BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin cepat membawa dampak terhadap
perkembangan masyarakat di berbagai bidang baik itu dibidang soaial, ekonomi
keamanan dan ketahanan dan lain-lainnya. Demikian juga dalam perkembangan Hak
Atas Kekayaan Intelektual yang tadinya perlindungannya sangat sederhana
sekarang membutuhkan perhatian yang cukup besar. Dalam penelitian yang akan
penulisan lakukan dibidang Hak Atas Kekayaan Intelektual ini, penulis membatasi
pada penelitian dibidang Hak Cipta.
Pada
awal perkembangan, permasalahan yang menyangkut hak cipta tersebut
sangatlah sederhana yaitu hanya menyangkut tuntutan supaya hak cipta dapat
dikuasai dan dipergunakan untuk tujuan apapun oleh penemunya terhadap apa yang
sudah ditemukannya, diciptakanya dengan kemampuan tenaga dan kemampuan
berpikirnya. Permasalahan hak cipta semakin majemuk dan komplek dengan
terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta revolusi industri
yang semakin cepat dan pesat.
Hak
cipta didalam undang-undang no 19 tahun 2002 pasal 1 dinyatakan bahwa hak cipta
merupakan hak eklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptanya atau memberi izin. Untuk itu dengan tidak mengurangi
pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Di
Indonesia hak cipta diatur dalam undang-undang no 19 tahun 2002 juga memuat
didalamnya mengenai ketentuan pidana bagi pelaku tindak pidana dibidang hak
cipta tersebut. Namun dalam kenyataannya hak cipta masih sering dan masih
banyak dilanggar oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Banyak kalangan
anggota masyarakat yang tidak menghargai atau tidak peduli dengan adanya
suatu karya yang telah diciptakan seseorang. Pada mulanya ketika seseorang
menciptakan sesuatu, barang kali tidak pernah terpikirkan akan sebab akibat
dari hukum yang melindungi hasil karya ciptanya. Hal ini disebabkan kurang
mengertinya masyarakat terhadap sistem hukum yang berlaku atau si pemilik Hak
Cipta karena ketidak tahuannya tidak memperkirakan potensi ekonomi atas karya
yang diciptakannya tersebut, sehingga suatu karya hanya diciptakan begitu saja
oleh pemiliknya atau dijual saja tanpa mempertimbangkan aspek hukumnya.
Hak cipta terdiri atas hak ekonomi dan hak moral. “Hak
ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan serta prilaku
hak terkait”. Hak terkait adalah “hak ekslusif untuk memperoleh hasil ciptaan.
Sedang kan hak moral adalah yang melekat pada diri pencipta atau pelaku yang
tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apapun, walaupun hak cipta
atau hak terkait telah dialihkan .”
Perlindungan
hukum yang diberikan atas hak cipta bukan saja merupakan pengakuan negara
terhadap karya seseorang tetapi diharapkan juga bahwa perlindungan tersebut
akan dapat membangkitkan semangat dan minat yang lebih besar untuk melahirkan
ciptaan baru di bidang tersebut di atas. Dalam hubungan ini, dapat dikatakan
bahwa prinsip-prinsip yang terkandung dalam undang-undang hak cipta tersebut
pada umumnya berkisar pada beberapa fungsi, yaitu :
1.
Pemberian perlindungan hukum yang
efektif kepada pemegang hak cipta,
2.
Pernumbuhan iklim yang semakin
membangkitkan gairah pencipta,
3.
Pernumbuhan iklim yang mampu
meningkatkan apresiasi masyarakat terutama dalam upaya menggalang sikap untuk
menghargai dan menghormati suatu karya cipta.
Perlindungan hukum yang efektif terhadap karya cipta, akan
membantu terwujudnya iklim yang mendorong gairah pencipta. Pada giliranya,
keadaan tersebut diharapkan dapat pula meransang tumbuh suburnya keinginan
untuk mencipta yang akan memperkaya khasanah kehidupan kita. Adanya
perlindungan hukum yang efektif, dipihak lain dimaksudkan pula untuk menumbukan
apresiasi dan sikap menghargai dan menghormati karya cipta. Adalah tidak
berlebihan untuk menyatakan, “ bahwa pada tingkat tertentu keadaan ini akan
mampu mewujudkan kesejajaran dalam kehidupan ekonomi para pencipta dan
lingkungan di sekitarnya dengan profesi dibidang-bidang lainnya.
Karya
cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra pada dasarnya adalah juga
karya intelektual manusia yang dilahirkan sebagai perwujudan kualitas rasa,
karsa, dan ciptaanya. Penciptaan karya-karya seperti itu memang pada akhirnya
tidak hanya memiliki arti sebagai karya yang secara fisik hadir ditengah kita.
Karya tersebut juga hadir sebagai sarana pemenuhan kebutuhan batiniah kita
semua. Oleh karena itu, semakin banyak, semakin besar dan semakin tinggi
kualitas karya-karya tersebut, pada akhirnya akan memberikan nilai terhadap
harkat dan martabat manusia yang melahirkannya, dan kehidupan manusia pada
umumya.
Karya cipta tidak lagi sekedar lahir karena semata-mata
hasrat, perasaan, naluri dan untuk kepuasan batin pencipta sendiri. Karya
tersebut juga dilahirkan karena keinginan untuk mengabadikannya kepada nilai
atau suatu yang dipujanya, kepada lingkunganya, kepada manusia sekelilingnya.
Dari sisi ini, dapat dilihat “ adanya kaitan antara kelahiran karya cipta dan
lingkungan sekitarnya.
Dari
sudut kepentingan penataan kehidupan itu sendiri, maka penumbuhan, pembinaan
dan pengembangan kreativitas untuk mencipta tidak mungkin di pisahkan dari
upaya untuk menumbuhkan iklim yang semakin membangkitkan gairah pencipta. Iklim
seperti ini pada giliranya harus pula mampu untuk terus menumbuhkan apresiasi
masyarakat, terutama dalam menumbuhkan sikap untuk menghargai dan menghormati
suatu karya cipta. Cara pandang seperti ini semakin erat relepansinnya dengan
keinginan kita untuk mewujudkan salah satu etos pembangunan nasional :
Propesionalisme dan produktivitas manusia Indonesia. Betapapun harus diakui
bahwa etos tentang propesionalisme dan produktivitas hanya akan terwujud
apabila dalam masyarakat terdapat sikap dan budaya untuk menghargai karya yang
dihasilkan melalui keahlian tersebut.
Bagi
manusia yang menghasilkannya, karya cipta tersebut memang memberikan kepuasan
batin. Tetapi dari segi yang lain karya cipta tersebut sebenarnya juga memiliki
arti ekonomi. Oleh karenanya adanya manfaat atau nilai ekonomi pada suatu karya
cipta, menimbulkan akibat kosepsi mengenai kebutuhan pelindungan hukum.
Pengembangan konsep ini,”bila dilihat dari segi usaha untuk
mendorong tumbuhnya sikap dan budaya menghormati atau menghargai jerih payah
orang lain, memiliki arti yang penting. Hal ini ditinjau dari kebutuhan negara
untuk mewujudkan tatanan kehidupan ekonomi yang tetap memberikan penghormatan
terhadap hak-hak perseorangan secara seimbang dengan kepentingan masyarakat dan
bangsanya.
Dalam
rangka pemahaman masalah inilah kehadiran undang-undang hak cipta perlu
memperoleh perhatian sewajarnya terutama mengingat perkembangan pelaksanaan
pembangunan di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra semakin meningkat.
Akan tetapi di tengah kegiatan pelaksanaan pembangunan,
perkembangan pula pelanggaran hak cipta yang dalam istilah populernya dikenal
denga istilah pembajakan hak cipta. Masalah pembajakan hak cipta ini
betul-betul merisaukan, karena biasanya yang dibajak adalah buku-buku yang
sudah laku atau dalam katagori the best seller.
Hasil
dari pembajakan dan penjiplakan memang sulit untuk dibedakan dengan aslinya
bagi masyarakat awam, hal ini sebabkan oleh karena kemajuan teknologi dibidang
grafika. Salah satu contoh kongret mungkin dapat dikemukan bahwa hasil fotokopi
suatu buku kadang-kadang sulit untuk dibedakan dengan yang asli.
Oleh karena itulah, maka sampai dewasa ini kita masih sangat
kekurangan hasil ciptaan dan penerbitan buku di bidang ilmu pengetahuan,
kesusasteraan dan kesenian. Untuk mencapai cita-cita yang didambakan yaitu
menigkatkan kecerdasan dan kesejateraan bangsa, harus diusahakan adanya cukup
karya cipta, terutama buku yang bermutu. ”hasil karya ciptaan tidak hanya
merupakan sarana penunjang pembangunan nasional tetapi juga merupakan sarana
untuk melestarikan kebudayaan bangsa.
Saat ini yang perlu diperhatikan adalah hal apa yang
menyebabkan kendala kurangnya karya cipta asli tersebut, apakah karena hasil
ciptaan tidak begitu menguntung dibandingkan dengan pengorbanan yang telah
diberikan untuk terciptanya hasil karya tersebut, ataukah masih dirasakan
kurangnya perlindungan hukum terhadap hak cipta. Untuk itu, mengingat pentingnya
fungsi dan peranan hak cipta seperti yang telah dikemukan diatas, maka upaya
untuk memasyaratkan hukum dan membuat undang-undang hak cipta agar berlaku
efektif menjadi lebih penting. Hal ini lah yang mendorong penulis untuk
mengangkat permasalahan ini dalam suatu penelitian dengan judul “PERANAN HAK CIPTA DALAM MELINDUNGI KARYA CIPTA DAN UPAYA HUKUM
YANG DILAKUKAN APABILA TERJADI PELANGGARAN HAK CIPTA MENURUT UNDANG-UNDANG HAK
CIPTA NO 19 TAHUN 2002 “
B. Permasalahan
Berdasarkan
uraian latar belakang di atas maka permasalahan yang dibahas dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana peranan undang-undang hak
cipta dalam melindungi karya cipta dari pengarang ?
2.
Upaya-upaya hukum apa yang dapat
dilakukan pengarang apabila terjadi pelanggaran terhadap karya ciptanya ?
C. Ruang lingkup dan
tujuan penelitian
Agar
pembahasan yang dilakukan lebih terarah dan tidak menyimpang dari pokok
permasalahan maka ruang lingkup pembahasan dalam penelitian ini yaitu, tinjauan
jaminan pelindungan hak pengarang di Indonesia menurut Undang-Undang Hak Cipta
Nomor 19 tahun 2002 yang termaktub dalam ruang lingkup hukum tentang ekonomi
dengan menjadikan landasan pokok berpikir pada Undang-Undang Nomor 19 tahun
2002 tentang hak cipta.
Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami peranan undang-undang hak
cipta dalam melindungi karya cipta dari pengarang dan upaya-upaya hukum yang
dapat dilakukan pengarang apabila terjadi pelanggaran terhadap karya
ciptanya.
D. Metodologi
Penelitian
ini adalah tergolong penelitian hukum normatif yang bersifat diskriptif.
Teknik
pengumpulan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan untuk mendapatkan
data sekunder.
Analisis
data dilakukan dengan cara mengkaji bahan hukum, primer dan sekunder dengan menelaah
berbagai peraturan perundang-undangan dan buku yang bersangkut paut dengan
pokok permasalahan yang sedang ditelliti serta bahan-bahan yang dipandang
relevan.
Teknik
pengolahan data dilakukan dengan menganalisis semua bahan hukum yang ada secara
kualitatif untuk selanjutnya dikontruksikan dalam bentuk kesimpulan.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HAK CIPTA DAN HAK PENGARANG
A. Sejarah Perkembangan Hak Cipta
Sejak Indonesia merdeka, perkembangan pemikiran hak cipta di
negara kita boleh dikatakan mengalami pasang surut. Ketika pengarang
mengetahui hasil cipta karya mereka di perbanyak oleh pihak yang
tidak berhak,maka persoalan ini diperkarakan dan mendapat perhatian umum.tetapi
adakalanya dimana tak ada satu pun media massa yang menyebutkan atau
mengomentari masalah hak cipta ini.
Mengenai
perkembangan pemikiran serta usaha yang dilakukan baik dari pihak pemerintah
maupun pihak swasta sehubungan dengan masalah hak cipta dapatlah dikemukan
periode-periode tentang sejarah atau perkembangan hak cipta.
Periode-periode
tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Undang-Undang dasar tahun 1945.
Undang-Undang
yang ditetapkan pada tanggal 18 agustus 1945 ini ternyata sama sekali tidak
menyebutkan istilah hak cipta. Namun dengan demikian, tidaklah benar apabila
kita menutup kemungkinan bagi pembicaraan yang berkenan dengan hak cipta dalam
undang-undang hak cipta yang berlaku pada masa ini adalah : Auterur 1912 No.
600 yang diundangkan pada tanggal 23 september tahun 1912. peraturan ini masih
tetap berlaku karena ini dimungkinkan dengan adanya ketentuan pasal 11 aturan
UUD 1945 yang menyatakan
“
segala badan negara dan peraturan yang ada masih tetap berlaku selama
belum diadakan yang baru menurut undang undang dasar ini “
sehingga
dengan demikian selama belum ada pengganti Auteueswet 1912, peraturan ini masih
tetap berlaku
2. Pada bulan Oktober 1951 berlangsung kongres
kebudayan nasional yang ke 11 yang diselengarakan oleh badan musyawarah kongres
nasional (BMKN) di Bandung. Kongres ini dipelopori organisasi swasta yang
mendapat hasil antara lain adalah : Penggunaan istilah “ hak cipta “ dimana
sebelumnya yang digunakan adalah “ Hak pengarang “ . Adapun Istilah “ hak Cipta
“ ini merupakan penemuam. Soetan Moehamadsjah, yang dalam alasanya menyatakan
bahwa istilah hak cipta ini lebih luas pengertianya dari pada hak pengarang. “
Auetur” dalam bahasa pergaulan Belanda dapat diartikan dengan “ Schrijver ”
yaitu pengarang, tetapi Auteur yang dimaksud oleh Auterswet 1912 meliputi pula
penggambar (Takenaar) dan pelukis (Schelder).
3.
Sampai sekitar tahun 1958, pembajakan – pembajakan di
Indonesia masih tetap berlangsung, khususnya pembajakan terhadap buku-buku dan
hasil penerbitan lainnya. Hal ini menimbulkan pemikiran bagaimana cara
mengatasi problem hak cipta tersebut. Maka pada tanggal 18 Desember 1958
diadakan pertemuan yang dihadiri oleh organisasi Pengarang Indonesia (OPI)
Ikatan Penerbit (IKAPI), persatuan Toko Buku Indonesia (PTBI) dan Grafiak
Indonesia yang kesemuanya ini tergabung dalam Majelis Musyawarah lektur, dan
dalam pertemuanya pembajakan dan pelanggaran hak cipta di Indonesia sesuai
dengan hukum yang berlaku
4.
Pada tahun 1958 juga untuk pertama kali disusun suatu
Rancangan Undang – Undang Hak cipta oleh Menteri Pendidikan Pengajaran dan
Kebudayaan. Prijono bersama – sama dengan MENKEH G.A. Maengkom. Pertimbangan
penyusuanannya antara lain perlunya penyesuaian ketentuan hak cipta dalam
Indonesia merdeka dan adanya hal-hal yang belum diatur, seperti : Ciptaan yang
disiarkan melalui radio
5.
Pada tanggal 26 September 1966 disusunlah Rancangan Undang-undang
Hak cipta oleh rapat pleno BPLPHN (Badan Perencana Lembaga Hukum Nasional)
Alasan disusunnya RUU ini adalah adanya jurang pemisah yang amat dalam mengenai
nasib pencipta disatu pihak dengan artis/penyanyi dipihak lain, karena tidak
ada satupun badan/ organisasi yang memperjuangkan hak-hak pencipta dan
peraturan yang berlaku mengenai hak cipta pada kenyataannya kurang dikenal
masyarakat
6.
IKAPI pada tahun 1972 membentuk suatu panitia Hak Cipta. Dasar
pertimbangannya adalah karena bertambah meluasnya penjiplakan-penjiplakan buku
dibeberapa daerah Di indonesia, terutama didaerah Jabar dan Jateng. Penjiplakan
itu disinyalir karena kurang terjaminya hak-hak pencipta yang dilindungi oleh
Auteurswet 1912 atau kemungkinan juga disebabkan olehkurangnya kesadaran untuk
menghargai hasil karya orang lain, baik oleh kalangan umum maupun oleh
badan-badan yang berwenang
7.
Pada tanggal 16-27 Februari 1973, diadakan lokakarya hak cipta
oleh Depaetemen Penerangan di Jakarta. Walaupun dalam lokakarya ini tidak
menghasilkan suatu Undang-undang, namun lokakarya ini berhasil membulatkan
tekad, bahwa perlu adanya Rancangan Undang-undang yang segera dapat dijadikan
undang-undang yang sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia, sebagai pengganti
Auteurswet 1912.
8.
Selanjutnya Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerjasama dengan
Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali. Pada tanggal 20-22 Oktober 1975,
menyelenggarakan seminar hak cipta.
Seminar
ini bertujuan mencari masukan bagi penyusunan rancangan undang-undang Hak Cipta
nasional tujuan tersebut pada akhirnya dapat dicapai. Seminar ini juga berhasil
menyusun suatu rancangan undang-undang hak cipta yang dianggap layak.
Selanjutnya rancangan undang-undang ini diolah oleh Departemen Kehakiman
setelah 26 Februari 1982 rancangan undang-undang hak cipta ini mendapat
persetujuan dari DPR-RI yang kemudian disahkan menjadi Undang-undang Hak Cipta
no. 6 tahun 1982 tercantum dalam Lembaran Negara RI tahun 1982 no. 15
tertanggal 12 April 1982.
9.
Dalam kurun waktu lima tahun sejak diundangkannya undang-undang
Hak Cipta no. 6 tahun 1982, ternyata dari berbagai pemberitaan pers terutama
terutama dari tahun 1984-1989 masih sering kita dengar tentang begitu besar dan
meluasnya pelangaran terhadap hak cipta. Dan dari pengamatan selama tahun
1986-1987 tanpak pula bahwa kesadaran hukum masyarakat belum menujukan gambaran
kearah terciptanya iklim yang menunjang serta mendukung ditegakkannya
pelindungan dibidang hak cipta ini.
Rendahnya
tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat pada umumnya tentang arti dan
fungsi hak cipta (dan bahkan dikalangan pencipta sendiri) merupakan salah satu
pendorong kian meluasnya tindakan pelanggaran hak cipta. Atas dasar penilaian
bahwa pelanggaran hak cipta telah memberikan pengaruh yang begitu luas terhadap
sendi-sendi kehidupan bangsa, presiden dalam bulan juli 1986 membentuk tim kerja
(dikenal sebagai tim kepres 34) yang dipimpin menteri/sekretaris negara dengan
tugas meneliti, mempelajari, dan mengambil tindakan yang diperlukan atas segala
permasalahan dibidang “Intellectual Property Rights”.
Usaha-usaha
yang dilakukan meliputi permasalahan yang timbul dalam kaitannya dengan
pelaksanaan undang-undang hak cipta, undang-undang merek perniagaan serta
mempercepat penyelesaian penyusunan undang-undang paten. Sejak pembentukkannya,
prioritas penanganan diberikan kepada penyelesaian permasalahan dibidang hak
cipta. Sejak itu, berbagai bahan, keterangan, dan pandangan diterima dari pihak
yang berkepentingan dengan hak cipta seperti kadin indonesia dan
asosiasi-asosiasi dibidang musik, buku, film dan komputer. Adapun hasilnya
adalah, dapat ditarik beberapa kesimpulan penting, yaitu :
Pertama
: Pelanggaran terhadap hak cipta terutama yang berupa
pembajakan, dinilai mencapai titik yang membahayakan kretifitas mencipta.
Kedua
: Ancaman pidana dalam
undang-undang No. 6 tahun 1982 tentang 1982 tentang Hak Cipta dinilai terlalu
ringan dan penerapannyapun dinilai terlalu lunak. Hal ini menjadikan
undang-undang tersebut tidak lagi mampu berperan sebagai penangkal tindak
pindana pembajakan hak cipta tersebut.
Ketiga
: Dirasakan kurangnya
koordinasi dan kesamaan pandangan, sikap, serta tindakan diantara aparat
penegak hukum dalam menghadapi masalah pelanggaran hak cipta tersebut.
Keempat
: Masih kurangnya tingkat pemahan mengenai arti dan fungsi hak
cipta serta ketentuan-ketentuan undang-undang Hak Cipta dikalangan masyarakat
pada umumnya, dan bahkan dikalangan pencipta pencipta pada khususnya.
Bertolak
dari kesimpulan diatas. Tim KEPRES 34 setelah meniliti lebih lanjut
undang-undang hak cipta 1982 kemudian menyampaikan laporan dan pertimbangan
kepada presiden. Kemudian Tim KEPRES 34 ini mengadakan perubahan –
perubahan dan penyempurnaan terhadap beberapa ketentuan dalam undang-undang hak
cipta tersebut. Untuk itu dibentuklah undang-undang baru yang pada tanggal 19
September tahun 1987 disahkan menjadi undang-undang no 7 tahun 1987 tentang
perubahan atas undang-undang no. 6 tahun 1982 tentang hak cipta.
Dengan
undang-undang pengaturan hak cipta (UUPHL) 1987 telah mengubah sebagaian isi
Undang-undang hak cipta 1982 sehingga dengan demikian secara yuridis berlaku
ketentuan sebagai berikut:
1.
Undang-undang Hak Cipta 1982 masih
tetap berlaku sepanjang pasal-pasal yang belum dihapus atau diganti dengan yang
baru oleh undang-undang pengaturan hak cipta
2.
Ketentuan-ketentuan dalam
pasal-pasal Undang-undang pengaturan hak cipta 1987 yang mengganti atau
menambah isi undang-undang hak cipta 1982 diperlukan bersama-sama dengan
ketentuan-ketentuan pasal-pasal yang masih berlaku dalam undang-undang Hak
Cipta 1982 terhitung mulai tanggal 19 September 1987
3.
Penyebutan Undang-undang Hak Cipta
di Indonesia terhitung mulai tanggal 19 September 1987 ialah : Undang-undang
No: 6 tahun 1982 jo. Undang-Undang No. 7 Tahun 1987 tidak dibenarkan hanya
menyebutkan satu saja.
Dasar
pertimbangan dikeluarkan undang-undang pengaturan Hak Cipta 1987 Sebagai
berikut:
1.
Pemberian perlindungan Hukum
terhadap Hak Cipta pada dasarnya dimaksud sebagai upaya mewujudkan iklim yang
lebih baik bagi pertumbuhan dan perkembangan dibidang ilmu pengetahuan, seni dan
sastra.
2.
Ditengah kegiatan ini pula ternyata
telah berkembang pula kegiatan pelanggaran hak cipta, terutama dalam bentuk
tindak pindana pembajakan
3.
Pelanggaran itu telah mencapai
tingkat yang membahayakan dan dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat pada
umumnya dan minat untuk mencipta pada khususnya.
4.
Untuk mengatasi dan menghentikan
pelanggaran hak cipta dipandang perlu untuk mengubah dan menyempurnakan
beberapa ketentuan dalam Undang-undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta.
Semakin pesatnya perkembangan dibidang ilmu pengetahuan,
seni dan Sastra, karena tidak sesuai lagi dengan ketentuan Undang-undang yang
lama maka terjadi penyempurnaan dan penambahan Undang-undang baru yakni
undang-undang Nomor. 19 Tahun 2002 tentang hak cipta yang lahir pada tanggal 29
Juli 2003.9
Dalam
undang-undang Nomor. 19 Tahun 2002 terdapat perubahan berupa penyempurnaan dan
penambahan beberapa ketentuan baru, yang memberikan pengaturan baru dalam
sistem hukum Hak Cipta antara lain, mengenai :
1.
Database merupakan salah satu
ciptaan yang dilindungi
2.
Penggunaan alat apapun baik melalui
kabel maupun tampa kabel.
3.
Penyelesaian sengketa oleh
pengadilan Niaga, arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa
4.
Penetapan sementara pengadilan untuk
mencegah kerugian lebih besar bagi pemegang hak.
5.
Batas waktu proses perkara perdata
dibidang hak cipta dan lebih besar terkait, baik dipengadilan niaga maupun di
mahkamah Agung.
6.
Pencantuman hak informasi manajemen
elektronik dan sarana kontrol teknologi
7.
Pencantuman mekanime pengawasan dan
perlindungan terhadap produk-produk yang menggunakan sarana produksi
berteknologi tinggi.
8.
Ancaman pidana atas pelanggaran hak
terkait
9.
Ancaman pidana dan denda minimal
10. Ancaman pidana terhadap perbanyakan penggunaan program
komputer untuk kepentingan komersial secara tidak sah dan melawan hukum.
Sebagai
suatu sistem hukum, hak cipta melengkapi konsep hukum atas hak milik perorangan
yang terletak pada kebendaan. Pengaturan pertama kali dalam Undang-undang No.6
tahun 1982, merupakan langkah kedua setelah diberlakukan Undang-undang No.21
tahun 1961.
B. Pengertian Hak Cipta
Pengertian
Hak Cipta dalam Undang-undang ini mengacu kepada pemilik hak cipta dan pemegang
hak cipta ataupun salah satu diantara keduanya. Menurut Undang-undang Hak Cipta
No.19 tahun 2002 dalam pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa
“Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta
atau penerimaan hak untuk menggunkan atau memperbanyak ciptaanya atau memberi
izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan
perundang-perundang yang berlaku.
Hak ekselusif ini maksudnya adalah bahwa tidak ada orang
lain yang boleh melakukan hak itu kecuali dengan izin pencipta. Dalam ekonomi
manfaat yang diperoleh atau dirasakan dari hasil jerih payah pecipta tadi.
Karena kegiatan memperbanyak dan atau menumumkan ciptaan, atau memberi izin
kepada pihak lain untuk ikut memperbanyak dan atau mengumumkan ciptaan
tersebut merupakan tindakan berdasarkan pertimbangan komersial atau ekonomi.
Artinya
kegiatan memperbanyak ataupun bentuk eksploitasi karya cipta lainnya,
juga merupakan hak dari pencipta. Undang-undang hak cipta memberikan
pengertian bahwa hak cipta sebagai hak khusus, hal ini berarti pemahaman undang-undang
berpangkal pada melekatnya sifat khusus kepada pencipta atau pemilik.
Hak
tersebut dikaitkan dengan pemikiran tentang perlunya pengakuan, dan
penghormatan terhadap jerih payah pencipta atas segala daya upaya dan
pengorbanan telah terlahirnya suatu karya atau suatu ciptaan.
Dalam
setiap peraturan perundang-undangan, biasanya diuraikan mengenai teminologi
atau istilah yang digunakan agar dapat dengan mudah memberikan pengertian atau
batasan-batasan yang ada didalam undang-undang hak cipta, yang pada awalnya
dicantumkan istilah-istilah yang memberikan pengertian atau batasannya.
Dalam
pasal1 undang-undang nomor 19 tahun 2002 tentang hak cipta, dikemukan beberapa
istilah :
1.
“pencipta adalah seorang atau
beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan
suatu ciptaan berdasarkan kemampuan, pemikiran, imajinasi, kecekatan,
keterampilan, atau keahlian yang dituangkan kedalam bentuk yang khas atau
bersifat pribadi”.
2.
“pemegang hak cipta adalah pencipta
sebagai hak cipta atau pihak yang menerima hak tersebut dari pencita atau pihak
lain yang menerima hak tersebut dari pencipta atau pihak lain yang menerima
lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut”.
3.
“ciptaan adalah hasil setiap karya
pencipta yang menunjukan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni atau
sastra”.
4.
“pengumuman adalah pembacaan,
penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu hak ciptaan
dengan mengunakan alat ataupun termasuk media internet atau melakukan dengan
cara apapun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, dilihat orang lain”.
5.
“perbanyakan adalah penambahan
jumlah suatu ciptaan hak baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat
substansi dengan mengunakan bahan-bahan yang sama atau pun tidak sama, termasuk
mengalih wujudkan secara permanen ataupun temporer ”.
Dalam
undang-undang ini pemegang hak cipta pada dasarnya adalah pencipta. Dialah
sebenarnya pemilik hak cipta atas perorangan atau badan hukum yang menerima hak
tersebut dari pemilik hak cipta yang juga sebagai pemegang hak cipta.
Demikian
pula orang perorangan atau badan hukum yang kemudian menerima dari pihak yang
telah menerima terlebih dahulu hak tersebut dari pencipta.
Dengan demikian pengertian hak cipta dalam undang-undang ini
mengacu kepada pemilik hak cipta dan pemegang hak cipta atau pun salah
satu diantara keduanya.
Didalam
pasal 1 ayat (1) undang-undang hak cipta nomor 19 tahun 2002 bahwa :
“hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta
atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaanya atau memberi
izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku ”.
Kalau
memperhatikan pasal 1 ayat (1) tersebut diatas, maka hak cipta meliputi
beberapa unsur yaitu:
1.
Hak eksklusif, hak yang dimiliki
seorang pencipta untuk mengadakan atau membuat suatu ciptaan dan tidak ada
orang lain yang boleh melakukan untuk mengadakan ciptaan itu kecuali dengan
izin pencipta.
2.
Pencipta, orang yang memiliki
kemampuan untuk mencipta suatu karya cipta yang berdasarkan imajinasinya.
3.
Penerima hak, orang atau badan hukum
yang menerima dari seseorang pencipta dimana hak itu diberikan sesuai dengan
perjanjian.
4.
Mengumunkan, menyiarkan atau
menyebarkan suatu ciptaan agar dapat didengar dan diketahui oleh orang lain.
5.
Memperbanyak, menambah, jumlah suatu
ciptaan atau karya dalam bentuk yang sama.
6.
Ciptaan, bentuk yang dibuat oleh
seorang pencipta dimana bentuk tersebut sudah menjadi suatu rancangan dalam
bentuk khas.
7.
Memberi izin, sipencipta dapat
memberi izin kepada orang lain atau penerbit untuk menerbitkan hasil dari
ciptaannya, apabila sipencipta telah memberikan izin orang tersebut atau kepada
penerbit.
Dengan
demikian bahwa pengertian hak cipta adalah hak yang dimiliki seorang pencipta
atau pemegang hak cipta untuk mengumukan dan memperbanyak hasil
ciptaanya. Dengan lahirnya hak cipta itu maka seorang pencipta diharapkan
untuk mendaftarkan hasil ciptaanya, agar dapat mudah untuk mengetahui
siapa-siapa saja yang dianggap sebagai pencipta yang sebenarnya dan apabila
terjadi suatu hal mengenai perselisihan tentang siapa-siapa saja yang dianggap
sebagai pencipta, maka dapat dengan mudah seorang pencipta tersebut membuktikan
bahwa dialah yang sebenarnya memiliki karya atau ciptaan itu.
Kalau
diperhatikan pasal 1 ayat (1) undang-undang nomor 19 tahun 2002 diatas, maka
fungsi hak cipta adalah: untuk mengumukan, memperbanyakan, memberi izin untuk
mengumumkan dan atau memperbanyak atas ciptaan itu, dan memperjanjikan hak
cipta itu dengan pihak lain, misalnya untuk menerbitkan.
C. Pengertian pencipta
Menurut
pasal 1 sub a undang-undang hak cipta no 19 tahun 2002 dimaksud dengan
pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang diatas
inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran,
imajinasinya, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituang dalam bentuk
yang khas dan bersifat pribadi.
Apabila dikaji lebih jauh makna pengertian pencipta
sebagaimana yang diatur didalam pasal 1 sub a tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa pengertian yang tercantum disitu masih umum. Oleh sebab itu dapat
dikatakan undang-undang hak cipta menganut “dua rumusan pengertian
pencipta yakni secara positif artinya disebutkan siapa penciptanya, jadi
dalam hal ini sudah jelas siapa yang dimaksud dengan pencipta dan yang
kedua secara tafsiran atau kebalikan dari yang pertama dimana dalam
undang-undang disebutkan dianggap sebagai pencipta kecuali terbukti hal
sebaiknya.
Dari uraian diatas, kiranya perlu pula dijelaskan
makna pengertian kata “kecuali terbukti sebaliknya“.Kata-kata tersebut mengandung
arti, bahwa bilamana dikemudian hari ada orang lain yang dapat membuktikan
bahwa dialah yang sebenarnya mencipta, maka anggapan yang pertama akan gugur.
Dan yang akan memastikan kebenaran tersebut adalah pengadilan negeri. Instansi
inilah yang akan menentukan siapa sesungguhnya telah mencipta, dan
karenanya berhak disebut sebagai pencipta
Kecuali
terbukti sebaliknya, seseorang dianggap sebagai pencipta apabila orang yang
bersangkutan :
1.
Disebut dalam atau pada pencipta,
atau memang diumukan sebagai penciptanya; atau
2.
Namanya terdaftar sebagai pencipta.
Yang
menjadi pertanyaan adalah kapan suatu ciptaan lahir atau dengan kata lain kapan
hak cipta seseorang sudah dilindungi oleh undang-undang hak cipta ?
jawaban atas pertanyaan ini dapat dilihat dalam pasal 11 ayat 3 undang-undang
hak cipta no 19 tahun 2002 yang menyatakan, bahwa jika suatu ciptaan telah
diterbitan tetapi tidak diketahui oleh peciptanya dan atau penerbitnya, maka
negara memegang hak cipta atas ciptaan tersebut untuk kepentingan penciptaanya.
Hal
ini menunjukan suatu hak cipta sudah ada terhadap suatu hasil karya
walaupun belum diumukan kepada khalayak ramai, namun sudah merupakan
suatu wujud yang nyata atau ciri khas seseorang, ini sudah mendapat
perlindungan dari undang-undang hak cipta.
D. Ruang Lingkup Hak Cipta.
Ruang lingkup hak cipta dapat dibagi dalam 3 kategori yaitu
dalam bidang ilmu, seni dan sastra. “ apa yang dimaksud dengan ketiga istilah
tersebut tidak diberi penjelasan oleh undang-undang, hal ini menimbulkan
keragu-raguan, karena ada yang berpendapat
Bahwa
ilmu pengetahuan adalah termasuk dalam bidang patent. Tetapi walaupun tidak
diberi penjelasan secara terperinci yang dimaksud dengan ilmu, seni dan sastra
namun sebagai petunjuk dapat kita lihat isi pasal 11 ayat 1 undang-undang hak
cipta yang berbunyi sebagai berikut :
“
Dalam Undang-undang ini ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang
ilmu, seni dan sastra yang meliputi :
1.
Buku, Pamplet dan semua hasil karya
yang ditulis lainnya ;
2.
Ceramah, kuliah, pidato dan
sebagainya;
3.
Karya pertunjukan seperti musik,
karawitan, drama tari, pewayangan, pantomim, dan karya siaran antara lain untuk
media radio, televisi, film serta karya rekaman video:
4.
Ciptaan kategori, ciptaan lagu atau
musik dengan atau tanpa teks, dan karya rekaman suara atau bunyi ;
5.
Segala bentuk seni dan rupa seperti
seni lukis, seni pahat, seni patung, dan kaligrafi yang perlindungan diatur
dalam pasal 10 ayat 2;
6.
Seni batik;
7.
Arsitektur
8.
Peta ;
9.
Sinematografie ;
10. Fotografie;
11. Program komputer ;
12. Terjemahan, tafsiran, saduran dan penyusunan bunga rampai.
Dari
isi pasal tersebut dapat dilihat bahwa yang termasuk dalam kategori ilmu adalah
berupa hasil karya asli dari pencipta yang dituangkan baik dalam betuk buku,
pamplet, ceramah, pidato dan sejenisnya. Selain karya asli dari pengarang
undang-undang juga memberikan perlindungan terhadap hasil karya saduran atau
terjemahan, hal ini dapat dilihat dalam ayat 2 dari pasal 11 tersebut yang
berbunyi :
“
Terjemaahan, tafsiran, saduran perfilaman, rekaman, gubahan musik, himpunan
catatan dan lain-lain cara memperbanyak dalam bentuk mengubah dari pada ciptaan
asli dilindungi sebagai ciptaan tersendiri, dengan tidak mengurangi hak cipta
atas ciptaan aslinya”.
Sedangkan
yang termasuk dalam kategori seni dan sastra adalah ciptaan musik, baik itu
dengan teks maupun tanpa teks, pertunjukan krawitan, drama, baik itu disiarkan
melalui televisi, film, radio ataupun dengan cara lain sesuai dengan tata cara
memperbanyak dan mengumumkan hasil karya cipta seseorang.
Dengan
memperhatikan isi pasal 11 tersebut dapt dilihat, bahwa ruang lingkup hak cipta
cukup luas, artinya yang dilindungi tidak hanya terhadap hasil karya asli atau
hasil karya cipta seseorang akan tetapi juga dilindugi saduran, terjemahan atau
gubahan terhadap hasil karya asli. Dengan kata lain terhadap terjemahan,
saduran, mendapat perlindugan tersendiri pula.
E. Prosedur pendaftaran hak cipta.
Ketentuan mengenai pendaftaran hak cipta, diatur dalam pasal
35 sampai dengan pasal 43 Undang-undang No. 19 Tahun 2002, yang terletak
dikantor Direktorat Jendral hak atas kekayaan intelektual dan dicatat dalam
Daftar umum ciptaan dimana setiap orang dapat melihat tanpa mengeluarkan biaya
. Namun apabila orang ingin dirinya sendiri suatu petikan dari daftar umum
ciptaan tersebut dengan dikenai biaya.
Dalam pasal 35 ayat (4) ditentukan bahwa pendaftaran Hak
cipta tidak merupakan kewajiban untuk mendapatkan hak cipta, ini merupakan
point penting dalam kerangka perlindugan hak cipta. Pendaftaran hak cipta bukan
merupakan suatu keharusan tetapi kerelaan bagi pencipta atau pemegang hak
cipta. Peranan kantor Direktorat Hak Cipta berfungsi, untuk administrasi dan
mengelola pendaftaran hak cipta saja (pasal 52 Undang-undang No.19 tahun 2002).
Dan
perlu ditegaskan bahwa timbulnya perlindungan suatu ciptaan dimulai sejak
ciptaan itu ada atau didaftarkan. Artinya disini bahwa hak cipta baik terdaftar
tetap mendapat perlindungan yang sama oleh Undang-undang.
Kantor
direktorat hak cipta tidak mempunyai wewenang untuk menjustifikasi hak cipta
tersebut layak didaftar atau tidak, kecuali memang hak cipta tersebut
bertentangan dengan undang-undang, misalnya gambar marka jalan lalu lintas,
tidak dapat didaftar, karena gambar dan bentuk tersebut telah menjadi milik
umum.
Sehubungan
dengan masalah tersebut, dalam pasal 36 undang-undang hak cipta menentukan
bahwa, pendaftaran ciptaan dalam daftar umum ciptaan tidak mengandung arti
sebagai pengesahan atau isi, arti maksud dan bentuk dari ciptaan yang didaftar.
Dalam daftar umum pendaftaran hak cipta memuat antara lain:
1.
Nama pencipta dan pemegang hak cipta
2.
Tanggal penerimaan surat permohonan
3.
Tanggal lengkapnya persyaratan
4.
Nomor pendaftaran ciptaan.
Dalam
pasal 37 ayat (1) ditentukan bahwa pendaftaran ciptaan dalam daftar umum
ciptaan dilakuka atas permohonan yang diajukan oleh pencipta atau pemegang hak
cipta atau kuasa. Sebagaimana juga telah ditentukan dalam undang-undang hak
atas kekayaan intelektual yaitu lainya bahwa yang dimaksud dengan kuasa adalah
kosultan hak kekayan intelektual yaitu orang yang memiliki keahlian dibidang hak
atas kekayaan intelektual dan secara khusus memberikan jasa mengurus permohonan
hak cipta, paten, merek, desain industri serta dibidang-bidang hak kekayaan
lainnya.
Permohonan
diajukan kepada Direktorat Jendral dengan surat rangkap dua yang ditulis dalam
bahasa indonesia dan disertai contoh ciptaan dilampirkan, namun apabila ciptaan
yang dilampirkan tidak memungkinkan, maka diganti dengan miniatur atau fotonya.
Setelah melalui permohonan, maka dalam waktu paling lama 9 bulan sejak
diterimanya permohonan pendaftaran secara lengkap Direktorat Jendral harus
memberikan keputusan diterima atau ditolaknya pendaftaran hak cipta.
Dalam
hal permohonan diajukan oleh lebih dari seorang atau suatu badan hukum yang
secara bersama-sama berhak atas suatu ciptaan, permohonan tersebut dilampiri
salinan resmi atau keterangan tertulis yang membuktikan hak tersebut.
Apabila
pendaftaran diterima oleh kantor Direktorat Hak Cipta, maka pendaftaran
diumumkan dalam Berita Resmi ciptaan Oleh Direktorat Jendral. Apabila terdapat
pemindahan atas pendaftaran hak cipta, secara khusus ditentukan dalam pasal 41
Undang-Undang No. 19 tahun 2002 kami kutipkan sebagai berikut :
1.
Pemindahan hak cipta atas
pendaftaran ciptaan, yang terdaftar menurut pasal 39 yang terdaftar dalam satu
nomor, hanya diperkenankan jika seluruh ciptaan yang terdaftar itu dipindahkan
haknya kepada penerima hak
2.
Pemindahan hak tersebut dicatat
dalam daftar Umum Ciptaan atas permohonan tertulis dari kedua belah pihak
atau dari penerima hak dengan dikenai biaya.
3.
Pencatat pemindahan hak tersebut
diumumkan dalam berita resmi Ciptaan oleh Direktorak Jendral.
Apabila
terdapat perubahan nama atau perubahan alamat orang atau badan hukum yang
namanya tercatat dalam daftar umum ciptaan sebagai pencipta atau pemegang hak
cipta, maka atas permintaan tertulis dalam hak dicatat oleh direktorat Jendral.
Sebagaimana
telah kami uraikan bahwa pendaftaran hak cipta yang telah terdaftar tersebut
mempunyai kekuatan hukum, sehingga tidak dapat diganggu gugat oleh pihak lain.
Untuk
permasalahan ini Pasal 44 Undang-undang Hak cipta memberikan penegasan, bahwa
kekuatan hukum dari suatu pendaftaran ciptaan hapus karena :
1.
Penghapusan atas permohonan orang
atau badan hukum yang namanya tercatat sebagai pencipta atau pemegang hak cipta
2.
Lampau Waktu
3.
Dinyatakan batal oleh putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
F. Jangka waktu perlindungan hak
cipta
Mengedarkan,
dan lain-lain hasil karya ciptanya, atau memberi ijin kepada orang lain untuk
melaksanakannya. Hak cipta dikataka sebagai hak ekslusif, karena menyampingkan
orang lain untuk mengumumkan, memperbanyak, atau mengedarkan dan lain-lain
kecuali atas ijin pemilik atau pemegang hak yang bersangkutan.
Berikut
ini karya cipta atau ciptaan yang berlaku selama hidup pencipta dan terus
berlangsung hingga 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia dan apabila karya
cipta tersebut dimiliki oleh 2 orang atau lebih, maka Hak Cipta berlaku selama
hidup pencipta yang meninggal dunia paling akhir dan berlangsung 50 tahun
sesudah ia meninggal.
Apabila
ciptaan tersebut dimiliki oleh badan hukum, masa berlaku hak cipta selama 50 (
lima puluh ) tahun sejak karya tersebut pertama kali diterbitkan. Berikut ini
adalah karya cipta atau ciptaaan yang berlaku selama 50 tahun, menurut pasal 30
ayat (1) dan (2) Undang-undang Hak cipta No.19 Tahun 2002 yaitu :
1.
Program Komputer
2.
Sinematografi
3.
Fotografi
4.
Database
5.
Hasil karya seseorang
Beberapa
ketentuan khusus untuk hak cipta atas ciptaan yang dipegang atau dilaksanakan
oleh negara ( Pasal 31 Undang-undang No.19 Tahun 2002 ), yaitu dalam hal ;
1.
Berlaku tanpa batas, apabila Hak Cipta atas folkor dan hasil kebudayaan
rakyat menjadi milik bersama, misalnya cerita, dongeng, hikayat, legenda,
badud, lagu, kerajinan tangan, dan karya seni lainnya.
2.
Berlaku selama waktu 50 tahun
sejak ciptaan pertama kali terbit, apabila
suatu ciptaan tidak diketahui pencipta dan ciptaan itu belum diterbitkan,
Negara memegang Hak cipta atas ciptaan tersebut untuk kepentingan penciptanya.
Beberapa ketentuan
khusus selanjutnya, sebagaimana ditentukan dalam pasal 33 Undang-undang No.19
Tahun 2002 ;
1.
Perlindungan Hak Moral berlaku tanpa
batas waktu
2.
Perlindungan Hak Moral suatu ciptaan
yang hak ciptanya telah diserahkan kepada pihak lain, dan terhadap perubahan
judul dan anak judul berlaku selama berlangsung jangka waktu hak cipta atas
ciptaan yang berlangsungnya jangka waktu hak cipta atas ciptaan yang
bersangkutan, kecuali untuk pencantuman dan perubahan nama atau nama samaran
penciptanya.
Dalam
pasal 34 Undang-undang No.19 Tahun 2002, ditentukan tanpa mengurangi hak
pencipta atas jangka waktu perlindungan Hak Cipta yang dihitung lahirnya suatu
ciptaan, perhitungan jangka waktu perlindungan bagi ciptaan yang dilindungi :
1.
Selama 50 tahun
2.
Selama hidup pencipta dan terus
berlangsung hingga 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia, dimulai sejak 1
januari untuk tahun berikutnya setelah ciptaan tersebut diumumkan diketahui
oleh umum, diterbitka, atau setelah meninggal dunia.
Sebagaimana
diuraikan dalam penjelasan pasa 34 Undang-undang No.19 Tahun 2002, bahwa
ketentuan ini menegaskan tanggal 1 Januari sebagai dasar perhitungan
berakhirnya jangaka waktu perlindungan.
Titik
tolaknya adalah tanggal 1 Januari tahun berikutnya setelah ciptaan tersebut
diumumkan, diketahui oleh umum, diterbitkan atau penciptanya meninggal dunia.
Cara perhitungan jangka waktu suatu ciptaan apabila tanggal tersebut diketahui
secara jelas.
Jangka
waktu perlindungan, bagi hak terkait, yaitu ;
1.
50 Tahun untuk pelaku karya
pertunjukan, sejak karya tersebut pertama kali dipertunjukan atau dimasukan
kedalam media audio visual
2.
50 Tahun untuk prosedur rekaman
suara, sejak karya tersebut direkam
3.
20 Tahun untuk Lembaga Penyiaran,
sejak karya siaran tersebut pertama kali disiarkan.
G. Pengertian hak pengarang
Mengetahui
pengertian pengarang adalah penting hal ini berguna untuk membedakanya dengan
istilah penterjemah, penyadur, penghimpun dan illustrator, dimana kesemua
istilah tersebut sering kita jumpai baik dalam pengertian sehari-hari maupun
dalam penerbitan buku.
Pengarang
adalah orang yang menulis tentang gagasan atau ide-ide baik dalam bidang
sastra, seni dan ilmu pengetahuan yang dituangkan dalam bentuk naskah atau
buku, gambar/peta ataupun merupakan daftar.
Kepada
sipengarang tersebut oleh undang-undang diberi hak khusus untuk mengumumkanya
atau memperbanyak kepada masyarakat. Untuk memperbanyak dalam bidang buku-buku
biasanya para pengarang mempercayakanya pada penerbit melalui suatu ikatan
kerja sama dalam penerbitan.
Hak
pengarang menurut Muhammad Djumhana (2002:20) adalah menuangkan pokok-pokok
pikiranya yang orisinil kedalam suatu rangkaian kalimat-kalimat yang berbentuk
naskah atau berupa buku. Mengingat konsumen dari berbagai macam lapisan
masyarakat, maka para penulis karanganpun berbagai macam pareasinya, seperti
penulis novel/cerita fiksi, non fiksi/science dan malah ada penulis yang
menghususkan diri dalam penulisan otobiografi atau riwayat hidup seseorang.
BAB III
PERANAN HAK CIPTA DALAM MELINDUNGI KARYA CIPTA DAN UPAYA HUKUM
YANG DILAKUKAN APABILA TERJADI PELANGGARAN HAK CIPTA MENURUT UNDANG-UNDANG HAK
CIPTA NOMOR 19 TAHUN 2002.
A. Masalah Perlindungan Hak Cipta
Secara Internasional Diatur Dalam Dua Perjanjian Yaitu :
a. Konvensi Bern.
Yaitu suatu perjanjian internasional tentang hasil karya
sastra. Perjanjian ini nama lengkapnya adalah “Berner Convention For The
Protection of Literary and Artistic Works” yang ditandatangani
tanggal9 September 1986. Perjanjian ini sudah mengalami perubahan beberapa
kali; terakhir diperbaharui di Stockhom pada tanggal 14 juli 1967.
b.
Perjanjian hak cipta sedunia.
Nama lengkapnya adalah Universal Copyright Convension yang
ditandatangani di jenewa pada tanggal 6 September 1952 kemudian diperbaharui
pada tanggal 24 Juli 1971 di paris.
Di antara kedua ketentuan tersebut yang populer dalam
masalah hak cipta adalah konvensi yang pertama; sehingga sering disebut Konvesi Bern saja. Secara yuridis bagi
negara-negara yang turut serta menandatangani perjanjian tersebut, maka baginya
berlaku ketentuan yang tercantum dalam konvensi itu. Sehingga terhadap hasil
karya warga negaranya mendapat perlindungan secara internasional,
setidak-tidaknya untuk negara-negara yang turut serta menandatangani konvensi
itu.
Indonesia pada mulanya turut serta dalam Konvensi Bern (Bern Convention) sehingga negara Indonesia harus
menghormati hak-hak warga negara asing yang turut serta dalam konvensi
tersebut. Demikian juga halnya warga negara asingpun harus menghormati karya
cipta bangsa Indonesia diluar negeri, setidak-tidaknya dinegara peserta
konvensi.
Mengingat bahwa untuk mengambil hak cipta pihak asing sangat
sulit; di mana pembayaran royaltynya cukup tinggi; maka pemerintah Indonesia
pada tahun 1957 menarik diri dari konvensi Bern tersebut.
Dengan demikian negara Indonesia tidak terikat lagi terhadap
konvensi Bern. Demikian juga sebaliknya orang asingpun dapat secara bebas
menterjemahkan hasil karya cipta bangsa Indonesia kedalam bahasanya tanpa perlu
minta izin terlebih dahulu kepada pemegang hak cipta Indonesia
Namun setelah 35 tahun Indonesia keluar dari negara
penandatanganan Konvensi Bern kini sudah
waktunya untuk mempertimbangkan supaya Indonesia bergabung lagi. Selain untuk
mendapatkan perlindungan hak cipta secara timbal balik, juga untuk memperoleh
citra baik dimata Internasional, karena ternyata tujuan keluarnya Indonesia
dari Konvensi Bern sejak tahun 1957, agar bisa membajak buku-buku ilmu pengetahuan
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak dimanfaatkan secara optimal.
Memang untuk kembali
masuk kedalam Konvensi Bern terdapat berbagai pro dan kontra dengan alasan
masing-masing. Berikut ini penulis kutip pendapat yang dikemukakan oleh
Sudargo.
Alasan-alasan
yang kontra :
1.
Republik Indonesia suatu negara yang
masih muda dan baru saja turut serta dalam pergaulan dengan luar negeri masih
banyak membutuhkan hasil karya luar negeri untuk pembangunanya. Kiranya dapat
dibuka kesempatan selebar-lebarnya untuk mengadakan berbagai terjemahan dari
pada karya-karya luar negeri.
2.
Jika negara Indonesia turut
serta Konvensi Bern maka seorang warga negara Indonesia
yang hendak melakukan terjemahan dari pada hasil karya orang asing harus
terlebih dahulu mintak izin kepada pemilik hak cipta luar negeri. Hal ini
sering mengalami hambatan karena tingginyaroyalty.
3.
Pembayaran royalty kepada pemilik hak cipta diluar negeri
juga dirasakan sebagai sutu beban yang tidak ringan untuk alat pembayaran luar
negeri atau devisaIndonesia.
4.
Perbandingan antara kepentingan
perlindungan dari warga negaraIndonesiaatas ciptaanya diluar negeri yang
perlindunganIndonesia, maka nampaknya yang belakang ini lebih besar.
Alasan
yang pro :
1.
Republik Indonesiaadalah suatu
negara yang merdeka dan berdaulat. Sebagai suatu negara yang berdaulat yang
hidup dalam lalu lintas pergaulan Internasional adalah selayaknya
indonesiaturut serta dalam perjanjian internasional seperti Konvensi Bern tentang hak cipta.
2.
Dalam iklim pembangunan nasional
ini, kita harus melakukan adanya hasrat dan tujuan untuk berjalan seirama
dengan negara-negara maju, antara lain dengan melindungi hasil karya dari pada
pencipta-pencipta secara internasional.
3.
Dengan turut sertanya dalam Konvensi
Bern, hasil karya cipta pengarang-pengarang Indonesiadilindungi diluar negeri
setidak-tidaknya di negara yang turut serta dalam Konvensi Bern.
4.
Dalam hal adanya kesulitan untuk
menterjemahkan hasil karya dapat dilakukan dengan lisensi secara paksa.
Berdasarkan
kedua pendapat tersebut di atas, walaupun kelihatanya terdapat pertentangan
satu sama lainya namun pada dasarnya ada satu kesatuan pendapat yang tersirat
di dalamnya, yaitu perlunya perlindungan hak cipta secara internasional. Dengan
kata lain, pihak pengarang ingin mendapat pengakuan dari pihak lainya, bahwa
hasil karyanya tidak hanya diambil alih begitu saja oleh orang lain, akan
tetapi bila hasil karya ingin diterjemahkan kebahasa lain harus terlebih dahulu
minta izin dari pengarang asli ataupun kepada pemegang hak cipta.
Dalam
hal hasil karya cipta asing ingin diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia maka
walaupun Indonesia tidak terikat terhadap Konvensi Bern, tidak berarti hasil
karya pencipta asing dapat diterjemahkan begitu saja, tetapi harus minta izin
terlebih dahulu.
Apabila pihak pemegang hak cipta luar negeri tidak mau
memberikan izin, maka untuk menterjemahkan hasil kerya terebut dapat dimintakan
izin dari menteri kehakiman. Menteri kehakiman akan memberi izin dan akan
menetapkan besarnya royalty kepada
pemegang hak cipta (pasal 15 ayat 3 UUHC ).
Dalam rangka lebih membangkitkan gairah dan minat untuk
mencipta atau melahirkan suatu ciptaan baru dibidang ilmu pengetahuan, seni dan
sastra, maka pada tahun 2002 pemerintah Indonesia telah mengesahkan berlakunya
undang-undang nomor 19 tahun 2002 tentang hak cipta. Tetapi dalam pelaksanaanya
undang-undang nomor 19 tahun 2002 ternyata banyak pelanggaran hak cipta yang
terjadi terutama dalam bentuk berbagai macam tindak pembajakan yang salah
satunya berupa pembajakan buku-buku. Semakin lama pelanggaran hak cipta
tersebut semakin menjadi-jadi sehingga dirasakan telah mencapai suatu tingkat
yang membahayakan, terlebih dalam keadaan tertentu pemanfaatan dan atau
komersialisasi suatu hasil ciptaan tanpa izin pemiliknya memang dapat merupakan
kegiatan yang sungguh-sungguh tidak adil. Oleh karena itu pemerintah pada bulan
September 1987 melakukan perubahan dan penyempurnaan beberapa ketentuan dalam
undang-undang nomor 6 tahun 1982 diatur dalam undang-undang nomor 7 tahun 1987
dan disempurnakan dengan undang-undang hak cipta nomor 19 tahun 2002 pada
dasarnya undang-undang nomor 19 tahun 2002 pelanggaran hak cipta sebagai delik
biasa bukan delik aduan, sehingga praktis termasuk sebagai kejahatan .
Bila
dipandang dalam hubungan pelanggaran hak cipta sebagai delik kejahatan maka
dengan adanya undang-undang nomor 19 tahun 2002 tentang hak cipta merupakan
terobosan yang memaksa masyarakat Indonesia untuk ikut mentaati tatatertib
hukum internasional sekalipun paling sedikit baru dalam urusan hak cipta dalam
rekaman suara. Dengan demikian dapat dibayangkan bahwa tindakan pemerintah RI
dibidang perlindungan hak cipta akan semakin melebar di masa mendatang. Dan
tentunya akan memberikan dampak dan akibat yang akan merubah kebiasaan dan
kehidupan sehari-hari.
Adanya
undang-undang nomor 19 tahun 2002 sebenarnya merupakan isyarat bagi masyarakat
Indonesia untuk menghormati tata tertib internasional di bidang hak cipta,
walaupun hingga sekarang pemerintah Indonesia belum menentukan secara tegas
untuk kembali lagi pada Konvensi Bern. Pengertian tersebut mengandung maksud
kegiatan bajak-membajak itu tidak dapat dibiarkan berlansung terus dalam arti
bila mana masyarakat dan pemerintahIndonesiatidak menginginkan adanya tindakan
dunia internasional untuk memanfaatkan, menjual belikan dan menikmati berbagai
hasil produksi dan ciptaan kita tanpa izin.
B. Upaya-Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan Pengarang Apabila Terjadi
Pelanggaran Terhadap Karya Ciptanya.
1. Pengertian istilah pembajakan
buku.
Sebagai
mana yang telah dijelaskan dalam bab terdahulu, bahwa pasal 11 UUHC
menyebutkan, hak cipta yang dilindungi oleh undang-undang mencakup hak cipta
dalam bidang seni, ilmu pengetahuan dan sastra oleh karena itu penulis
membatasi pada bidang ilmu pengetahuan maka pembahasan selanjutnya berkisar
tentang pelanggaran hak cipta dalam bidang karya tulis atau akan dalam
kehidupan sehari-hari dikenal dengan pembajakan buku.
Istilah
pembajakan buku sebenarnya tidak ada dalam undang-undang hak cipta, hanya dalam
praktek sehari-hari istilah tersebut oleh berbagai kalangan masyarakat.
Pada awal mula munculnya istilah itu dipergunakan dalam
bidang transportasi khususnya untuk angkutan laut adapun yang dimaksud dengan
istilah itu adalah berupa perampokan yang dilakukan oleh penjahat sehingga
muncullah istilah bajak laut. Jadi pembajakan berarti perampokan . Artinya mengambil hak milik orang lain dengan
cara kekerasan ataupun dengan cara paksa.
Hak
milik dalam arti yuridis bukan hanya benda-benda yang nyata, akan tetapi juga
benda-benda yang tidak berwujud seperti : hak utang-piutang, hak cipta, hak
patent.
Untuk
hak cipta jelas dicantumkan dalam pasal 3 ayat 1 bahwa hak cipta adalah
merupakan benda bergerak mengingat masalah pembajakan hak cipta sudah cukup
serius, khususnya untuk pembajakan buku-buku, maka para penerbit yang tergabung
dalam ikatan penerbit Indonesia membentuk suatu tim penanggulangan masalah
pembajakan buku.
Tim ini telah membuat suatu rumusan tentang pengertian
pembajakan buku. Adapun rumusanya adalah sebagai berikut : Pembajakan adalah
suatu tindakan memperbanyak suatu buku kemudian menjualnya tanpa seizin pemilik
hak cipta pengarang dan atau pemegang hak cipta. Perbuatan ini dilakukan untuk
mencari keuntungan pribadi
Berdasarkan
rumusan yang diberikan oleh tim penanggulangan pembajakan buku IKAPI tersebut,
maka dapat diambil intinya makna suatu pembajakan buku adalah tindakan
memperbanyak buku tanpa izin dari pengarangnya atau pemegang hak cipta, demi
keuntungan pribadi pembajak.
Tindakan
memperbanyak hasil karya pencipta atau pengarang tanpa seizinya menurut
undang-undang hak cipta adalah merupakan pelanggaran hak cipta, disebut
demikian karena menurut pasal 2 hak cipta adalah merupakan hak khusus bagi
penciptanya untuk memperbanyak dan mengumumkan ciptaanya.
2. Sebab-sebab timbulnya
pembajakan buku.
Oleh
tim penanggulangan pembajakan buku IKAPI disinyalir ada 2 factor yang adanya
pembajakan buku yaitu :
1.
Buku dibajak diperlukan oleh masyarakat
dan sebab itu menjadi laku. Buku seperti ini sering disebut sebagai buku “ Best Seller “.
2.
Berkat kemajuan teknologi khususnya
dibidang grafika perbanyakan buku dapat dilakukan dengan mudah sekali.
Selain
itu juga terjadi pembajakan buku juga dapat ditinjau dari beberapa aspek yaitu
:
1.
Dari sudut ekonomi.
Melihat bahwa harga buku yang resmi cukup mahal maka para
konsumen buku khususnya dan masyarakat umumnya tidak mampu membeli buku,
padahal buku tersebut merupakan hal yang pokok baginya. Untuk mengatasi hal
yang demikian biasanya pembeli mencari kepasar loak yang sudah setengah pakai.
Yang menjadi masalah adalah buku yang dicari itu belum itu belum ada di pasar
loak karena baru terbit. Dalam situasi yang demikian inilah para pedagang yang
bermata jeli akan berusaha untuk mencari untung dengan cara yang illegal
yakni dengan pembajakan terhadap buku-buku yang dicari oleh masyarakat atau
terdapat buku-buku yang Best Seller.
Disebut ilegal karena
dalam hal ini membajak buku tersebut tidak meminta izin pada pengarang atau
pemegang hak cipta. Dengan cara demikian pihak pembajak dapat segera menikmati
untung karena ia tidak perlu membayar royalty, yaitu
pajak.
Biasanya
harga buku-buku bajakan ini jauh dibawah harga resmi, malah kadang-kadang bisa
mencapai separuh harga resmi.
2.
Lambannya distribusi kedaerah.
Dalam
hal pendistribusian buku-buku kedaerah-daerah memang menimbulkan masalah
tersendiri pula, yaitu dalam hal masalah transportasi buku tersebut. Apabila
kita perhatikan syarat-syarat pembelian yang tertera dalam brosur yang
dikeluarkan oleh penerbit maupun yang tercantum dalam iklan, jelas bahwa pihak
pembeli dibebani ongkos kirim tergantung buku tersebut akan dikirim.
Dengan
adanya ongkos kirim yang harus dipikul oleh pembeli maka menimbulkan keengganan
bagi pembeli untuk memesan buku yang dibutuhkanya karena harus menanggung
ongkos, sementara itu harga buku yang cukup mahal menurut ukuran pembeli. Dalam
situasi yang demikian tentunya pembeli akan berpaling kepasaran bebas untuk
mencari buku yang diinginkan.
3. Proses penuntutan ganti rugi .
Masalah
pembajakan buku perlu segera di tangulangi.karena itu tidak saja merugikan
pamegang hak cipta.dalam hal ini pengarang tetapi pemerintah.
Kerugian
bagi pengarang adalah ia tidak mendapat pembayaran honorarium dari pembajak
akibatnya yang lebih jauh lagi adalah pengarang bisa enggan untuk menulis
karena ia dihantui oleh kemungkinan adanya pembajakan, sehingga ia berpendirian
lebih baik menulis buat harian atau majalah, dimana masalah pembajakan tidak perlu
dihawatirkan dalam pembayaran honorariumpun dapat berjalan dengan lancar. Kalau
terjadi hal demikian,tidak hanya merugikan para penerbit, akan tetapi seluruh
masyarakat, khususnya dikalangan pendidikan akan kekurangan buku-buku bacaan
yang bermutu atau yang berkualitas.
Kerugian
lainya adalah para penerbit kemungkinan besar tidak dapat melanjutkan usahanya
lagi karena untuk mencetak tidak ada lagi dana, karena buku-buku yang sudah
dicetak tidak laku sebab harga terlalu tinggi bila dibandingkan dengan buku-buku
hasil bajakan.
Kerugian
bagi pemerintah, tidak mendapat pembayaran pajak karena para pembajak tidak
diketahui ujung pangkalnya.
Sebagaimana
diketahui menurut undang-undang pajak penhasilan yang dijadikan objek pajak
adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh wajib pajak (pasal 4 ayat 1). Sedangkan yang menjadi subjek pajak
adalah orang, badan usaha seperti PT.
Mengingat masalah pembajakan buku bukan masalah sepele, maka
penanggulanganya perlu dilakukan secara terpadu antara berbagai pihak, antara
lain : Dimulai dari sipencipta atau pihak yang berhak atas suatu ciptaan.
Diperlukan dari mereka atau perwalianya suatu keterangan/ penjelasan terhadap
adanya tindak pidana hak cipta atas suatu ciptaan yang digandakan tanpa hak.
Sebab dari penciptalah yang paling mengetahui apakah karya ciptanya ini asli
atau bajakan .
Dari
sudut hukum pidana sebenarnya sudah cukup kuat dasar hukumnya untuk membarantas
pembajakan buku, yaitu melalui pasal 44 undang-undang hak cipta tahun 2002 yang
menyatakan :
1)
Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan atau memperbanyak suatu
ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama
7 tahun atau denda paling banyak Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah).
2)
Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan atau menjual kepada umum
suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hal cipta sebagai mana dimaksud
dalam ayat 1, dipidana penjara paling lama 5 tahun dan atau denda paling banyak
Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah).
3)
Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan pasal 16, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 tahun dan atau denda paling banyak Rp.25.000.000
(dua puluh juta rupiah).
4)
Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan pasal 18, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp.15.000.000 (lima
belas juta rupiah).
Selain
tuntutan pidana sebagaimana yang telah disebutkan diatas, undang-undang hak
cipta juga mengizinkan menggugat secara perdata. Hal ini dapat dilihat dalam
pasal 42 ayat 3 yang menyatakan :
“Jika
ciptaan sebagai mana dimaksud dalam pasal 11 ternyata merupakan pelanggaran,
pemegang hak cipta yang sebenarnya berhak mengajukan gugatan kepengadilan
negeri, dengan tidak mengurangi tuntutan pidana terhadap pelanggaran hak cipta
tersebut”.
Jadi
menurut pasal tersebut tuntutan dapat dilakukan baik melalui pidana atau
perdata. Sebagai dasar untuk melakukan tuntutan dari sudut hukum perdata dapat
dipergunakan pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan :
“
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian orang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut”.
Perbuatan
melawan hukum harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1.
Perbuatan melawan hukum.
2.
Harus ada kesalahan.
3.
Harus ada kerugian.
4.
Harus ada hubungan kausal antara
perbuatan dan kerugian.
Menurut rumusan Hoge Raad sebelum
tahun 1919 yang dikatakan perbuatan melawan hukum adalah perbuatan tersebut
harus melanggar hak subjektip orang lain atau bertentangan dengan kewajiban
hukum dari sipembuat sendiri yang telah diatur dalam undang-undang atau dengan
perkataan lain melawan hukum ditafsirkan sebagai melawan undang-undang.
Menurut Arrest 1919
bahwa berbuat atau tidak berbuat merupakan suatu perbuatan melawan hukum jika :
1.
Melanggar hak orang lain
2.
Bertentangan dengan kewajiban hukum
si pembuat
3.
Bertentangan denagn kesusilaan
4.
Bertentangan dengan kepatuhan yang
berlaku dalam lalu lintas masyarakat diri atau barang orang lain
Apabila
ketentuan pasal 1365 ini dikaitkan dengan pembajakan hukum maka jelas
unsur-unsur yang tercantum dalam pasal ini terpenuhi, yaitu adanya melanggar
hukum dan adanya kerugian yang diderita oleh pemegang hak cipta
4. Hambatan dalam proses
penuntutan ganti rugi
Dalam
proses penuntutan ganti rugi ini. Hambatan justru sering datangnya dari
pemegang Hak cipta untuk mengadukan pelanggaran hak cipta kepihak yang
berwajib.
Sebab
walaupun pelanggaran hak cipta merupakan delik biasa, akan tetapi dalam praktek
untuk dapat menuntut pelanggaran hak cipta tetap diperlukan adanya pengaduan
atau laporan dari pihak yang berkepentingan dalam hal ini pengarang atau
pemegang hak cipta, sebab hanya pemegang hak ciptatah yang dapat mengetahui
apakah hasilnya karyannya yang diperbanyak itu merupakan ciptaan asli atau
bajakan.
Untuk
ini dituntut keberanian para pihak untuk turut serta memberantas masalah
pembajakan buku. Yaitu dengan berperan aktif mengaduakanya ke pihak yang
berwajib setiap ada pelanggaran hak cipta buku. Hal ini berguna untuk keperluan
pembuktian, karena dengan adanya pengaduan dari pemegang hak cipta, maka pihak
yang berwajib tidak harus membuktikan dulu apakah pemegang hak tersebut merasa
haknya dilanggar atau tidak. Dan hal ini akan mempelancar proses penuntutan
ganti rugi terhadap pelaku pembajakan buku.
Oleh
karena itu anggapan masyarakat, bahwa pelanggaran hak cipta adalah urusan
pejabat-pejabat penegak hukum semata-mata, perlu diubah supaya budaya enggan
melapor dapat menjadi berperan aktif, untuk menekan sekecil mungkin ruang gerak
pembajak
BAB IV
PENUTUP
Bertitik
tolak dari apa yang telah dibahas dan diuraikan pada bab-bab terdahulu, maka
pada bab IV ini sebagai tahap akhir penelitian ini, penulis mencoba untuk
menarik beberapa kesimpulan. Dan selanjutnya memberikan saran-saran yang
kiranya akan bermanfaat sebagai jalan keluar kearah pemecah masalah yang
dihadapi.
A. Kesimpulan
1.
Untuk memeberikan perlindungan Hak Cipta terhadap hasil karya
bangsaIndonesia, akhirnya lahirlah Undang-undang No 19 tahun 2002 tentang Hak
Cipta . Perlindungan hokum yang memberikan atas Hak Cipta ini bukan saja
merupakam pengakuan negara terhadap karya cipta seseorang pencipta, tetapi juga
diharapkan bahwa perlindungan tersebut akan dapat membangkitkan semangat dan minat
yang lebih besar. Untuk melahirkan ciptaan baru di bidang ilmu
pengetahuan, seni dan sastra. Selain itu perlindungan Hak Cipta terhadap
seluruh ciptaan WNI tidak hanya diumumkan didalam negeri. Oleh karena it, maka
bagi pencipta sebenarnya tidak perlu terlalu risau bahwa hasil karyanya akan
dibajak oleh orang lain, karena hasil karyanya dilindung oleh Undang-undang Hak
Cipta baik itu diumumkan didalam negeri maupun diluar negeri .
2.
Terhadap hak cipta seseorang adakalanya terjadi pelanggaran dimana
orang lain mengakui itu adalah merupaka haknya / hasil ciptaannya. Hal yang
demikian ini bisa terjadi mengingat UUHC menganut stesel pendaftaran yang
bersifat pasif artinya tidak diadakan penelitian apakah yang didaftarkan itu
benar atau salah.
Oleh
karena itu dalam hal adanya pelanggaran Hak cipta, diperlukan adanya keberanian
dari pengarang sebagai pemegang hak cipta untuk berperan serta dalam hal
pelanggaran hak cipta yakni menuntut sipelanggar baik dari sudut hokum pidana
sudah jelas pengaturannya dalam pasa 44 UUHC. Dari sudut hokum perdata dapat
dipakai dasar pasal 1365 KUHPdt yang mengatur tentang perbuatan melanggar hukum
B. Saran-saran
1. Faktor kesadaran hokum masyarakat, merupakan
bagian yang penting dalam mekanisme penegakan hokum khususnya dibidang hak
cipta, diharapkan agar tidak membeli atau menyewa atas suatu hasil
ciptaan yang berasal dari bajakan. Upaya meninggalkan pemahaman masyarakat
terhadap tindak pidana hak cipta, berikut permasalahannya, merupakan hal utama
yag harus ditanamkan melalui penyuluhan/penerangan hukum hak cipta secara
persuasive dan kontinue.
2.
Dalam menghadapi permasalahan yang dijumpai dilapangan terhadap
pelaku tindak pidana hak cipta khususnya pembajakan buku,
maka perlu pemahaman yang benar, makna dan ruang lingkup hak cipta,
penerapan sanksi yang tegas dan berani dari aparat penegak hukum. Sehingga
kepentingan atau hak dari pencipta akan mendapat perlakuan dan perlindungan
atas hak cipta secara lebih baik
3.
Diperlukan penegakan hukum secara terpadu dari unsur :
Kepolisisan, Kejaksaan, Pengadilan, Direktorat Jendral Hak Cipta dan dengan
melibatkan pemegang hak cipta, dalam upaya untuk meningkatkan efektifitas
penindakan terhadap pelaku dalam kasus-kasus tindak pidana hak cipta. Juga
diharapkan adanya wawasan dan persepsi yang sama, disamping dituntut adanya
kematangan intelektual, kemampuan professional dan intergritas kepribadian yang
tangguh, yang tiba gilirannya sebagai langkah akhir dalam upaya penyelesaian
kasus tindak pidana hak cipta.