan dengan menyatakan bahwa:
Perjanjian dengan hanya berupa satu Hak Tanggungan bagi beberapa kreditor berdasarkan beberapa perjanjian kredit bilateral antara debitor yangsama dengan masing-masing kreditor itu, hanyalah mungkin dilakukan apabila sebelumnya (sebelum kredit diberikan oleh kreditor-kreditor itu) telah disepakati oleh semua kreditor. Kesemua kreditor bersama-sama harus bersepakat bahwa terhadap kredit yang akan diberikan oleh masing-masing kreditor (bank) kepada satu debitor yang sama itu, jaminannya adalah berupa satu Hak Tanggungan saja bagi meraka bersama-sama kredit dari  kesemua kreditor diberikan secara serentak. Bila tidak demikian halnya,para kreditor itu akan menjadi pemegang Hak Tanggungan pertama, kedua,ketiga, dan seterusnya. Masing-masing kreditor past akan soling mendahulu untuk memperoleh hak yang diutamakan terhadap kreditor yang lain.
HAK TANGGUNGAN MENGIKUTI OBJEKNYA DALAM TONGAN SIAPA PUNOBJEK HAK TANGGUNGAN ITU BERADA
Asas Hak Tanggungan memiliki berbagai kelebihan karena undang-undang memberikan prioritas terhadap pemegang Hak Tanggungan dibandingkandengan pemegang hak-hak lainnya. Salah satu asas selain asas yang telah diuraikan di atas, adalah asas Hak Tanggungan mengikuti objek di manapun objek itu berada Hal ini sesuai ketentuan Pasal 7 UU Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan bahwa Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapa pun objek tersebut berada. Menurut St. Remy Sjahdeini, hak tanggungan tidak akan berakhir sekalipunobjek Hak Tanggungan itu beralih kepada pihak lain oleh sebab apa pun juga. Berdasarkan asas ini, pemegang Hak Tanggungan akan selalu dapat melaksanakan haknya dalam tangan siapa pun benda itu berpindah.Ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) inimerupakan materialisasi dari asas yang disebut
droit de suite atau zaakgevolg
Asas ini juga diambil dari hipotek yang diatur dalam KUHPerdata Pasal 1163 ayat (2) dan Pasal 1198 KUH Perdata.”Sejalan dengan pendapat St. Remy Sjahdeini di atas, maka menurut MariamDaruz Badrulzaman bahwa :
Asas ini seperti halnya dalam Hipotek, memberikan hak kebendaan(zakelijkrecht). Hak Kebendaan dibedakan dengan hak perorangan (persoonlijkrecht). Hak kebendaan adalah hak mutlak. Artinya, hak ini dapat dipertahankan terhadap siapa pun. Pemegang hak tersebut berhak untuk menuntut siapa pun juga yang mengganggu haknya itu. Dilihat secara pasif setiap orang wajib menghormati hak itu. Sedangkan hak perorangan adalah relatif. Artinya, hak ini hanya dapat dipertahankan terhadap debitor tertentusaja. Hak tersebut hanya dapat dipertahankan terhadap debitor itu saja. Secara pasif dapat dikatakan bahwa seseorang tertentu wajib melakukan prestasi terhadap pemilik dari hak itu.
DI ATAS HAK TANGGUNGAN TIDAK DAPAT DILETAKKAN SITA OLEH PERADILAN
Alasan kehadiran asas Hak Tanggungan tidak dapat diletakkan sita oleh peradilan merupakan respons terhadap seringnya peradilan meletakkan sita terhadap hak atas tanah yang di atasnya diletakkan hipotek. St. RemySjahdeini mengatakan bahwa: Memang seharusnya menurut hukum terhadap Hak Tanggungan tidak dapat diletakkan sita. Alasannya adalah karena tujuan dari (diperkenankannya) hak jaminan pada umumnya dan khususnya Hak Tanggungan itu sendiri.Tujuan dari Hak Tanggungan adalah untuk memberikan jaminan yang kuatbagi kreditor yang menjadi pemegang Hak Tanggungan itu untukdidahulukan dari kreditor-kreditor lain. Bila terhadap Hak Tanggungan itu dimungkinkan sita oleh pengadilan, berarti pengadilan mengabaikan bahkan meniadakan kedudukan yang diutamakan dan kreditor pemegang Hak Tanggungan. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh St. Remy Sjahdeini di atas,maka dalam perkembangannya sebelum diundangkannya UU Nomor 4 Tahun 1996 telah direspons oleh Mahkamah Agung dengan putusannyaNomor 394k/Pdt/ 1984 tanggal 31 Mei 1985 dengan amar putusannya berbunyi bahwa barangbarang yang sudah dijadikan jaminan utang (dalam perkara tersebut adalah jaminan utang kepada Bank Rakyat Indonesia Cabang Gresik) tidakdapat diletakkan sita jaminan.
HAK TANGGUNGAN HANYA DAPAT DIBEBANKAN ATAS TANAH TERTENTU
Asas yang berlaku terhadap Hak Tanggungan yang hanya dapat dibebankan hanya atas tanah tertentu, diilhami oleh asas yang juga berlaku di dalam hipotek, yaitu yang diatur Pasal 1174 KUH Perdata. Sementara ituasas ini diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 11 huruf c UU Nomor 4 Tahun 1996. Dalam Pasal 8 UU Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan bahwa: Pemberi Hak Tanggungan adalah orang-perseorangan atau badan hukumyang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan untuk meletakkan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan, harus ada padapemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan. Berkaitan dengan ketentuan Pasal 8 di atas, maka dalam penjelasan Pasal8 ayat (2) dinyatakan bahwa: Karena lahirnya Hak Tanggungan adalah pada saat didaftarnya Hak Tanggungan tersebut, maka kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan diharuskan ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pembuatan buku-tanah Hak Tanggungan. Untuk ituharus dibuktikan keabsahan kewenangan tersebut pada saat didaftarnya Hak Tanggungan yang bersangkutan. (Ibid., hlm. 42)Berkaitan dengan ketentuan Pasal 8 UU Nomor 4 Tahun 1996 di atas, selanjutnya ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf e menyatakan bahwa uraianyang jelas mengenai objek Hak Tanggungan. Menurut St. Remy Sjahdeini bahwa: Di dalam akta pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan uraian jelasmengenai objek Hak Tanggungan, tidaklah mungkin untuk memberikan uraian yang jelas sebagaimana yang dimaksud itu apabila objek Hak Tanggungan belum ada dan belum diketahui ciri-cirinya.Kata-kata “uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan ” dalamPasal 11 ayat (1) huruf e menunjukkan bahwa objek Hak Tanggungan harussecara spesifik dapat ditunjukkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.”Beranjak dari uraian yang dikemukakan oleh St. Remy Sjandeini mengenai asas tersebut, lebih lanjut beliau mengatakan bahwa: Walaupun demikian, sepanjang dibebankan atas “benda-benda yangberkaitan dengan tanah tersebut”, Hak Tanggungan dapat dibebankan atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut, yang baru akan ada,sepanjang hal itu telah diperjanjikan secara tegas. Karena belum dapat diketahui apa wujud dari benda-benda yang berkaitan-dengan tanah itu, juga karena baru akan ada di kemudian hari, hal itu berarti asas spesialitas tidak berlaku sepanjang mengenai “benda-benda yang berkaitan dengan tanah “
HAK TANGGUNGAN WAJIB DIDAFTARKAN
Dalam kaitannya dengan asas Hak Tanggungan wajib didaftar, hal ini sesuai ketentuan Pasal 13 UU Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan: Bahwa pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan, PPAT wajibmengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan danwarkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan. Pendaftaran HakTanggungan dilakukan oleh kantor Pertanahan dengan membuatkan buku-tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku-tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan Berta menyalin catatan tersebut padasertifikat hak atas tanah yang bersangkutan. Sejalan dengan ketentuan Pasal 13 di atas, St. Remy Sjahdeini menyatakan bahwa: Adalah tidak adil bagi pihak ketiga untuk terikat dengan pembebanan suatu Hak Tanggungan atas suatu objek Hak Tanggungan bila pihak ketiga tidak dimungkinkan untuk mengetahui tentang pembebanan Hak Tanggungan itu. Hanya dengan cara pencatatan pendaftaran yang terbuka bagi umum yang memungkinkan pihak ketiga dapat mengetahui tentang adanya pembebanan Hak Tanggungan atas suatu hak atas tanah. Lebih jauh St. Remy Sjahdeini mengatakan bahwa asas publisitas ini juga merupakan pasal hipotek sebagaimana ternyata dalam Pasal 1179 KUHPerdata yang dinyatakan bahwa pembukuan Hipotek harus dilakukan dalam register-register umum yang memang khusus disediakan untuk itu. Jika pembukuan demikian tidak dilakukan, Hipotek yang bersangkutan tidakmempunyai kekuatan apa pun, juga tidak mempunyai kekuatan terhadap kreditor-kreditor preferen (yang tidak dijaminkan dengan Hipotek).
HAK TANGGUNGAN DAPAT DIBERIKAN DENGAN DISERTAI JANJI-JANJI TERTENTU
Asas Hak Tanggungan dapat diberikan dengan disertai janji-janji tertentu diatur dalam Pasal 11 ayat (2) yang dinyatakan sebagai berikut: Dalam Akta pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji antara lain:
a.       janji yang membatasi pemberian Hak Tanggungan untuk menyewakan objek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sews dan/atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan
b.      janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untukmengubah bentuk atau tats susunan objek Hak Tanggungan, kecualidengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang HakTanggungan
c.       janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang HakTanggungan untuk mengelola objek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputiletak objek Hak Tanggungan apabila debitor sungguh-sungguh cedera janji
d.      janji yang memberi kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan objek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukanuntuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya stall dibatalkannya hak yang menjadi objek Hak Tanggungan karenatidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang
e.       janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untukmenjual atas kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan apabila debitor cedera janji
f.       janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa,objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan
g.      janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknyaatau objek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu daripemegang Hak Tanggungan
h.      janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila objek Hak Tanggungan dilepaskanhaknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untukkepentingan umum
i.        janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau  sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika objek Hak Tanggungan diasuransikan;
j.        janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan objek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan. Berangkat dari ketentuan  Pasal 1 ayat (2) di atas, maka menurut St. RemySjahdeini, janji-janji yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT itu bersifat fakultatif dan limitatif. Bersifat fakultatif karena janji-janji itu boleh dicantumkan atau tidak dicantumkan, balk seluruhnya maupun sebagiannya, Bersifat tidak limitatif karena dapat pula diperjanjikan janji-janji lain, selain dari janji-janji yang telah disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2).
HAK TANGGUNGAN TIDAK BOLEH DIPERJANJIKAN UNTUK DIMILIKI SENDIRI OLEH PEMEGANG HAK TANGGUNGAN APABILA CEDERA JANJI
Asas Hak Tanggungan yang mencanturnkan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki sendiri oleh pemegang Hak Tanggungan bila cedera janji, sebenarnya beralasan dari asas yang tercantum dalam Hipotek sesuai ketentuan Pasal 1178 KUH Perdata, yang janji demikian tersebut disebut Vervalbeding Pengaturan asas Hak Tanggungan yang tidak bolehdiperjanjikan untuk dimilik sendiri oleh pemegang Hak Tanggungan bila cedera janji diatur Pasal 12 U I I Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan bahwa, janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek Hak Tanggungan apabila debitor cedera janji, batal demi hukum. Dalam penjelasan Pasal 12 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT)dinyatakan bahwa, ketentuan ini diadakan dalam rangka melindungi kepentingan debitor dan pemberi Hak Tanggungan lainnya, terutama jika nilai objek Hak Tanggungan melebihi besarnya utang yang dijamin.Pemegang Hak Tanggungan dilarang untuk secara serta merta menjadi pemilik objek Hak Tanggungan karena debitor cedera janji. Walaupun demikian tidaklah dilarang bagi pemegang Hak Tanggungan untuk menjadi pembeli objek Hak Tanggungan asalkan melalui prosedur yang diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT).Sejalan dengan penjelasan Pasal 12 UUHT di atas, St. Remy Sjahdeini”mengatakan: Larangan pencantuman janji yang demikian, dimaksudkan untuk melindungi debitor, agar dalam kedudukan yang lemah dalam menghadap kreditor (bank) karena dalam keadaan sangat membutuhkan utang (kredit) terpaksa menerima janji dengan persyaratan yang berat dan merugikannya.
PELAKSANAAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN MUDAH DAN PASTI
Pencantuman asas Hak Tanggungan ini berkaitan dengan mencegah terjadinya cedera janji yang dilakukan pemegang Hak Tanggungan. Oleh karena itu, apabila terjadi cedera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mendapatkan prioritas pertama menjual objek Hak Tanggungan.
Hal ini sesuai ketentuan Pasal 6 UUHT dinyatakan bahwa:Apabila debitor cedera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaansendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.Berkaitan dengan ketentuan Pasal 6 UUHT di atas, dalam penjelasan Pasal6 tersebut dijelaskan sebagai berikut: Hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan atau pemegang HakTanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan bahwa apabila debitor cedera janji, pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemegang Hak Tanggungan.Dengan mengacu pada ketentuan Pasal 6 di atas, maka apabila debitor cedera janji, hal ini dapat dimintakan untuk melaksanakan eksekusi atauyang lazim disebut parate eksekusi. Oleh karena itu, parate eksekusi yang terdapat di dalam Hipotek berbeda dengan parate eksekusi yang terdapat didalam Hak Tanggungan.
Pada parate eksekusi yang terdapat pada Hipotek,pemegang Hipotek hanya mempunyai hak untuk melakukan parate eksekusi apabila sebelumnya telah diperjanjikan hal yang demikian itu dalampemberian Hak Hipoteknya.Sementara dalam Hak Tanggungan, hak pemegang Hak Tanggungan untuk dapat melakukan parate eksekusi adalah hak yang diberikan oleh Pasal 6UUHT atau dengan kata lain, diperjanjikan atau tidak diperjanjikan, hak itu demi hukum dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan.Sertifikat Hak Tanggungan yang merupakan tanda bakti adanya Hak Tanggungan yang diberikan oleh Kantor Pertanahan dan yang memuatirahirah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlalu sebagai pengganti grosse acte Hipotek sepanjang mengenai tanah.”

[9]  D. Kedudukan Kreditor
Hak tanggungan tidak dapat berdiri sendiri tanpa didukung oleh suatu perjanjian (perjanjian kredit) antara debitor dan kreditor. Dalam perjanjian itu diatur tentang hubungan hukum antara kreditor dan debitor, baik menyangkut besarnya jumlah kredit yang diterima oleh debitor, jangka waktu pengembalian kredit, maupun jaminan yang nantinya akan diikat dengan hak tanggungan. Oleh karena hak tanggungan tidak dapat dilepaskan dari perjanjian kredit, itulah sebabnya maka hak tanggungan dikatakan accessoir (mengikuti) perjanjian pokoknya.
Kredit yang diberikan oleh kreditor mengandung resiko, maka dalam setiap pemberian kredit, bank tidak diperkenankan memberikan kredit tanpa ada suatu perjanjian tertulis. Itu sebabnya diperlukan suatu jaminan kredit dengan disertai keyakinan akan kemampuan debitor melunasi utangnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 8 UU Perbankan No.7/1992 yang menyatakan dalam memberikan kredit, bank umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitor untuk melunasi hutangnya sesuai yang diperjanjikan.
Dalam menjalankan suatu perjanjian khususnya dalam perjanjian kredit, para pihak (debitor, kreditor) selalu dibebani dua hal yaitu hak dan kewajiban Oleh Subekti (1979:29) mengatakan suatu perikatan yang dilahirkan oleh suatu perjanjian, mempunyai dua sudut: sudut kewajiban-kewajiban (obligations) yang dipikul oleh suatu pihak dan sudut hak-hak atau manfaat, yang diperoleh oleh lain pihak, yaitu hak-hak menurut dilaksanakannya sesuatu yang disanggupi dalam perjanjian itu.Jadi hak tanggungan merupakan jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberi kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya.
Maksud dari kreditor diutamakan dari kreditor lainnya yaitu apabila debitor cidera janji, kreditor pemegang hak tanggungan dapat menjual barang agunan melalui pelelangan umum untuk pelunasan utang debitor. Kedudukan diutamakan tersebut tentu tidak mempengaruhi pelunasan utang debitor terhadap kreditor-kreditor lainnya. Hukum mengenai perkreditan modern yang dijamin dengan hak tanggungan mengatur perjanjian dan hubungan utang-piutang tertentu antara kreditor dan debitor, yang meliputi hak kreditor untuk menjual lelang harta kekayaan tertentu yang ditunjuk secara khusus sebagai jaminan (obyek hak tanggungan) dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut jika debitor cidera janji.
Kreditor pemegang hak tanggungan mempunyai hak mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain (“droit de preference”) untuk mengambil pelunasan dari penjualan tersebut. Kemudian hak tanggungan juga tetap membebani obyek hak tanggungan ditangan siapapun benda itu berada, ini berarti bahwa kreditor pemegang hak tanggungan tetap berhak menjual lelang benda tersebut, biarpun sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain (“droit de suite”) (Boedi Harsono, 1999:402).
Dalam hal terjadinya pengalihan barang jaminan kepada pihak lain tanpa seizing pihak kreditor maka kreditor dapat mengajukan action pauliana yaitu hak dari kreditor untuk membatalkan seluruh tindakan kreditor yang dianggap merugikan. Dengan demikian, dalam perjanjian tanggungan, pihak kreditor tetap diberikan hak-hak yang dapat menghindarkannya dari praktek-praktek “nakal” debitor atau kelalaian debitor.



[10] E. OBJEK HAK TANGGUNGAN
1.      Hak Milik
Hak milik adalah hak turun-temurun , terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 , bahwa “semua hak tanah mempunyai fungsi sosial”.  Sifat-sifat hak milik yang membedakannya dengan hak-hak lainnya adalah hak yang “terkuat dan terpenuh”, maksudnya untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dipunyai orang, hak miliklah yang paling kuat dan penuh Pengaturan mengenai hak milik tercantum dalam Pasal 20-27 UUPA. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Yang dapat menjadi subjek hak milik:
-          WNI; 
-          Badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya ditetapkan oleh pemerintah; 
-          Orang-orang asing yang sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan. 
Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah, selain itu bisa terjadi karena Penetapan Pemerintah atau ketentuan Undang-Undang. Setiap peralihan, hapusnya dan pembeban hak milik dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Hal ini dibuktikan dengan penerbitan sertifikat oleh Kantor Pertanahan setempat (Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997). Hak milik dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.
Hak milik hapus bila: 
a) Tanahnya jatuh kepada negara, 
- karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18; 
- karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya; 
- karena ditelantarkan; 
- karena ketentuan pasal ayat (3) dan 26 ayat (2). 
b) Tanahnya musnah. 

2. Hak Guna Usaha (HGU)
Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu paling lama 25 tahun. Hak Guna Usaha merupakan hak khusus untuk mengusahakan tanah yang bukan miliknya sendiri guna perusahaan, pertanian, perikanan dan peternakan Hak guna usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Pengaturan HGU terdapat pada Pasal 28-34 UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Pasal 2-18. 
Peralihan Hak Guna Usaha terjadi karena: 
·         jual beli; 
·         tukar menukar; 
·         penyertaan dalam modal; 
·         hibah; 
·         pewarisan. 
Subjek HGU:
- WNI; 
- Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia 
Terjadinya hak guna usaha karena penetapan Pemerintah. Hak guna usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 Undang Nomor 5 Tahun 1960. Hal ini dibuktikan dengan penerbitan sertifikat oleh Kantor Pertanahan setempat (Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997). Hak guna usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.  Tanah yang dapat diberikan dengan hak guna usaha adalah: 
·         Tanah negara; 
·         Tanah negara yang merupakan kawasan hutan, setelah tanah yang bersangkutan dikeluarkan dari statusnya sebagai kawasan hutan; 
·         Tanah yang telah dikuasai dengan hak tertentu sesuai ketentuan yang berlaku, setelah terselesaikannya pelepasan hak tersebut sesuai dengan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
Kewajiban pemegang HGU:
o   Membayar uang pemasukan kepada Negara; 
o   Melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan/atau peternakan sesuai peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya; 
o   Mengusahakan sendiri tanah Hak Guna Usaha dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh instansi teknis; 
o   Membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada dalam lingkungan areal Hak Guna Usaha; 
o   Memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 
o   Menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai pengunaan Hak Guna Usaha; 
o   Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha kepada Negara sesudah Hak Guna Usaha tersebut hapus; 
o   Menyerahkan sertipikat Hak Guna Usaha yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan; 
o   Pemegang Hak Guna Usaha dilarang menyerahkan pengusahaan tanah Hak Guna Usaha kepada pihak lain, kecuali dalam hal-hal diperbolehkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
o   Jika tanah Hak Guna Usaha karena keadaan geografis atau lingkungan atau sebab-sebab lain letaknya sedemikian rupa sehingga mengurung atau menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalan air, maka pemegang Hak Guna Usaha wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung itu. 
Hak pemegang HGU:
o   Pemegang Hak Guna Usaha berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha untuk melaksanakan usaha di bidang pertanian, perkebunan, perikanan dan atau peternakan. 
o   Penguasaan dan penggunaan sumber air dan sumber daya alam lainnya di atas tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha oleh pemegang Hak Guna Usaha hanya dapat dilakukan untuk mendukung usaha di bidang pertanian, perkebunan, perikanan dan atau peternakan dengan mengingat ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kepentingan masyarakat sekitarnya. 
Hak Guna Usaha diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Hak guna usaha diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 25 tahun. Dengan berlakunya UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal maka Jangka Waktu HGU diperpanjang, berdasarkan Pasal 22 ayat (1) huruf a, yaitu:  “Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun”. Hak guna usaha hapus karena: 
- Jangka waktunya berakhir 
- Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi; 
- Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; 
- Dicabut untuk kepentingan umum; 
- Ditelantarkan; 
- Tanahnya musnah; 
- Ketentuan dalam pasal 30 ayat (2) Undang Nomor 5 Tahun 1960. 

3. Hak Guna Bangunan (HGB)
Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Tidak mengenai tanah pertanian, oleh karena itu dapat diberikan atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara maupun tanah milik seseorang. Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Pengaturan mengenai HGB terdapat dalam Pasal 35-40 UUPA dan PP No. 40 Tahun 1996 Pasal 19-38.
Peralihan Hak Guna Bangunan terjadi karena: 
o   jual beli; 
o   tukar menukar; 
o   penyertaan dalam modal; 
o   hibah; 
o   pewarisan. 
Subjek HGB:
- WNI; 

- Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia

Timbulnya HGB:
- Mengenai tanah yang dikuasai oleh Negara; karena penetapan Pemerintah. 
- Mengenai tanah milik; karena perjanjian otentik antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh hak guna bangunan itu, yang bermaksud menimbulkan hak tersebut. 
Hak guna bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 Undang Nomor 5 Tahun 1960. Hal ini dibuktikan dengan penerbitan sertifikat oleh Kantor Pertanahan setempat (Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997). Hak guna bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Tanah yang dapat diberikan dengan hak guna bangunan adalah: 
-          Tanah negara; 
-          Tanah hak pengelolaan; 
-          Tanah hak milik. 
-          Kewajiban pemegang HGB:
-          Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya; 
-          Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya; 
-          memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup; 
-          Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan kepada Negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sesudah Hak Guna Bangunan itu hapus; 
-          Menyerahkan sertipikat Hak Guna Bangunan yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan; 
-          Jika tanah Hak Guna Bangunan karena keadaan geografis atau lingkungan atau sebab-sebab lain letaknya sedemikian rupa sehingga mengurung atau menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari lintas umum atau jalan air, pemegang Hak Guna Bangunan wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung itu. 
Hak pemegang HGB:
- Pemegang Hak Guna Bangunan berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan selama waktu tertentu untuk mendirikan dan mempunyai bangunan untuk keperluan pribadi atau usahanya serta untuk mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain dan membebaninya. 

Mengenai pemberian hak, Pemegang Hak Guna Bangunan berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan selama waktu tertentu untuk mendirikan dan mempunyai bangunan untuk keperluan pribadi atau usahanya serta untuk mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain dan membebaninya.

Hak guna bangunan diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun. Dengan berlakunya UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal maka Jangka Waktu HGB diperpanjang, berdasarkan Pasal 22 ayat (1) huruf b, yaitu:  “Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun”.  Hak guna bangunan hapus karena: 
- Jangka waktunya berakhir; 
- Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi; 
- Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; 
- Dicabut untuk kepentingan umum; 
- Ditelantarkan; 
- Tanahnya musnah; 
- Ketentuan dalam pasal 36 ayat (2) Undang Nomor 5 Tahun 1960. 



4. Hak Pakai
Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan No. 5 Tahun 1960. Pengaturan mengenai Hak Pakai terdapat dalam Pasal 41-43 UUPA dan PP No. 40 Tahun 1996 Pasal 39-59.
Hak Pakai diberikan selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu. Hak Pakai dapat diberikan dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun. Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan. 
Mengenai peralihan hak:
-          Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara maka hak pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang; 
-          Hak pakai atas tanah milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan. 
Subjek hak pakai:
§  WNI; 
§  Orang asing yang berkedudukan di Indonesia; 
§  Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; 
§  Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia; 
§  Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah; 
§  Badan-badan keagamaan dan sosial; 
§  Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional. 
§  Terjadinya hak pakai karena pemberian oleh pejabat yang berwenang memberikan atau dalam perjanjian dengan pemilik tanah. 
Hak Pakai Hak Pakai atas tanah Negara dan atas tanah Hak Pengelolaan wajib didaftar dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan. Sebagai tanda bukti hak kepada pemegang Hak Pakai diberikan sertifikat hak atas tanah oleh Kantor Pertanahan setempat (Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997). Hak Pakai atas tanah Negara dan atas tanah Hak Pengelolaan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. 
Tanah yang dapat diberikan hak pakai adalah: 
- Tanah negara; 
- Tanah hak pengelolaan; 
- Tanah hak milik. 
Kewajiban pemegang hak pakai:
- Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya, perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau dalam perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik; 
- Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberiannya, atau perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik; 
- Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup; 
- Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Pakai kepada Negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sesudah Hak Pakai tersebut hapus; 
- Menyerahkan sertipikat Hak Pakai yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan; 
- Jika tanah Hak Pakai karena keadaan geografis atau lingkungan atau sebab-sebab lain letaknya sedemikian rupa sehingga mengurung atau menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalan air, pemegang Hak Pakai wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung itu. 
Pemegang Hak Pakai berhak menguasai dan memperguna-kan tanah yang diberikan dengan Hak Pakai selama waktu tertentu untuk keperluan pribadi atau usahanya serta untuk memindahkan hak tersebut kepada pihak lain dan membebaninya, atau selama digunakan untuk keperluan tertentu. 
Pemegang Hak Pakai berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan Hak Pakai selama waktu tertentu untuk keperluan pribadi atau usahanya serta untuk memindahkan hak tersebut kepada pihak lain dan membebaninya, atau selama digunakan untuk keperluan tertentu. Hak Pakai atas tanah Hak Milik mengikat pihak ketiga sejak saat pendaftarannya dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan. 
Jangka waktu:
- Hak Pakai atas tanah Negara dan atas tanah Hak Pengelolaan diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun atau diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu; 
- Hak Pakai yang diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama dipergunakan untuk keperluan tertentu diberikan kepada: 
• Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah;
• Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional; 
• Badan Keagamaan daan badan sosial. 
Hak Pakai atas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun dan tidak dapat diperpanjang. Dengan berlakunya UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal maka Jangka Waktu Hak Pakai diperpanjang, berdasarkan Pasal 22 ayat (1) huruf c, yaitu: 
“Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun”. 
Hak pakai hapus karena: 
- Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian pemberiannya; 
- Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sebelum jangka waktunya berakhir karena: 
§ tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, Pasal 51 dan Pasal 52; atau 
§ tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian Hak Pakai antara pemegang Hak Pakai dan pemegang Hak Milik atau perjanjian penggunaan Hak Pengelolaan; atau 
§ putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. 
- Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir; 
- dicabut berdasarkan Undang-undang Nomor 20 tahun 1961; 
- Ditelantarkan; 
- Tanahnya musnah; 
- Hapus karena hukum (pemegang hak tidak lagi memenuhi syarat subyek yang berhak/dapat memegang Hak Pakai). 

5. Hak Atas Satuan Rumah Susun
Dalam pasal 12 ayat 1 Undang – Undang Nomor 16 Tahun 1985, ditetapkan bahwa rumah susun berikut tanah tempat bangunan itu berdiri serta benda lainnya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan. Ketentuan tersebut mengatur hal baru karena sebelum adanya UURS, objek utama dari hak jaminan adalah tanah. Dalam keadaan tertentu, jika dikehendaki para pihak, hak jaminan yang dibebankan atas suatu bidang tanah dapat meliputi juga bangunan yang ada di atasnya.
Dalam Pasal 12 tersebut, yang merupakan obyek pokok hak jaminan yang dibebankan bukan tanahnya, melainkan bangunan rumah susunnya. Pasal 12 UURS juga memuat ketentuan yang penting bagi Hukum Jaminan Indonesia, bahwa Hak Tanggungan dapat juga dibebankan atas tanah dimana rumah susun itu dibangun beserta rumah susun yang akan dibangun, sebagai jaminan kredit yang dimaksudkan untuk membiayai pelaksaan pembangunan rumah susun yang telah direncanakan di atas tanah yang bersangkutan dan yang pemberian kreditnya dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pelaksanaan pembangunan rumah susun tersebut.

Keistimewaan lembaga ini adalah bahwa bangunan yang pada saat hak tanggungan dibebankan belum ada dapat ikut terbebani hak tanggungan, masuk akal kiranya bahwa yang sudah ada juga dapat ikut terbebani. Tetapi semuanya itu dapat diperjanjikan secara tegas dalam akta pemberian hak tanggungan yang bersangkutan, karena tidak terjadi dengan sendirinya seperti dalam hukum yang menggunakan asas pendekatan (accessie).

Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa hukum tanah kita menggunakan asas pemisahan horizontal, sehingga selain harus diperjanjikan, bangunan yang dapat ikut terbebani hak tanggungan tersebut, menurut kenyataannya harus bersifat permanen dan milik dari yang punya tanah.

Hak milik atas satuan rumah susun juga dapat dijadikan jaminan kredit. Kemungkinan tersebut ditegaskan dalam Pasal 13 Undang – Undang Nomor 16 Tahun 1985 yang menyatakan, bahwa hal milik atas satuan rumah susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 3 dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan jika tanahnya hak milik atau Hak Guna Bangunan, atau Fidusia jika tanahnya Hak Pakai atas tanah negara.

Dari ketentuan tersebut dapat dibaca bahwa yang menjadi obyek pokok jaminan Hak Tanggungan bukan tanahnya melainkan hak milik atas satuan rumah susunnya, sehingga Hak Tanggungan atau Fidusia yang dibebankan meliputi selain satuan rumah susun yang bersangkutan, juga bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama sebesar bagian pemilik hak milik atas satuan rumah susun yang dijaminkan. Ketentuan ini diadakan untuk memungkinkan diperolehnya Kredit Pemilik Rumah (KPR) guna membayar lunas harga satuan rumah susun yang dibeli pengembaliannya dapat dilakukan secara angsuran KPR tersebut baru dapat diberikan setelah rumah susun yang bersangkutan selesai dibangun dan telah pula dilakukan pemisahan dalam satuan – satuan rumah susun yang bersertifikat.
Menurut ketentuan Pasal 12 dan 13 Undang – Undang No.16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun (“UURS”) bahwa rumah susun dan satuan rumah susun dapat dijadikan kredit dengan dibebani Hak Tanggungan. Mengenai tata cara pembebanan dan penerbitan tanda buktinya, diuraikan sebagai berikut.
Pembebanan Hak Tanggungan diatur dalam pasal 14 dan 15 UURS, dimana dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”) dan wajib didaftarkan pada Kantor Agraria (sekarang kantor pertanahan) Kabupaten / Kotamadya untuk dicatat pada buku tanah dan sertifikat hak bersangkutan. Tata caranya sama dengan pembebanan Hak Tanggungan yang obyek pokoknya tanah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (“APHT”) oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang belaku.
Selanjutnya pembebanan Hak Tanggungan tersebut dalam rangka memenuhi syarat publisitas, yang merupakan salah satu syarat bagi yang sahnya dan kelahiran Hak Tanggungan yang diberikan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Berdasarkan Pasal 13 ayat 2 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan (“UUHT”) juncto Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendafataran Tanah, maka PPAT yang membuat pembebanan Hak Tanggungan tersebut selambat – lambatnya 7 (tujuh) hari sejak ditandatanganinya pembebanan Hak Tanggungan tersebut, wajib menyampaikan APHT yang dibuatnya berikut dokumen – dokumen yang bersangkutan seperti sertifikat tanahnya (kalau yang dijaminkan rumah susun atau tanah tempat akan dibangunnya rumah susun) atau sertifikat HMSRS (kalau yang dijaminkan satuan rumah susunnya) kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar. Dan PPAT wajib menyampaikan secara tertulis mengenai telah disampaikannya akta tersebut kepada para pihak yang bersangkutan. Pendaftaran Hak Tanggungan tersebut dilakukan dengan pambuatan Buku Tanah Hak Tanggungannya, diikuti dengan penerbitan sertifikat Hak Tanggungan serta pencatatan adanya Hak Tanggungan pada Buku Tanah dan sertifikat tanah rumah susun atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (“HMSRS”) yang dijadikan jaminan.
Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan tersebut Kantor Pertanahan menerbitkan sertipikat Hak Tanggungan yang terdiri dari salinan Buku Tanah Hak Tanggungan dan salinan APHT, yang membuktikan pemberian Hak Tanggungan tersebut. Kecuali diperjanjikan lain, sertipikat hak atas tanah atau HMSRS yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah / pemegang HMSRS yang bersangkutan. Sedangkan sertifikat hak tanggungannya diserahkan kepada pemegang Hak Tanggungan.

[11] F. Sebab-sebab Hapusnya Hak Tanggungan
Ada 6 (enam) cara berakhirnya atau hapusnya Hak Tanggungan, keenam cara tersebut disajikan sebagai berikut:
Ø  dilunasinya hutang atau dipenuhinya prestasi secara suka rela oleh debitur. Disini tidak terjadi cedera janji atau sengketa.
Ø  debitur tidak memenuhi tepat pada waktu, yang berakibat debitur akan ditegur oleh kreditur untuk memenuhi prestasinya. Teguran ini tidak jarang disambut dengan dipenuhinya prestasi oleh debitur  dengan suka rela. Sehingga dengan demikian utang debitur lunas dan perjanjian utang piutang berakhir.
Ø  Debitur cedera janji. Dengan adanya cedera cedera janji tersebut, maka kreditur dapat mengadakan parate eksekusi dengan menjual lelang barang yang dijaminkan tanpa melibatkan pengadilan. Utang dilunasi dari hasil penjualan barang tersebut. dengan demikian, perjanjian utang piutang berakhir.
Ø  Debitur cedera janji, maka kreditur dapat mengajukan sertifikat Hak Tanggungan ke pengadilan untuk dieksekusikan berdasarkan pasal 224 HIR yang diikuti pelelanngan umum. Dengan dilunasi utang dari hasil penjualan lelang, maka perjanjian utang piutang berakhir. Disini tidak terjadi gugatan.
Ø  Debitur cedera janji dan tetap tidak mau memenuhi prestasi maka debitur digugat oleh kreditur, yanng kemudian diikuti oleh putusan pengadilan yang memenangkan kreditur (kalau terbukti). Putusan tersebut dapat dieksekusi secara suka rela seperti yang terjadi pada cara yang kedua dengan dipenuhinya prestasi oleh debitur tanpa pelelangan umum dan dengan demikian perjanjian utang piutang berakhir.
Ø  Debitur tidak mau melaksanakan putusan penngadilan yang mengalahkannya dan menghukum melunasi utangnya maka putusan pengadilan dieksekusi secara paksa dengan pelelangan umum yang hasilnya digunakan untuk melunasi hutang debitur, dan mengakibatkan perjanjian utang piutang berakhir.[1]
Walaupun hak atas tanah itu hapus, namun pemberian Hak Tanggungan tetap berkewajiban untuk membayar hutangnya. Hapusnya Hak Tanggungan yang dilepas oleh pemegang Hak Tanggungan dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis, mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan. Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan pringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadinya karen permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban Hak Tanggungan.
Selain itu, sebab-sebab yang menghapus Hak Tanggungan ditentukan dalam Pasal 18 ayat (1) UUHT. Menurut Pasal 18 ayat (1) UUHT tersebut, Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut :
a)      Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
Karena Hak Tanggungan merupakan jaminan utang yang pembebanannya adalah untuk kepentingan kreditur (pemegang Hak Tanggungan) adalah logis bila Hak Tanggungan dapat (dan hanya dapat) dihapuskan oleh kreditur (pemegang Hak Tannggungan) sendiri. Sedangkan pemberi Hak Tanggungan tidak mungkin dapat membebaskan Hak Tanggungan itu.
Sesuai dengan sifat Hak Tannggungan yang  accesoir, adanya Hak Tanggungan bergantung kepada adanya piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu. Oleh karena itu, apabila piutang itu hapus karena pelunasan atau karena sebab-sebab lainnya, dengan sendirinya Hak Tanggungan yang bersangkutan menjadi hapus juga.
b)      Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
Mengenai hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskannya oleh pemegang Hak Tanggungan, ketentuan Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Hak Tanggungan menentukan sebagai berikut:
hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskannya oleh pemegangnya dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan.
Hal ini pokoknya sejalan dengan ketentuan Pasal 1381 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa:
Perikatan-perikatan hapus:
1.   Karena pembayaran;
2.   Karena penawaran pembayaran tunai, diikkuti dengan penyimpanan atau penitipan;
3.   Karena pembaruan utang;
4.   Karena perjumpaan utang atau kompensasi;
5.   Karena percampuran utang;
6.   Karena pembebasan utang;
7.   Karena musnahnya barang yang terutang;
8.   Karena kebatalan atau pembatalan;
9.   Karena berlakunya suatu syarat batal;
10.     Karena lewatnya waktu.
Tanpa adanya pernyataan bebas dari kreditot terhadap debitor, maka utang debitor masih tetap harus dipenuhi oleh debitor kepada kreditor. Demikian pula halnya suatu Hak Tanggungan, tanpa adanya pernyataan pelepasan Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan, maka Hak Tanggungan tidak pernah hapus.
Tampak jelas, bahwa suatu Hak Tanggungan yang telah diberikan sebelum dilepaskan oleh pemegang Hak Tanggungan tidak akan hapus dan akan terus berlaku untuk menjamin pelunasan utang yang masih akan ada di kemudian hari selama dan sepanjang perikatan pokok antara debitor dan  kreditor pemegang Hak Tanggungan yang (akan) lahir dari perjanjian antara mereka tidak atau belum dihapuskan.
Dalam konteks ini pun, untuk kepentingan praktis, maka pernyataan tertulis kreditor pemegang Hak Tanggungan mengenai maksudnya untuk melepaskan Hak Tanggungan harus disampaikan agar pencoretan Hak Tanggungan dapat dilakukan.
c)      Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh  Ketua Pengadilan Negeri;
Mengenai hapusnya Hak Tanggungan sebagai akibat pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri, dilaksanakan menurut ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Hak Tanggungan yang berbunyi:
Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi karena permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban  Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 19.
Dari konteks rumusan yang diberikan dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut dapat diketahui bahwa hapusnya Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi karena terdapat lebih dari satu Hak Tanggungan yang diletakkan atas bidang tanah tersebut. Selanjutnya, dari rumusan Pasal 19 Undang-Undang  Hak Tanggungan yang menyatakan bahwa:
1)      Pembeli objek Hak Tanggungan, baik dalam suatu pelelangan umum atas perintah Ketua Pengadilan Negeri maupun dalam jual beli sukarela, dapat meminta kepada pemegang Hak Tanggungan agar benda yang dibelinya dibersihkan dari segala beban Hak Tanggungan yang melebihi harga pembelian.
2)      Pembersihan obyek Hak Tanggungan agar benda yang dibelinya itu dibersihkan dari segala beban Hak Tanggungan yang melebihi harga pembelian.
3)      Apabila obyek Hak Tanggungan dibebani lebih dari satu Hak Tanggungan dan tidak terdapat kesepakatan diantara para pemegang Hak Tanggungan tersebut mengenai pembersihan obyek Hak Tanggungan dari beban yang melebihi harga pembeliannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pembeli benda tersebut dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan untuk menetapkan pembersihan itu dan sekalligus menetapkan ketentuan mengenai pembagian hasil penjualan lelang diantara para yang berpiutang dan peringkat mereka menurut perundang-undangan yang berlaku.
4)      Permohonan pembersihan obyek Hak Tanggungan dari Hak Tanggungan yang membebaninya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat dilakukan oleh pembeli benda tersebut, apabila pembelian demikian itu dilakukan dengan jual beli sukarela dan dalam Akte Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan para pihak denga telah tegas memperjanjikan bahwa obyek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari beban Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f.
Dapat diketahui bahwa permintaan penghapusan tersebut dapat dimintakan oleh setiap pembeli hak atas tanah, yang diatasnya terletak beban berupa Hak Tanggungan yang jumlahnya lebih dari satu, dengan ketentuan bahwa:
1.      Jika pembelinya dilakukan melalui pelelangan, maka  pembersihan harus dikabulkan oleh Ketua Pengadilan Negeri;
2.      Jika pembelinya dilakukan melalui penjualan sukarela, maka pembersihan dikabulkan jika dalam perjanjian pemberian Hak Tanggungan yang selanjutnya tidak tercantum janji untuk tidak akan dibersihkan dari beban Hak Tanggungan, hingga seluruh kewajiban debitor   dipenuhi. Dengan demikian berarti dalam hal perjanjian pemberian atau pembebanan Hak Tanggungan dimuat janji bahwa objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari beban Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f Undang-Undang Hak Tanggungan, maka pembeli objek Hak Tanggungan melalui penjualan sukarela tidak dapat meminta agar hak atas tanahnya dibersihkan.
Pasal 11
(2) Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji- janji, antara lain:
f.    janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan;
dari ketentuan tersebut diata , dapat diketahui bahwa hanya pembeli kebendaan yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan melalui pelelangan (umum) yanng dapat secara mutlak meminta pembersihan Hak Tanggungan dan sekaligus meminta kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk membagi hasil penjualan kebendaan tersebut manakala terjadi sengketa mengenai pembersihan objek Hak Tanggungan tersebut. Secara teoretis masalah perolehan pembuktian dapat muncul dari pemegang Hak Tanggungan peringkat ke-2 dan seterusnya, manakala hasil penjualan tidak mencukupi untuk melunasi piutang mereka. Untuk itu maka, khusus bagi pembeli melaluui pelelanngan umum, mereka ini diberikan suatu kepastian bahwa kebendaan yang dibeli adalah bebas dari segala beban, maka itu mereka berhak untuk menuntut pembebasan tersebut, meskipun hal tersebut mungkin dapat merugikan pemegang Hak Tanggungan peringkat ke-2 dan seterusnya.
·         Tujuan diadakannya lembaga pembersihan
Lembaga pembersihan ini diadakan untuk melindungi kepentingan pembeli obyek Hak Tanggungan agar benda yang dibelinya bebas dari Hak Tanggungan yang semula membebaninya, jika harga pembelian itu tidak mencukupi untuk melunasi utang yang dijamin (lihat Penjelasan Pasal 19 ayat (1) UUHT).
Jika obyek Hak Tanggungan akan dijual, pembeli obyek Hak Tanggungan tentu tidak tertarik untuk memebeli obyek Hak Tanggungan ittu, karena pemegang Hak Tanggungan berdasarkan hak kebendaannya senantiasa berhak mengejar pembeli agar membayar kekurangan yang dideritanya akibat dari harga jual yang lebih rendah dari piutangnya.
Di dalam konteks ini ada konflik antara dua asas, yaitu hak kebendaan dari Hak Tanggungan dan penjualan obyek Hak Tanggungan. Dari konflik inilah lahir konsep “pembersihan” (zuivering) sebagai upaya hukum untuk membebaskan obyek Hak Tanggungan dari tagihan yang melekat diatas obyek itu, karena harga jualnya lebih rendah dari jumlah kredit yang dijamin Hak Tanggungan itu[4].
·         Tata cara pembersihan
UUHT  menentukan tata cara pembersihan itu sebagai berikut:
a.       Obyak Hak Tanggungan dibebani satu Hak Tanggungan
b.      Obyek Hak Tanggungan dibebani lebih dari satu Hak Tanggungan, maka ditempuh tatacara  sebagai berikut:
-          Dalam hal tidak terdapat kesepakatan diantara pemegang Hak Tanggungan, maka pembeli menngajukan ke Ketua Pengadilan Negeri di dalam wilayah mana obyek Hak Tanggungan itu terletak, mengenai:
·         Pembersihan;
·         Pembagian hasil penjualan lelang diantara pemegang Hak Tanggungan;
·         Peringkat pemegang Hak Tanggungan.

d)     Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
Alasan terakhir hapusnya Hak Tanggungan yang disebabkan karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani  Hak Tanggungan tidak lain dan tidak bukan adalah sebagai akibat tidak terpenuhinya syarat objektif sahnya perjanjian, khususnya yang berhubungan dengan kewajiban adanya objek tertentu, yang salah satunya meliputi keberadaan dari bidang tanah  tertentu yang dijaminkan.
Selain itu, mengenai hapusnnya Hak Tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan adalah logis, karena keberadaan suatu Hak Tanggungan hanya mungkin bila telah atau masih ada objek yang dibebani dengan Hak Tanggungan itu. Objek dari Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah negara. Karena itu Hak Tanggungan akan hapus apabila hak-hak atas tanah itu hapus atau berakhir.
Perlu diperhatikan bahwa  khusus untuk Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai untuk rumah tinggal yang sedang dibebani Hak Tanggungan dan pemiliknya bermaksud untuk  meningkatkan statusnya menjadi Hak Milik berdasarkan ketentuan Peraturan Mentri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 tahun 1998 tentang Perubahan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah untuk rumah tinggal yang dibebani Hak Tanggungan menjadi Hak Milik, berlaku ketentuan sebagaimana dibawah ini.
1.      Perubahan hak tersebut dimohonkan oleh pemegang hak atas tanah dengan persetujuan dari pemegang Hak Tanggungan.
2.      Perubahan hak tersebut mengakibatkan Hak Tanggungan dihapus.
3.      Kepala Kantor Pertanahan karena jabatannya, mendaftar  hapusnya Hak Tanggungan yang membebani Hak Guna Bangunan atas Hak Pakai yang diubah menjadi Hak Milik bersamaan dengan pendaftaran Hak Milik yang bersangkutan.
4.      Untuk melindungi kepentingan kreditur/ bank yang semula dijammin dengan Hak Tanggungan atas Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang menjadi hapus.  sebelum perubahan hak didaftar, pemegang hak atas tanah dapat memberikan SKMHT dengan objek Hak Millik yang diperolehnya sebagai perubahan dari Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai tersebut.
5.      Setelah perubahan hak dilakukan, pemegang hak atas tanahdapat membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) atas Hak Milik yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan hadir sendiri atau melalui SKMHT.
6.      Berdasarkan ketentuan PMNA/KBPN tersebut saat hapusnya Hak Tannggungan adalah pada saat pendaftaran Hak Milik. Oleh karena itu, sebelum perubahan hak didaftar, pemegang hak atas tanah sebaiknya memberikan SKMHT dengan objek Hak Milik yang diperolehnya, karen asetelah Hak Milik terdaftar, Hak Tanggungan tersebut menjadi hapus. Pada saat hapusnya Hak Tanggungan itu kreditur menjadi kreditur konkuren yang hanya dijamin dengan SKMHT. Namun, kemudian kreditur dapat membuat APHT berdsarkan SKMHT itu. Hak Tanggungan itu lahir pada tanggal buku tanah Hak Tanggungan , yaitu tanggal hari ketujuh  setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya.
Terhadap ketentuan PMNA/KBPN terdapat beberapa hal yanng perlu diperhatikan, yaitu:
1.      Jangka waktu SKMT. Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) PMNA/KBPN tersebut, jangka waktu SKMHT terbatas yaitu sebagaimana termuat dalam Pasal 15 ayat (4) dan (5) UUHT.
2.      Peringkat SKMHT. Tidak diatur mengenai peringkat apabila ada beberapa SKMHT. Akan tetapi, mengingat bahwa SKMHT dibuat untuk objek tanah Hak Milik yang bidang tanahnya adalah sama dengan bidang tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai sebelumnya dan utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan adalah sama dengan hutang yang dijamin sebelumnya dan krediturnya adalah tetap, peringkat Hak Tanggungan pada saat dibuat SKMHT, seyogyanya adalah sesuai dengan peringkat yang termuat dalam sertifikat Hak Tanggungan yang semula membebani  tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai. Kreditur pemegang  SKMHT ini haruslah kreditur yang semula pemeganng Hak Tanggungan, sebab ketentuan PMNA/KBPN ini dibuat untuk memberikan kepastian hukum bagi pemegang Hak Tanggungan yang tanahnya sedang dimohonkan perubahan hak atas tanah.
3.      Atas perubahan hak, bagi kreditur perlu memperhatikan bahwa terdapat periode dimana kreditur tidak lagi menjadi kreditur preferen, yaitu sejak Hak Tanggungan hapus (pada saat Hak Milik terdaftar) sampai saat Hak Tanggungan terdaftar. Pada periode tersebut, kreditur hanya berkedudukan sebagai kreditur pemegang SKMHT. Mengingat bahwa APHT hanya dapat dibuat setelah Hak Milik terdaftar, periode tersebut memakan waktu sesuai dengan ketentuan lahirnya Hak Tanggungan, yaitu tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya.
4.      ketentuan PMNA/KBPN tersebut hanya berlaku khusus untuk tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai untuk rumah tinggal yang sedang dibebani Hak Tanggungan.

C.    Tata Cara Penghapusan Hak Tanggungan
Sebagaimana telah dikemukakan diatas bahwa Hak Tanggungan dapat dengan sengaja dihapuskan, baik dari kehendak dari pemegang Hak Tanggungan itu sendiri maupun karena pembersihan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri. Hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya  dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan.
Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai proses apa yang harus dilakukan  setelah pemberi Hak Tanggungan menerima pemberian pernyataan tertulis tersebut. Menurut penulis, karena pemberian Hak Tangggungan wajib didaftarkan pada kantor pertanahan dan lahirnya Hak Tanggungna adalah pada hari didaftarkannya Hak Tanggungan itu pada buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan  tersebut serta dengan pendaftaran Hak Tanggungan itu, Hak Tanggungan itu berlaku terhadap pihak ketiga. Karena itu, setelah pemberi Hak Tanggungan menngajukan surat permohonan kepada Kantor Pertanahan dengan dilampiri surat pernyataan tertulis tersebut agar Hak Tanggungan tersebut dicatat pada buku-tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan bahwa Hak Tanggungna itu telah dilepaskan oleh pemegangnya. Hanya dengan demikian, Hak Tanggungan itu menjadi hapus dan tidak mengikat lagi baggi pihak ketiga.
Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Penngadilan Negeri terjadi dengan diajukannya permohonan oleh pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinnya itu dibersihkan dari beban Hak Tanggungan tersebut.

 [12] G. Eksekusi Hak Tanggungan dan Penjualan di Bawah Tangan
A.    Eksekusi Hak Tanggungan
Apabila debitor cidera janji, obyek HT oleh kreditor pemegang HT dijual melalui pelelangan umum menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kreditor pemegang HT berhak mengambil seluruh atau sebagian dari hasil pelelangan tersebut untuk pelunasan piutangnya yang dijamin dengan HT tersebut, dengan hak mendahului daripada kreditor-kreditor yang lain. Inilah yang disebut eksekusi HT.
Kreditor berhak mengambil pelunasan piutang yang dijamin dari hasil penjualan obyek HT, dengan hak mendahului daripada kreditor lain yang mempunyai peringkat yang lebih rendah atau yang bukan kreditor pemegang HT. dalam hal hasil penjualan itu lebih besar daripada piutang tersebut yang setinggi-tingginya sebesar nilai tanggungan, sisanya menjadi hak pemberi HT untuk memenuhi kewajibannya yang lain.
Hak Tanggungan bertujuan untuk menjamin utang yang diberikan pemegang Hak Tanggungan kepada debitor. Apabila debitor cidera janji, tanah (hak atas tanah) yang dibebani dengan Hak Tanggungan itu berhak dijual oleh pemegang HT tanpa persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan dan pemberi Hak Tanggungan tidak dapat menyatakan keberatan atas penjualan tersebut.
Agar pelaksanaan penjualan itu dapat dilakukan secara jujur (fair), UUHT mengharuskan agar penjualan itu dilakukan melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perUndang-Undangan yang berlaku. Dengan ditentukannya oleh pasal 20 ayat (1) UUHT.
Pasal 6 UUHT memberikan kewenangan kepeda pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual Objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri. Dengan demikian pemegang Hak Tanggungan pertama tidak perlu meminta persetujuan terlebih dahulu dari pemberi Hak Tanggungan dan tidak perlu pula meminta Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Setempat untuk melakukan eksekusi tersebut.
B.     Penjualan di Bawah Tangan
Pada prinsipnya setiap eksekusi harus dilakukan melalui pelelangan umum, karena dengan cara demikian diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk obyek HT yang dijual. Dalam keadaan tertentu apabila melalui pelelangan umum diperkirakan tidak menghasilkan harga tertinggi, atas kesepakatan pemberi dan pemegang HT dan dipenuhinya syarat-syarat tertentu, dimungkinkan eksekusi dilakukan dengan cara penjualan obyek HT oleh kreditor pemegang HT di bawah tangan, jika dengan cara demikian itu akan dapat diperolah haraga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Hal ini ditentukan dalam Pasal 20 ayat (2) UUHT. 
Penjualan obyek HT “di bawah tangan” artinya penjualan yang tidak melalui pelelangan umum. Namun penjualan tersebut tetap wajib dilakukan menurut ketentuan PP 24/1997 tentang Pendaftaran tanah. Yaitu dilakukan di hadapan PPAT yang membuat aktanya dan diikuti dengan pendaftarannya di kantor Pertanahan.

Dengan ketentuan seperti ini berarti Bank tidak mungkin melakukan penjualan di bawah tangan terhadap objek Hak Tanggungan atau agunan kredit itu apabila debitor tidak menyetujuinya karena penjualan di bawah tangan seperti ini hanya dapat dilakukan bila ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang Hak Tanggungan. Dikuatirkan jual beli di bawah tangan dianggap merupakan transaksi yang melanggar hukum sehingga dapat terancam batal demi hukum atau dapat dibatalkan oleh hakim (atas permintaan pihak-pihak tertentu, termasuk atas permintaan pemberi Hipotik itu sendiri), karena di dalam ketentuan Hipotik tidak secara tegas menentukan boleh atau tidak dilakukan penjualan dibawah tangan atas objek Hipotik. Hal inlah yang menimbulkan banyak keraguan didalam masyarakat.


Berdasarkan surat kuasa untuk menjual dibawah tangan dari pemberi Hak Tanggungan sebenarnya jual-beli itu sah saja akan tetapi apabila ternyata penjualan itu terjadi dengan harga yang jauh di bawah harga wajar, pemberi hak tanggungan dan debitor itu sendiri (dalam hal debitor bukan pemilik objek Hak Tanggungan) dapat mengajukan gugatan terhadap bank. Gugatan itu sendiri bukan diajukan terhadap pelaksanaan penjualannya, tetapi berdasarkan dalih bahwa penjualan objek Hak Tanggungan harus dilakukan melalui pelelangan umum. Harga penjualan itu yang dinilai tidak wajar, dan dalih dapat diajukan oleh penggugat adalah bahwa bank telah melakukan perbuatan melawan hukum atau bertentangan dengan kepatutan atau bertentangan dengan keadilan atau bertentangan dengan asas I’tikad baik.
Sesuai dengan asas kepatutan dan I’tikad baik, bank tidak menentukan sendiri harga jual atas barang-barang agunan dalam rangka penyelesaian kredit macet nasabah debitur. Penaksiran harga dilakukan oleh suatu perusahaan penilai yang independen dan telah mempunyai reputasi baik. Dalam hal penjualan dilakukan dibawah tangan, dan harga tidak ditetapkan sendiri oleh bank, tetapi berdasarkan kesepakatan antara pemegang dan pemberi Hak Tanggungan atau berdasarkan penilaian harga oleh suatu perusahaan penilai yang independent.
Menurut Pasal 20 ayat (3) UUHT, pelaksanaan penjualan di bawah tangan hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.Maksud dari ketentuan pasal tersebut adalah untuk melindungi pihak-pihak yang berkepentingan, misalnya pemegang Hak Tanggungan kedua, ketiga, dan kreditor lain dari pemberi Hak Tanggungan. Pengumuman melalui media massa selain surat kabar, dapat dilakukan misalnya melalui radio atau televisi.
Apabila pemberi Hak Tanggungan atau debitor (dalam hal debitor bukan pemilik objek Hak Tanggungan) ingin menghindari penjualan umum (pelelangan) atas objek Hak Tanggungan, hal itu hanya dapat dilakukan apabila pemberi Hak Tanggungan atau debitor melakukan pelunasan hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan beserta biaya-biaya eksekusi yang telah dikeluarkan. Pelunasan itu masih tetap dapat dilakukan sampai saat pengumuman untuk lelang dikeluarkan.
C. Sanksi-sanksi administrative
Untuk menjamin kepastian hukum serta memberikan perlindungan kapada pihak-pihak yang berkepentingan, ditetapkan sanksi administratif yang dapat dikenakan kepada para pelaksana yang bersangkutan, atas pelanggaran atau kelalaian dalam memenuhi berbagai ketentuan pelaksanaan tugasnya masing-masing. Selain itu apabila mamanuhi syarat yang diperlukan, yang bersangkutan masih dapat digugat secara perdata dan/atau dituntut pidana.
Sanksi administratif itu dapat berupa tegoran lisan, tegoran tertulis, pemberhentian sementara dari jabatan atau pemberhentian tetap dari jabatan, disesuaikan dengan berat ringannya pelanggaran atau kelalaian. Sanksi ini tertuju kepada PPAT dan notaris.









[1]http://pustakabakul.blogspot.com/2013/07/pengertian-hak-tanggungan.html

[2] http://gamas09.blogspot.com/2009/03/hak-tanggungan-dan-skmht.html
 www.unas.ac.id
[3] http://gamas09.blogspot.com/2009/03/hak-tanggungan-dan-skmht.html

[4] http://gamas09.blogspot.com/2009/03/hak-tanggungan-dan-skmht.html

[5] http://gamas09.blogspot.com/2009/03/hak-tanggungan-dan-skmht.html

[6] http://sobatbaru.blogspot.com/2011/09/ciri-ciri-dan-sifat-hak-tanggungan.html

[7] http://jawara-agotax.blogspot.com/2013/12/makalah-hak-tanggungan_22.html

[8] http://sithaayu1.wordpress.com/2012/12/05/asas-asas-hak-tanggungan/


[9]http://pertanahannasional.blogspot.com/2007/09/kedudukan-kreditor-dalam-penjaminan.html

[10] http://jengjangkrik.blogspot.com/2011/05/objek-hak-tanggungan.html
[11] http://zfadly.blogspot.com/2012/04/hapusnya-hak-tanggungan.html

[12] http://zfadly.blogspot.com/2012/04/hapusnya-hak-tanggungan.html
www.unas.ac.id
Diposkan oleh Arkemo Tumanggor di 06.54 
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest


Read More
Older Posts Home
Subscribe to: Posts (Atom)

Social Profiles

TwitterFacebookGoogle PlusLinkedInRSS FeedEmail
  • Popular
  • Tags
  • Blog Archives
  • PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP ORGANISASI
    BAB I PEMBAHASAN A.              Pengertian Organisasi Terdapat beberapa teori dan perspektif mengenai organisasi, ada yang cocok sa...
  • CONTOH SURAT PERJANJIAN JUAL - BELI
    Fakultas Hukum Universitas Nasional CONTOH SURAT PERJANJIAN JUAL  - BELI OLEH: LA ODE SUDARMIN SURAT PERJANJIAN JUAL  - ...
  • Sejarah Lahirnya Pancasila
    DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . 3 DAFTAR ISI 3 BAB I 4 PENDAHULUAN .. 4 A.     Latar Belakang . 4 B.     Rumusan Masalah . 5 ...
  • Permohonan Intervensi (Tussenkomts)
                                 Jakarta, 12 Desember ­­­­­­­­­­ 201 5 Kepada Yth.: Ketua Majelis Hakim Perkara No. 1009/Pdt.G/20...
  • Hukum Adat di Indonesia
    Fakultas Hukum Universitas Nasional HUKUM ADAT OLEH: LA ODE SUDARMIN Kata Pengantar Puji syukur penulis pan...
  • Pengertian Transportasi
    Fakultas Hukum Universitas Nasional HUKUM TRANSPORTASI OLEH: LA ODE SUDARMIN Pengertian Transportasi Menurut Para...
  • EKSEPSI dan JAWABAN serta GUGATAN REKONPENSI
                        Kepada Yth.: Majelis Hakim Perkara No. 18 /Pdt.G/201 5 /PN. SRG . Pada Pengadilan Negeri Serang Jl. KH....
  • Teknologi Informasi Pada Pelayanan Publik
    Disusun oleh:  Wa Yasri KATA PENGANTAR Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT. serta sholawat dan salam tercurahk...
  • Sistem Hukum Adat Indonesia
    KATA PENGANTAR Pujisyukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T, karena atas rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapa...
  • Ketentuan Peninjauan Kembali Berkali - Kali
    Bahwa berdasarkan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 34/PUU-XI/2013 tanggal 6 maret 2014 butir 1.2 yang menyatakan bahwa pasal 268 ...

Labels

  • Acara TUN
  • Contoh Karya Ilmiah
  • Contoh Surat Gugatan Perceraian
  • Dasar Hukum Transportasi Dalam KUHD
  • EKSEPSI dan JAWABAN serta GUGATAN REKONPENSI
  • Fungsi Badan Pengawas Obat Dan Makanan
  • Gadai dan Fidusia
  • gadai syariah
  • Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH)
  • GUGATAN WANPRESTASI
  • Hak Cipta
  • Hak Tanggungan
  • Hipotik
  • Hukum Adat di Indonesia
  • Hukum Adat Indonesian
  • Hukum Ketenagakerjaan
  • Hukum Transportasi
  • Hukum Waris
  • Ketenagakerjaan
  • Ketentuan Peninjauan Kembali Berkali - Kali
  • Kewarganegaraan
  • Laporan Studi Lapangan Transportasi Laut Dari Muara Angke Ke Pulau Pari
  • Macam-Macam Metode Penelitian
  • Mengidentifikasi Tanggung Jawab Hukum Trasportasi
  • Pembangunan Hukum Pelanggaran Adat
  • Pencabutan Kuasa
  • PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP ORGANISASI
  • Peninjauan Kembali
  • Penuntutan
  • Peranan Teknologi Informasi Pada Pelayanan Publik
  • Permohonan Intervensi (Tussenkomts)
  • Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
  • Sistem Hukum Adat Indonesia
  • Surat Hutang
  • Surat Kuasa Khusus
  • Surat Kuasa Subtitusi
  • Surat Kuasa Umum
  • Surat Lain-lain
  • Surat Mandat
  • Surat Perjanjian Jual Beli
  • Surat Permintaan Penundaan Panggilan
  • Surat Permohonan Pindah Kuliah

Blog Archive

  • ▼  2019 (1)
    • ▼  March (1)
      • Ketentuan Peninjauan Kembali Berkali - Kali
  • ►  2018 (2)
    • ►  October (2)
  • ►  2016 (19)
    • ►  June (2)
    • ►  April (2)
    • ►  March (3)
    • ►  February (4)
    • ►  January (8)
  • ►  2015 (26)
    • ►  December (20)
    • ►  November (6)

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

 
Copyright © Legal Studies | Powered by Blogger
Design by NewWpThemes | Blogger Theme by Best Blogger Themes | www.top10Wordpress.com